Rangga tampak tegang menunggu penjelasan sang Dokter selanjutnya. Telapak tangan lelaki bertubuh tegap itu pun menjadi sangat dingin. Perasaan takut kehilangan Mentari tiba-tiba menyeruak dari hatinya.
"Bapak belum tahu, kalau istri Bapak sedang hamil?" tanya sang Dokter dengan tatapan tajam.
"Beneran, Dok? istri saya hamil?"
Lelaki itu melompat saking girangnya. Ia berlari sambil terkekeh menuju kamar Mentari.
"Tari, sayang, kita akan punya bayi!" pekik Rangga seraya duduk di samping sang istri.
"Alhamdulillah," sahut Emak dengan senyum semringah.
Mentari yang masih lemas hanya bisa tersenyum tipis. Menatap sang suami dengan pandangan sendu. Suasana haru dan penuh syukur menyelimuti hati ketiganya.
"Lalu, bagaimana dengan Dina?" lirih Mentari.
Semua pun terdiam, seandai
Mentari yang berdiri sendiri tadi menyaksikan Dina berlinang air mata, memohon belas kasihan Rangga pun mulia merasa iba. Wanita berhati lembut itu berjalan dengan tertatih ke arah sang suami."Kak Dina, tolong bantu aku. Bilang sama Kak Rangga agar tidak menceraikanku.Aku akan menjadi madu yang baik buat kakak. Aku akan menjaga Kakak selama Kakak hamil," lirihnya seraya bersimpuh di bawah kaki Mentari.Mentari yang berhati lembut pun merasa iba dan kasihan terhadap gadis yang telah menikah dengan sang suami. Ia meminta Rangga agar memberikan kesempatan kepada Dina untuk menjadi istri keduanya. Walaupun hatinya terluka. Namun, ia tidak ingin egois dan hancurkan masa depan gadis lain."Aku mohon, kasihani keluargaku. Apa kata orang jika mereka tahu putrinya telah diceraikan sehari setelah ijab qabul."Wanita muda itu memohon terus menerus dengan berlinang air mata. Siap
Sepandai-pandainya Tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Mungkin itulah pepatah yang cocok untuk pasangan pengantin baru, Rangga dan Dina.Lelaki mana yang tahan melihat wanita yang telah halal untuknya, yang juga berparas cantik dan menggoda, dibiarkan begitu saja. Tidak bisa dipungkiri, begitupun dengan Rangga yang hanya seorang pria normal biasa.Malam itu, hujan deras, petir menggelegar, bersahutan dengan kilat yang menyambar. Mentari dan Emak telah pergi ke rumah saudaranya, untuk menghadiri acara selamatan salah satu saudara dekat mereka.Rangga baru pulang bekerja. Ia disambut manis oleh Dina yang berada di rumah seorang diri. Wanita muda itu sengaja memakai lingeri berwarna merah muda dengan belahan dada yang terlihat dan panjang di atas lutut.Rangga yang baru saja tiba, segera membersihkan tubuhnya dari percikkan air hujan di dalam kamar. Ia tidak menyadari bahwa wa
Mentari marah besar, ia tidak sudi untuk satu kamar dengan sang suami. Rangga yang merasa dirinya bersalah, terus-menerus membujuk sang istri. Namun, rasa sakit yang di rasakan Mentari, rupanya belum juga reda. Hingga membuat dirinya begitu dingin dan cuek kepada sang suami.Walaupun Dina sudah tidak ada lagi di rumah. Akan tetapi, keadaan rumah masih juga terasa tegang. Emak yang menyaksikan drama keluarga putri kecilnya, hanya bisa mengusap dada dan berdoa agar Mentari kuat dan bisa melewatinya dengan baik.Seperti biasanya, Rangga berangkat ke resto pagi-pagi sekali. Namun, hari itu, hingga malam menjelang pun, Rangga belum juga pulang. Tidak satu pesan pun dikirim untuk sang istri. Mentari tampak gusar. Walaupun, sikapnya masih dingin dan cuek, tapi jauh di dalam lubuk hatinya. Wanita yang tengah hamil muda itu masih sangat peduli dengan sang suami."Suamimu belum pulang?" tanya Emak memecah kehenin
Setelah mendapat persetujuan Mentari. Rangga pun pergi ke untuk menemui Ayah Dina. Ia akan membicarakan pembukaan Resto yang akan ia buka. Rangga duduk seorang diri di ruang tamu. Menunggu sang mertua keluar dari kamar.Sebenarnya Rangga enggan untuk bekerja sama dengan sang mertua. Mengingat akan adanya kesalahan pahaman di antara mereka ke depannya. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan banyak konflik.Namun, lelaki itu tidak kuasa untuk menolak. Keadaan yang memaksanya untuk menerima bantuan keluarga istri keduanya.Rangga sempat beradu temu dengan manik hitam Dina. Kemudian segera menunduk kembali. Entah kenapa jantungnya terasa berdetak kencang. Sentuhan-sentuhan yang pernah terjadi di antara mereka seperti terbayang kembali di dalam benak."Kak Rangga mau minum apa?" tanya wanita muda itu dengan seulas senyum.Sudah dua minggu lamanya, mereka ti
Pagi buta, setelah mandi Rangga bergegas pulang ke rumah. Hatinya sudah tidak enak, perasaan bersalah mulai menyelimuti dirinya. Mentari pasti sedang menunggu dengan gelisah di rumah. Ia menatap layar gawai, melihat puluhan kali panggilan tidak terjawab dan puluhan pesan dari sang istri pertama.Motor melaju dengan cepat, membelah jalanan yang masih sepi. Udara masih terasa teramat dingin menerpa dan masuk ke pori-pori hingga menusuk ke tulang. Tubuh yang menggigil kedinginan akibat lupa memakai jaket pun tidak dihiraukan. Rangga tetap memacu kuda besinya dengan cepat.Sesampainya di rumah, Rangga segera memarkirkan motor di depan halaman rumah Mentari. Kemudian berlari menuju kamar, di sana Mentari sedang tergugu di atas sajadah. Suara tangisnya begitu pilu dan menyayat hati.Rangga melangkah mendekati sang istri perlahan. Kemudian bersujud di depan sang istri dan meminta maaf.
Mentari memeluk erat gadis kecil itu. Wanita muda itu terlihat lebih segar dan terawat. Mereka pindah ke sebuah kota kecil, jauh dari hiruk pikuk keramaian.Mentari telah berhasil menjalani hidup barunya bersama Emak dan anaknya. Uang hasil penjualan rumah dan hasil dari uang kontrakan cukup untuk hidup layak ketiganya."Bulan jangan main jauh-jauh, ya!" pinta Mentari kepada sang anak."Iya, Bunda," sahut gadis kecil itu lembut.Hari itu, Bulan meminta sang Bunda untuk menemaninya bermain di taman. Biasanya sang Nenek yang menemani Bulan bermain karena Mentari sibuk mengelola sebuah kafe miliknya.Setiap detik kebersamaan bersama Bulan terasa sangat berharga bagi Mentari.Mereka tampak asyik bermain saat tiba-tiba seorang pria datang menghampiri."Tari!"Mentari pun menoleh dan tersenyum lebar saat melih
Mentari sudah pergi ke cafe di pagi buta. Di saat sang anak masih tertidur lelap, dibuai oleh indahnya mimpi. Mentari harus bekerja dua kali lebih giat agar cita-citanya menjadikan Bulan sebagai seorang dokter dapat tercapai.Hari-hari Mentari hanya dilewatkan dengan bekerja dan bekerja. Seolah tidak ada tempat lain di hatinya selain bekerja. Wanita itu sudah begitu terluka. Goresan luka yang ditinggalkan oleh sang mantan suami begitu dalam, hingga membuatnya takut untuk membuka hati kembali.Namun, ia bersyukur karena masih memiliki Bulan, penyemangat hidupnya. Juga emak sebagai sandaran hidup yang selalu membuatnya kuat menghadapi kejamnya dunia.Hari itu, Bulan akan pergi ke sekolah diantar oleh Emak. Gadis kecil itu sudah belajar di sekolah pendidikan usia dini. Bulan Kerap kali, meminta sang Bunda untuk mengantarnya ke sekolah. Namun, karena pekerjaan yang tidak memungkinkan. Akhirnya bulan harus p
Mentari mundur beberapa langkah saat melihat mantan mertuanya bersujud di kakimu ia menjadi lebih risih melihat sikap dari Mantanmu tuannya ituibu mohon tadi Tolong temui tangga kali ajawanita paruh baya Itu tampak meneteskan air mata arti Mentari sedikit lagi ia mulai merasakan iba dan tergerak untuk menolong sang mantan suamiBaiklah Bu aku akan coba temui Tangga Satu Kali SajaAkhirnya Mentari luluh dan menyanggupi untuk bertemu dengan mantan suaminya. Emak hanya bisa mendukung setiap keputusan sang putri. Sedangkan si kecil Bulan masih tampak bingung melihat adegan bak drama dalam serial televisi. Anak kecil itu tidak mengerti dengan yang terjadi di depannya."Mereka siapa, Bun?" tanya Bulan polos."Kami kakek dan nenek kamu," sela Babeh saat Kirana baru saja hendak membuka mulut.Lelaki paruh baya itu sepertinya s
Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu
Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari
Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh
Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut
Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap
Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg
Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da
Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik
Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s