Sesampainya di Kampus, Chiara masih saja mengingat momen ketika bersama dengan mantan calon Kakak iparnya tadi. Momen biasa, namun entah kenapa terasa begitu luar biasa baginya. Dia berjalan menuju kelasnya dengan terbengong ria, tangannya berkali-kali menyentuh bibirnya, bibir yang nyaris bersentuhan dengan bibir mantan calon Kakak iparnya. Dia jadi berpikir, andai dirinya tidak bertanya waktu itu, apakah Nardo akan benar-benar menciumnya?Namun, sedetik kemudian kepala gadis itu menggeleng kencang.'Itu tidak mungkin!''Sadarlah, Chia!''Jangan terlalu percaya diri jadi orang!'Ya, Chiara hanya mampu memekik dalam hati.Dan lagi ... kenapa dia justru terkesan mengharapkan ciuman?"Ekhem!" Dan sebuah dehaman kencang membuat Chiara terkejut setengah mati."Eh, kucing!" gadis itu mengumpat secara spontan ketika tatapan matanya menangkap presensi Diana di bangku paling depan di dalam kelas mereka. "Sialan kamu, ya! Bikin kaget saja! Kalau jantungan aku kumat bagaimana, hah?! Mau tangg
Pernahkah kamu merasa sangat ingin bertemu dengan seseorang sampai rasanya susah tidur, bahkan tidak enak makan?Jika iya, berarti apa yang kamu rasa sama persis dengan apa yang Nardo rasakan saat ini. Terhitung sudah tiga hari setelah pertemuan terakhirnya dengan Chiara, mulai detik itu pula pria itu tidak ada hentinya memikirkan gadis itu, entah bagaimana.Awalnya Nardo mengira bahwa hatinya telah mati semenjak kepergian Naomi. Namun, nyatanya dia salah, karena sekarang dia mampu merasakan lagi debarannya, meskipun dengan sekuat tenaga dia menyangkal segala rasa yang mulai tercipta. Dia tidak mungkin jatuh cinta dengan semudah itu, bukan? Apalagi pada Chiara yang notabenenya sudah dia anggap sebagai adik kandung selama dirinya menjalin hubungan asmara dengan Naomi, bertahun lamanya. Handuk putih masih setia membalut bawah pinggangnya. Rambut pirangnya pun masih tampak lembab, sepertinya Nardo baru saja selesai keramas. Dengan handuk lain yang dia gunakan untuk mengeringkan helai r
Sesuai janji, Nardo benar-benar datang menjemput Chiara tepat jam tujuh malam. Pria itu tampil kasual dengan sweater krem yang pas membalut bagian atas tubuhnya, sedangkan celana jeans biru pudar sebagai bawahan. Sepatu converse di kedua kaki pria itu menyempurnakan penampilannya malam ini. Sederhana, namun terlihat begitu istimewa di mata Chiara. Bahkan gadis itu tampak terbengong selama beberapa detik ketika pertama kali melihat Nardo yang sedang meminta izin pada Ambar dan juga Indra ketika akan mengajaknya keluar dengan dalih jalan-jalan. Pria itu tampak begitu sempurna di matanya.Setelah berpamitan mereka pergi ke sebuah Mall besar di pusat kota. Antara kagum dan gugup, Chiara beberapa kali kedapatan memegangi dada. Degup jantungnya terasa tidak pernah normal setiap kali dia berdekatan dengan Nardo akhir-akhir ini.Ini adalah pertama kalinya Chiara jalan-jalan berdua bersama seorang laki-laki—Evan tidak masuk ke dalam hitungan, sebab pemuda itu sudah dia anggap seperti saudarany
"Chia ... sudah pagi, Nak. Cepat turun, bukankah kamu ada kelas pagi hari ini?" tiga ketukan di permukaan pintu kamar Chiara disusul suara lembut si wanita baya terdengar. Ambar berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat itu dengan sabar.Namun, tidak ada sahutan sama sekali. Hal yang mencipta kernyitan dalam di kening wanita itu, pasalnya Chiara tidak biasanya begini, gadis itu selalu menjawab jika dirinya bertanya. Apakah Chiara tidak mendengar suaranya?"Chia?" pintu diketuk lagi. Sekali lagi Ambar mencoba memanggil putrinya, kali ini dengan suara yang lebih keras, berharap agar suaranya sampai di gendang telinga si gadis belia di dalam sana.Yang tidak Ambar ketahui, Chiara sedang tertidur sangat nyenyak di dalam sana. Semalaman dia tidak bisa tidur, dan baru mampu memejamkan mata saat mentari hampir terbit di ufuk timur. Tentu hal yang membuat si gadis tak mampu mendapatkan lelap adalah kejadian tadi malam, peristiwa di mana mantan calon kakak iparnya memberikan ciuman sec
"CUT!" Teriakan nyaring terdengar. Nardo terlihat memejamkan mata lalu meremas rambut pirangnya. Dia merasa kesal kepada para pemain di depannya. Mereka ... entah kenapa seperti memancing emosi pria itu untuk diledakkan sekarang juga. Sungguh, ia benar-benar dibuat stres hari ini."Asataga! Kenapa dialogmu salah-salah terus?! Lebih fokus, dong!" setelah kembali membuka mata, pria itu menatap tajam salah satu aktornya. Amarahnya sudah tidak terbendung lagi sekarang. Dia sedang banyak pikiran, dan semua yang terjadi di lokasi syuting tadi sudah cukup untuk semakin membuat kepalanya berasap.Sebenarnya dia sedang berusaha mengingkari perasaannya sendiri pada Chiara. Dia sengaja menyibukkan diri dengan bekerja tanpa sekali pun menemui ataupun menghubungi gadis itu belakangan ini. Dia merasa bersalah pada Naomi karena menjadi terlalu sering memikirkan adiknya. Ah, urusan asmara memang sangat merepotkan, bahkan kini mengganggu pekerjaannya.Sedangkan orang yang dia tegur hanya mampu menun
Setelah berkali-kali bertanya pada diri sendiri, bertanya pada lubuk hati paling dalam yang dia miliki, pada akhirnya Nardo membulatkan tekadnya untuk menemui Chiara, untuk mengakui perasaannya. Benar apa kata Rendy, dia akan menyesal jika sampai ada lelaki lain yang mendahuluinya untuk memiliki gadis itu. Sungguh, dia tidak akan pernah rela.Nardo tidak tahu kapan persisnya, namun rasa sayang sebagai adik itu memang sudah musnah, hilang sampai nyaris tidak bersisa. Yang ada hanyalah rasa cinta, sebuah rasa ingin memiliki dari seorang pria terhadap wanita.Sambil mengemudi, senyuman pria itu mengurva ketika memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek belum menyentuh angka empat sore, dia masih punya kesempatan untuk menjemput gadis itu pulang kuliah. Semoga nasib baik menyertainya hari ini. Dia sudah tidak sanggup lagi menahan perasaan yang dia punya lebih lama lagi.Ketika pintu gerbang Universitas Nusa Bangsa terbuka lebar di depan sana, para mahasiswa dan mahasiswi
Kamar mendiang Naomi tidak berubah sama sekali, selalu bersih dan tertata rapi seperti sedia kala seakan tak pernah ditinggal pergi oleh pemiliknya sebab Chiara dan ibunya memang selalu membersihkan kamar itu setiap hari. Menjaga dan merawat semua barang-barang di dalamnya merupakan sebuah kewajiban, agar kenangan tentang si mendiang tidak akan pernah hilang.Chiara menghela napas panjang di sana, lalu duduk pada pinggiran ranjang. Ada sebuah album foto lama di dalam dekapan tangan gadis itu. Album foto yang berisi segala momen kehidupan Naomi, potret sang mendiang semenjak bayi hingga potret terakhirnya ketika bertunangan.Gadis itu menyentuh potret itu dalam diam dengan senyum terkembang. Kakaknya terlihat begitu cantik di sana, berdiri dengan senyuman menawan sambil menunjukkan cincin di jari manis tangan kiri. Ada sosok Nardo di sisinya. Pria itu tampak menjulang tinggi, memamerkan senyum tipis nan memesona ke arah kamera. Atensi Chiara jatuh pada sosok sang pria. Tanpa sadar jar
Menu makan siang di depannya telah habis tak bersisa, menyisakan secangkir kopi yang isinya tinggal seperempat. Nardo kembali menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan kiri, dan embusan napas berat keluar dari mulutnya, entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini.'Sial!''Kenapa malamnya lama sekali, sih!'Ya, Nardo tidak sabar menantikan acara makan malam bersama keluarga Chiara nanti malam. Dia ingin berbicara berdua dengan gadis itu secepatnya. Menahan perasaan ternyata rasanya begitu menyiksa, seakan jarum pendek di dalam arlojinya tidak bergerak sama sekali.Dari sisi kanan muncullah sosok Rendy, pria itu baru saja keluar dari toilet. Pria itu geleng-geleng kepala saat lagi-lagi melihat Nardo kedapatan memeriksa arlojinya."Kamu kenapa, Nar? Mentang-mentang jam tangan mahal, kuperhatikan dari tadi kamu sering sekali melihatnya." Setelah berucap, Rendy mendudukkan diri pada kursinya. Mereka memang sedang makan siang bersama di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi syu