"Apa perlu kuulangi perkataanku yang kemarin? Kau pulanglah ke daerah asalmu. Tinggalkan semua yang anakku pernah berikan. Anak lelaki Bayu yang lebih berhak berada di sini. Lagi pula, apakah kau tak tahu malu? Bayu lebih memilih Rita di detik-detik akhir hidupnya. Jangan berkeras hati terhadap sesuatu yang bukan hakmu!" Kembali wanita itu berteriak. "Istri siri dan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan bawah tangan tak berhak mendapatkan apapun dari harta suamiku, Bu. Apakah kau lupa, Mas Bayu membangun rumah ini setelah pernikahan kami berlangsung. Itu artinya aku pun turut andil di sini. Kau mau berteriak lagi untuk memanggil orang-orang dan berdrama seperti kemarin? Yakin mereka akan membelamu?Entah bagaimana kisah wanita ini dengan suamiku di masa lalu. Nyatanya akulah istri sah yang berada di sisi suamiku saat pembangunan rumah ini dilakukan. Artinya aku dan anakku yang berhak. Siapa dia masuk ke dalam istana yang darah dan cucuran keringatkulah yang digunakan untuk memb
Menepi Mala menata baju-baju yang sudah mulai dipindahkan ke rumah yang akan ditinggalinya berdua dengan Kinanti. Meski nanti dia tak bisa menitipkan anak semata wayangnya pada Bude Rumi, tetapi dia merasa semuanya akan lebih baik daripada hidup di sekitar mertuanya. Dia yakin akan mendapatkan kenyamanan saat berada di rumah ini. Mala sudah mencari day care yang cocok untuk Kinanti nantinya. Dia akan menjemput anak itu sepulang dari tempatnya mengajar. Mala hanya memilih beberapa barang yang memang memungkinkan dia bawa dan letakkan di salah satu sudut di rumah ini. Ukurannya yang lebih kecil membuatnya harus merelakan sebagian besar tak bisa tersangkut kesana. Lagi pula dia tak ingin terlalu terikat dengan pernak-pernik yang membawanya pada ingatan buruk mengenai suaminya. Sebuah foto dengan bingkai warna putih polos dipasang di kamar tidurnya. Hanya foto Kinanti sendirian sedang merayakan ulang tahunnya kedua yang dia bawa dari rumah itu. Selebihnya tak ada. Bahkan dia sudah m
"Kamu sudah yakin melepaskan rumah itu?" tanya Karina saat Mala menemuinya di butik milik wanita itu. Semenjak menikah Karina memang diminta untuk resign dari pekerjaannya. Beruntung niatnya membuka butik sendiri agar memiliki waktu yang lebih fleksibel disetujui oleh suami dan keluarganya. Mala mengangguk. Ditatapnya gaun-gaun pesta yang dijejer rapi di ruangan berukuran delapan kali tujuh meter di lantai dua ruko milik Karina. Terdengar suara embusan napas dari wanita di depannya. "Aku mendukungmu. Lekas pergi, setidaknya kamu bisa melepas sedikit bebanmu saat mengingat rumah itu." Karina menyesap kopinya perlahan. Aroma kopi menguar di ruangan itu. "Kapan kamu meninggalkan rumahmu?" tanya Karina. "Lusa. Rencana hari ini ke rumah di Golden, aku harus memastikan barang-barang apa yang akan kubawa dan kutinggal nantinya.""Yang jelas kenanganmu dengan Bayu harus kau tinggal seiring kepergianmu dari sana. Ingat Mala. Kau sangat berhak hidup lebih baik bersama Kinanti. Berjanjilah u
"Dimana kau, Mala? Mengapa rumah terkunci rapat? Dan wanita gila pengasuhmu itu pun tak ada di rumahnya!" teriak Bu Rahayu pada menantunya via panggilan telepon. Mala menjauhkan ponselnya dari telinga. Perjalanannya menaiki kereta bersama Kinanti sudah hampir membawanya ke Stasiun Purwokerto. Rumah yang sudah beralih tangan pun resmi ditinggalkannya dua hari yang lalu. Pantas saja rumah itu sudah dikunci rapat, anak dan menantu Bu Haryo belum menempatinya karena masih dinas di luar kota. Jika pun rumah itu berpenghuni, sudah dipastikan mertua Mala tak bisa melenggang seenaknya sendiri seperti kebiasannya yang sudah-sudah. "Lekas pulang, buka pintu gerbangnya. Kasihan Alvaro sudah menunggu lama. Anak Bayu kepanasan!" Anak Bayu? Rasanya Mala begitu muak mendengar ucapan mertuanya. Hatinya kebas dan tak peduli dengan apapun yang menimpa anak itu. Terkesan jahat, tapi lagi-lagi kesalahan orang tuanya membuat Mala memilih bersikap demikian. "Mala, kau dengar? Alvaro kepanasan!" Te
Mala memilih memusatkan pandangannya pada ponsel di tangan kirinya. Dia memesan taksi online yang akan membawanya ke rumah sang nenek yang memang tak begitu jauh dari stasiun. Mala meminta izin pada driver untuk membuka jendela mobil saat melewati jalanan. Sesekali dia tersenyum saat tempat-tempat yang dia lewati mengisahkan cerita tentangnya di masa lalu. Sekolah dasar tempatnya menimba ilmu, dimana kaki polosnya pernah dengan begitu rutin menapaki jalanan berbatu ke gedung tersebut. Bukan tak punya sepatu, tetapi karena dia ingin sepatunya cepat rusak jika digunakan terus-menerus. Dia memilih memakainya saat sudah di sekolah sehingga sepatu yang dibeli setahun sekali itu tak lekas rusak. Banyak sekali perubahan yang sudah terjadi di tempat masa lalunya. Villa dan Hotel yang dulu jarang kini bermunculan layaknya cendawan di musim hujan. Mala masih ingat gedung hotel lima lantai itu dulunya adalah kebun-kebun milik petani yang kini berubah menjadi bangunan yang kokoh. "Sudah sampa
Mala terpaksa pulang lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukannya di awal. Bude Rumi memberi kabar yang sangat membuatnya terkejut. Dia mengatakan bahwa mertua Mala serta anak-anaknya memaksa meminta kunci rumah pada keluarga Pak Haryo. Entah dimana muka Mala pada keluarga bersahaja itu. Bagaimana mungkin rumah yang sudah sah beralih tangan justru dijadikan ajang rebutan oleh keluarga mendiang suaminya. Mala sengaja langsung menuju rumah Bude Rumi setelah wanita itu mengabarkan bahwa kondisi makin tak karuan. Mala sudah mempersiapkan diri dengan baik. Dia sudah punya gambaran apa yang sedang terjadi di rumah wanita yang selama ini sudah menganggapnya keluarga. Ada rasa tak enak pada wanita itu. Sekian kali harus direpotkan dengan urusan Mala dan keluarganya. "Wah, habis liburan?" Suara mertua Mala terdengar sumbang di telinga. Mala hampir membelalakkan mata setelah melihat kondisi ruang tamu rumah Bude Rumi yang penuh dengan kardus barang. Bahkan koper yang jumlahnya lebih dari
"Apakah keluargamu juga bergantung pada pemberian suamiku? Bukankah usaha ayahmu mengalami gulung tikar belum lama ini? Lucu sekali suami kita itu. Entah pantas kukatakan bodoh atau tidak, dia benar-benar memalukan. Dibuang karena dianggap belum mapan, lalu saat karirnya naik dengan bodohnya dengan sangat rela menerima barang yang sudah dibuang oleh pemilik sebelumnya.""Mala! Jaga ucapanmu!" Bu Rahayu berteriak histeris. Dia tak terima dengan ucapan Mala pada anak dan menantu kesayangannya. "Kukatakan jangan berteriak, Bu. Ini bukan tempat kita." Mala menegakkan punggungnya. Tak peduli kilatan sakit hati yang terpancar dari mata Rita."Aku tahu kau dan keluargamu mencari mangsa lain setelah laki-laki yang sudah kau hinggapi itu memilih wanita lain yang lebih memuaskan. Ayahmu bertemu Mas Bayu saat tak sengaja suamiku mampir di restoran keluarga kalian yang saat itu hampir bangkrut. Dengan menjual kisah melankolis dia menebar jaring untuk memperangkap suamiku agar memakan umpan berup
Mala meremas kedua tangannya. Perkataan Rita membuat jiwanya terguncang. Dia tak menyangka Bayu memberitahu perihal keluarganya pada Rita. Kekecewaan pada laki-laki itu bertambah berkali lipat karena mengungkap hal yang ingin Mala kubur dalam-dalam pada orang lain. "Entah bagaimana pun penolakanmu, nyatanya Mas Bayu sudah menikahiku. Sekuat apapun kau menolak kenyataan ini tak akan mengubah kenyataan bahwa laki-laki itu telah memilihku untuk turut serta memiliki jiwa dan raganya. Jadi kukatakan tadi di awal, aku dan Alvaro berhak dengan apapun yang dimiliki oleh Mas Bayu. Meskipun secara hukum kami tak memiliki hak, tetapi aku yakin nuranimu tak sekejam itu, Mbak." Mala tersenyum miris. Dia belum bersuara demi mendengar kalimat pembelaan seperti apa yang akan diucapkan wanita itu. "Sudahlah, Mbak. Kembalikan rumah itu. Mas Bayu memang berencana memberikan rumah itu pada kami, selepas dia menceraikanmu." Mala benar-benar hampir tak bisa menahan emosinya. Entah siapa yang harus dia
Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi
Tergesa-gesa aku keluar dari taksi online yang membawaku. Mobilku pecah ban saat perjalanan kemari. Setengah berlari aku menyusuri koridor sekolah taman kanak-kanak Kinanti. Hari ini adalah pentas seni yang diadakan sekolah anakku. Dari tadi malam Kinanti memastikan aku harus hadir tepat waktu karena dia dan beberapa temannya akan menampilkan seni drama musikal yang sudah dipersiapkan matang oleh gurunya. Mungkin dia sudah paham dengan kesibukanku akhir-akhir ini dengan cabang baru bimbelku di kecamatan sebelah. Belum lagi dengan aktivitas mengajarku yang tak bisa kutinggalkan meski aku sudah punya penghasilan lain yang jauh lebih besar. Jantungku berdegup tak berirama saat sayup-sayup kudengar lagu yang biasa didengungkan Kinanti di depan kaca sudah diputar. Ada rasa ketakutan yang sangat besar aku tak bisa membersamai anakku berjuang menampilkan pementasan yang susah payah sudah dia usahakan. Aku mulai merutuki diriku yang tak bisa menolak wawancara dengan stasiun TV lokal yang i
"Om Dion bilang kapan-kapan pergi bertiga sama Mama, emang Mama mau?" tanya Kinanti saat malam hari menjelang tidurnya. Aku yang mendekapnya dari arah belakang hanya mampu menatap lurus ke arah tembok kamar. "Pengin punya papa kaya Om Dion". Aku makin tak mampu menjawab kalimat Kinanti. Aku agak heran mengapa dia begitu mudah melupakan ayahnya. Selama ini dia cukup dekat dengan Mas Bayu. Meski sebelum ajal menjemputnya perhatian lelaki itu kusadari mulai terbagi yang akhirnya kutahu dia membagi perhatian dan cintanya pada Rita dan anaknya. Entah kalimat apa lagi yang keluar dari bibir mungil anakku. Kubiarkan dia bermonolog sendiri hingga terdengar dengkuran halus darinya. Dipeluknya boneka beruang dari Mas Dion dengan erat. "Jangan bebani dirimu karena permintaan dari Bude, Mala. Terimalah Dion jika kamu memang berniat ingin membangun keluarga kembali dengan seorang pria yang serius. Bude tak memaksamu. Apalagi kau sendiri tahu apa kekurangannya."Kalimat Bude Rumi membuatku teta
Mas Dion bergerak tanpa penolakan sedikit pun. Dia berjalan sambil menuntun Kinanti ke mobilnya. Bude Rumi tersenyum padaku. "Mereka cocok ya, Mala?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tentu saja aku hanya diam meneguk ludah tanpa mampu berkata-kata. Entah hanya bercanda untuk membuat Ibu mertua dan Rosa terpancing seperti biasa dia lakukan atau memang ada maksud lain yang tidak kuketahui. "Apakah kau belum berniat untuk menikah lagi, Mala?" Aku membulatkan kedua mataku. Lidahku kelu tak mampu berucap. Apalagi Bude Rumi menanyakan hal itu tepat di depan wajah Ibu mertuaku. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Secepat ini? Kau menanyakan Mala tak ingin menikah lagi saat tanah kuburan suaminya masih merah? Kau memang gila, Arumi!" Ibu mertuaku berucap dengan nada penuh ejekan. "Kenapa? Sudah lebih dari enam bulan Bayu meninggal. Masa idah Mala sudah lewat. Apa yang menghalanginya menikah?" tanya Bude Rumi dengan mata menantang. "Rasanya tak etis saat suami belum lama meningg
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke
Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o
"Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,