"Untuk apa lagi kau berada disini? Lebih baik cepat kau pergi. Aku tak mau melihat wajahmu, Kania," usir Tante Maryam kasar.Aku menggeram kesal, gigiku gemeretak menahan amarah. Wanita tua ini benar benar membuatku kesal. Apa haknya mengusirku?***Sial.Jika bukan karena masih menghormatinya, sudah kumaki maki dirinya. Kau lihat sendiri perlakuan Ibumu padaku, Jeni. Apakah kau pikir semua ini karena kesalahanku?Mata Mas Reyhan kini memandangku dengan tatapan tak nyaman, wajahnya sangat tak terlihat bersahabat, seakan aku adalah musuh yang paling dibencinya. Baiklah, aku menyerah kali ini. Akan kutinggalkan tempat ini. Aku membalikkan badan, rasanya enggan menyapa mereka kembali. Kuhentakkan keras ujung sepatuku, melangkah pergi dari sini. Hatiku masih bergemuruh emosi. Apa katanya tadi? Aku belum meminta maaf, untuk apa? Aku tak merasa melakukan kesalahan. Pernikahan Jeni dibatalkan oleh Mas Arif. Harusnya laki laki itu yang bertanggung jawab, lalu,
"Kau benar benar wanita mengerikan, Kania."Brak!Aku menggebrak meja ini keras, emosiku kini tak bisa kukendalikan lagi. Aku bangkit dan berdiri, dengan tangan terkepal kuat. Aku balik menatapnya tanpa berkedip.****PoV. Kania."Bisa tidak kau tutup mulut sampahmu itu?" Geramku.Beberapa pengunjung kafe ini menoleh padaku, bahkan kudengar salah seorang diantara mereka menegurku. Aku membalasnya dengan membulatkan mataku padanya.Seorang pelayan wanita datang mendekat sambil mengulurkan tangan memintaku untuk duduk tenang agar tidak menggangu kenyamanan pengunjung cafe yang lain. Kutepis kasar tangannya lalu kembali duduk.Mas Arif menjelaskan pada pelayan wanita itu, bahwa semua baik baik saja. Ia bahkan meminta maaf karena menganggu kenyamanan para pengunjung lainnya.Aku mencebik kesal karena melihat sikapnya pada pelayan itu. Tak lama, Mas Arif memandangku tajam."Belajarlah untuk mengakui kesalahanmu, Kania. Tidakkah kau sadar sudah
Ucapan Mas Bayu tadi masih kuingat, bukan aku tak menghargai usahanya, hanya saja aku masih kesal padanya. Kunyalakan sepeda motorku, tak ingin membuang waktu, aku pun langsung memacu sepeda motorku menuju tempatku mencari nafkah. ***"Beri aku waktu untuk memperbaiki semuanya, Alina. Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu," ucap Mas Bayu.Mataku membulat begitu mendengarnya, saat baru saja hendak melangkah masuk kekamar. Aku memandangnya tak berkedip, seakan tak percaya jika ia yang mengatakannya."Aku lelah, mas. Bisakah kita bicarakan ini lain waktu.""Apa kau tak ingin memperbaiki hubungan kita, membenahi kembali rumah tangga kita, Alina?" Aku menghela nafas panjang beberapa kali, cukup lama aku berpikir. Entah mengapa, masih ada sepercik keraguan di hati, mengingat rasa sakit hati yang kurasakan dulu.Orang bilang tak baik menyimpan dendam. Tapi, hatiku masih belum bisa sepenuhnya menerima dirinya kembali. Selama tiga tahun aku menghadap
Ia diam. Tanpa mendengar persetujuan darinya, segera kulangkahkan kaki menuju kekamar ini, lalu menutup pintunya. Terlihat Diyara dan Mbak Sita yang sudah tertidur di atas ranjang itu. Sejenak kusandarkan punggungku di dinding ini, sambil mengusap wajahku.Ya Rabb, tolong ampuni aku. ****Aku luruh dan akhirnya duduk bersandar didinding dengan kedua kaki yang bertekuk. Perlahan, kudengar langkah seseorang mendekat, duduk menghampiriku."Menangis saja bu. Siapa tahu bisa sedikit lega," ucap Mbak Sita."Kau belum tidur, Mbak?""Maaf Bu, aku mendengar pertengkaran kalian lagi," sesalnya."Tak apa apa. Maaf, jika pertengkaran kami membuat istirahatmu terganggu," balasku."Tak masalah Bu, jangan dipikirkan. Aku tak merasa terganggu," hiburnya"Tidurlah, mbak. Istirahatlah." "Baik Bu," jawabnya.Mbak Sita bangkit dan berdiri, saat tangannya menyentuh kenop pintu, segera hendak keluar dari sini, dengan cepat aku mencegahnya."Tidu
Seorang wanita dengan penampilan yang modis dan kekinian menatapku dengan senyuman. Aku mengerutkan kening ketika melihatnya. Mencoba untuk mengingat siapa dirinya."Kau ...?" Panggilku spontan."Apa kabar, lama tak bertemu, Mbak Alina?" Ia menyapaku sambil mengulurkan tangannya.****Aku masih memandangnya, mencoba kembali mengingat. Wajah itu terasa sangat familiar untukku."Kau kan ...""Lupa ya, Mbak?" "Tadinya sempat lupa karena sudah lama nggak bertemu. Sekarang aku ingat. Kau Desi kan. Tetangga kontrakanku dulu?" Tanyaku untuk meyakinkan diri."Benar Mbak. Aku Desi, orang yang mbak tolong dulu. Alhamdulillah, jika mbak masih ingat padaku. Rasanya nggak percaya bisa ketemu Mbak Alina disini," ucapnya.Aku mengangguk pelan. Aku memang mengenalinya. Desi, wanita yang dulu kutolong bersama Mas Reyhan dari pukulan suaminya, tiga tahun lalu."Alhamdullillah kabarku baik. Kau sendiri bagaimana kabarmu?""Baik mbak, aku sempat main ke
"Apa bapak bisa memberitahu pada saya isi pembicaraan mereka. Maaf, tapi ini menyangkut hati seorang ibu yang selalu sedih karena tuduhan putrinya melakukan bunuh diri," jelasku."Tentu saja bisa. Aku masih bisa mengingat isi pembicaraan mereka waktu itu. Isi pembicaraan terakhir Jeni dan Kania, sebelum akhirnya Jeni meregang nyawa karena kecelakaan itu," ucapnya.****Ucapan Pak Arif di restoran tadi terngiang di telingaku. Ia juga menyesalkan sikapnya yang tak mampu menolak permintaan Kania karena saat itu ia dalam posisi sulit. Serta harapannya agar pernikahanku tak berakhir dengan perpisahan karena akal licik Kania.[Hati hatilah dengan Kania. Hatinya tak secantik parasnya, wanita itu penuh dengan muslihat dan licik, sedikit saja kau lengah maka ia akan masuk dalam kehidupanmu]Pesan dari Pak Arif kini terngiang di ditelingaku. Kania, wanita itu sepertinya telah meninggalkan jejak dan kenangan yang buruk pada lelaki itu. Entahlah, hanya saja aku merasa j
"Aku berjanji padamu, Alina. Berdoalah pada tuhan agar hal itu tidak pernah terjadi."Mas Bayu membelai lembut kepalaku. Untuk pertama kalinya aku kembali terharu akan perlakuannya padaku. Andai sejak awal pernikahan kami ia bersikap seperti ini. mungkin dulu aku akan bertahan."Terima kasih karena memberikan kesempatan kedua untukku. Alina."***PoV Bayu."Pak Bayu, maaf, mengganggu. Ada seorang wanita sedang menunggu dilobby bawah. Ia bilang sudah membuat janji untuk bertemu dengan bapak."Aku terkejut saat seorang Office Boy menghampiriku diruang kerjaku dan menyampaikan pesan jika ada seorang wanita yang sedang menungguku dilobby. Sesaat aku mengerutkan kening, karena merasa tidak memiliki janji bertemu klien siang ini.Karena tak ingin membuat tamuku menunggu lama, aku mengambil ponselku dan bergegas meninggalkan ruang kerja lalu menaiki lift menuju ke lobby bawah kantor ini.Mataku memandangnya dengan tatapan tak percaya ketika seorang wani
PoV. Bayu."Mas, tadi siang Mas Reyhan meneleponku, katanya Bu Maryam sakit. Bisakah besok kita pergi kesana menengoknya? Sekalian kau berkenalan dengan mereka," ucap Alina satu jam yang lalu.Aku mengangguk mengiyakan permintaannya. Ada sedikit rasa cemburu dihati, saat mendengarnya. Tapi aku tak bisa menolaknya. Aku tak ingin membuat Alina kecewa. Karena bagaimanapun juga merekalah yang membantu dan menjaga Alina selama ini.Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengenal mereka yang telah membantu dan menjaga Alina selama ini. Wajah Alina terlihat begitu khawatir begitu mengatakannya, seakan mereka sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya.Aku tak bisa menyalahkan Alina, karena bagaimanapun, aku juga bersalah. Turut andil atas semua yang terjadi saat ini. Aku terlalu mengikuti hawa nafsu karena cinta masa lalu yang salah. Setidaknya sekarang aku bersyukur. Tuhan masih memberi kesempatan kepadaku untuk memperbaiki diri dan rumah tanggaku.Dua tahun s
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R