Bunyi notifikasi pesan masuk terdengar di ponsel Hana. Awalnya Hana membiarkan saja karena dia sedang sibuk menyisir rambutnya di depan cermin. Namun dia penasaran juga, sehingga dia meraih benda pipih itu untuk melihat si pengirim pesan. Mungkin saja ibunya atau Renata yang berkirim pesan padanya.Kedua mata Hana membola ketika melihat Adhika lah si pengirim pesan tersebut. Kedua sudut bibir Hana terangkat membentuk senyuman, ketika dia membaca pesan tersebut.Hana lalu mengusap perutnya seraya berkata, “Katanya, papa kamu kangen, Sayang.”Masih dengan senyumannya, Hana membalas pesan itu hanya dengan satu kata.[Bohong]Kemudian dia tekan tombol kirim.Sementara di rumah sakit, Andhika yang tadinya sudah memejamkan matanya tiba-tiba membuka kelopak matanya ketika bunyi notifikasi pesan masuk terdengar di ponselnya.“Hah?! Rupanya Hana membalas pesanku, alhamdulillah.”Andhika lalu mengirimkan pesan balasan pada Hana.[Aku nggak bohong kok. Aku memang merindukan kamu, Sayang. Please,
Teriakan Andhika tak terdengar oleh Hana, karena wanita itu sudah masuk ke dalam taksi. Tak lama taksi tersebut meluncur meninggalkan area pusat perbelanjaan tersebut. Membuat Andhika menatap badan belakang taksi dengan tatapan kecewa.“Itu nggak salah lagi. Itu Hana, istriku. Meskipun terlihat agak berisi, aku yakin itu Hana. Aku nggak mungkin keliru dengan istriku sendiri,” gumam Andhika seorang diri.Di saat yang sama, sopir Andhika tiba di depan lobi pusat perbelanjaan. Andhika bergegas masuk ke dalam mobil.“Pak, ikuti taksi yang baru saja keluar dari sini! Itu yang warna biru mobilnya!” titah Andhika yang diangguki oleh sang sopir.“Siap, Pak.”Sopir Andhika lantas melajukan mobil sesuai dengan arahan pria itu. Hingga akhirnya mobil Andhika berada tepat di belakang taksi yang ditumpangi oleh Hana.Andhika yang terlalu fokus mengejar taksi yang ditumpangi oleh istrinya, lupa dengan langkah lainnya untuk menghubungi Hana. Dia lupa kalau dia harusnya menelepon Hana agar menyuruh so
Sementara itu di unit apartemen Hana, Mutia bergegas menuju ke kamar Hana setelah dirinya menerima telepon dari resepsionis apartemen.Kedua bola mata Mutia berbinar ketika dirinya masuk ke kamar Hana. Bagaimana pun juga dirinya ikut senang mendengar kabar kalau Andhika ada di lobi. Artinya pria itu memang gigih mencari Hana, dan baru sekarang bisa menemukan mereka di sini. Dia berharap kalau hubungan Andhika dan Hana dapat membaik. Setidaknya demi bayi yang ada di kandungan Hana.Hana yang sedang rebahan di tempat tidur merasa heran melihat Mutia yang tersenyum semringah, ketika masuk ke kamarnya.“Ada apa sih, Mbak? Kok senyum-senyum terus? Ada kabar baik dari Jakarta?” tebak Hana yang langsung mendapat gelengan kepala dari Mutia sebagai jawaban.“Bukan, Han. Kabar baiknya bukan dari Jakarta, tapi dari lobi apartemen ini,” sahut Mutia dengan senyumannya yang mengembang di bibir.Hana memicingkan mata seraya berkata, “Kabar baik dari lobi apartemen ini? Apa itu? Apa ada diskon untuk
“Ehem.” Mutia sengaja berdehem untuk menginterupsi kedua insan yang sedang melepaskan kerinduan, karena cukup lama tak bertemu.Andhika melepaskan tautan bibirnya dan tersenyum menatap Hana seraya berbisik, “Sorry, aku lupa tempat. Kita lanjut di atas ya, Han. Kangen berat aku.”Wajah Hana tersipu. Namun, dia menganggukkan kepalanya dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Andhika lalu menggandeng tangan Hana dan melangkah menuju lift, diikuti oleh Mutia.Sementara itu, David pun berlalu dari balik pintu kaca lobi apartemen. Pria itu kembali melangkah menuju ke mobilnya. Tak lama, dia melajukan mobil meninggalkan area apartemen dengan wajah yang tertekuk.***“Kamu sudah makan, Mas?” tanya Hana lembut ketika dia berada di atas pangkuan Andhika. Mereka saat ini berada di ruang tengah. Menyaksikan acara TV. Namun acara TV itu hanya sebentar mereka saksikan, karena dua sejoli yang sedang merindu lantas sibuk sendiri di sofa.“Sudah. Kamu sendiri bagaimana, sudah makan?” ucap Andhika bala
Mutia seketika menjadi resah dengan kedatangan David sore itu. Dia khawatir kalau Andhika akan salah paham dengan kedatangan pria tersebut.“Hana sedang istirahat, Pak David.” Mutia sengaja berkata bohong, agar David segera pergi dari apartemennya. Sehingga pria itu tak bertemu dengan Andhika yang masih ada di dalam kamar.Kening David berkerut cukup dalam. “Hana kurang enak badan? Ini sudah sore, seharusnya dia jalan-jalan di sekitar sini atau ke tempat lain untuk cuci mata. Jangan di dalam apartemen terus. Bisa bosan nanti. Saya akan menunggu dia. Bila perlu saya akan mengajaknya jalan-jalan sore.”David lalu memberikan parsel buah-buahan beserta buket bunga pada Mutia. Seulas senyum terbit dari bibirnya ketika melihat Mutia yang serba salah saat ini.“Ayo, terima saja pemberian saya ini! Buah-buahan sangat bagus kan untuk ibu hamil. Terus bunga ini bisa ditaruh di bufet itu,” ucap David ketika Mutia belum mau menerima pemberiannya.“Pak David, mohon maaf kalau saya tidak bisa...” b
Mutia menghela napas panjang sejenak sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan Andhika.“Pak David memang pernah memberi makanan kemari. Jujur saja kalau kami terima, karena dia nggak memberi secara langsung. Tahu-tahu sudah ada di resepsionis. Hana juga sudah memberitahu Pak David, agar nggak mengirimkan lagi makanan atau yang lainnya kemari. Dituruti kok sama dia. Tapi, nggak tahu juga kenapa hari ini dia datang dengan membawa bunga dan buah? Itu yang membuat saya heran, Pak Dhika. Lalu mengenai makan malam dengan Pak David, belum pernah Hana lakukan. Hana selalu makan malam bersama saya. Atau kalau bersama dengan orang lain, selalu ada saya. Itu juga makan bersama dengan teman sesama model di sini,” jelas Mutia panjang lebar.Andhika terdiam setelah Mutia memberikan penjelasan. Rupanya penjelasan Mutia tadi diterima oleh pria itu. Terbukti kini suaranya mulai melunak.“Nanti kita makan malam di Marina Bay Sands ya, Han. Tadi kan kamu diajak makan malam di sana sama cowok itu. Biar a
Mutia menerima ponsel Hana dan membuka pesan itu serta membacanya. Kedua bola mata Mutia membulat setelah mengetahui pesan yang David kirim, berupa foto Andhika bersama dengan seorang wanita cantik. Foto itu diabadikan di depan sebuah gedung.‘Pak David dapat foto ini dari mana, ya? Apa dia mengikuti Pak Dhika? Kalau dilihat dari pakaian Pak Dhika sih, foto ini diambil hari ini. Tapi, buat apa Pak David mengirim foto ini ke Hana? Apa dia mau menyebar fitnah? Bisa jadi dia marah dan dendam karena bunga dan buah yang dia bawa, dibuang oleh Pak Dhika. Hm, aku mau hapus foto ini agar tak terjadi pertengkaran antara Hana dan Pak Dhika. Tapi, Hana pasti marah padaku kalau aku hapus foto ini. Aduh, bagaimana ini enaknya, ya? Karena aku yakin kalau Pak David berniat nggak baik dengan mengirimkan foto ini,’ ucap Mutia dalam hati.“Mbak, kok malah bengong saja sih? Pesan apa yang Pak David kirim? Coba lihat!” ucap Hana. Dia lalu menengadahkan tangannya, kode agar Mutia mengembalikan ponsel mili
Mutia datang ke unit apartemen dengan ditemani resepsionis, yang membantunya membawa pesanan makanan karena dia tak kuat membawanya sendiri. Hana memesan makanan cukup banyak. Ditambah lagi pesanannya dan pesanan Andhika. Sehingga berat kalau dia bawa sendiri.“Terima kasih atas bantuannya, ya.” Mutia berucap sambil memberi tip pada gadis itu.“Sama-sama. Saya permisi dulu,” ucap gadis itu, lantas berlalu dari hadapan Mutia.Andhika yang melihat makanan di meja cukup banyak, sangat terkejut.“Banyak amat pesanan makanannya, Mutia,” ucap Andhika. Dia menatap satu persatu makanan itu, dan meraih ice kachang yang tampak menggugah selera.“Ibu hamil yang pesan banyak begini, Pak. Katanya, kalau nggak habis nanti, Bapak yang disuruh menghabiskan makanannya. Makanya saya pesan makanan untuk Pak Dhika hanya laksa Singapura saja. Soalnya Bapak kan tadi pesan supaya disamain menu makanannya,” sahut Mutia kalem.“Ya sudah nggak apa. Tapi, yang laksa Singapura, satunya jangan dibuka. Kalau Hana
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me