Kebosanan maksimal membuat Angeline mencari channel tanpa tujuan. Matanya menatap layar televisi LED empat puluh inci yang dipasang Nathan di dinding kamar sejak bulan lalu. Sesekali dia melirik ke lelaki yang duduk memangku laptop di sebelahnya. "Sedang apa, Nath?" tanya Angeline. "Mencari rekomendasi perumahan yang bagus, aman dan tidak terlalu jauh dari sini untuk ayah mertuaku," jawab Nathan. "Oh, akhirnya papa mau juga?" Angeline bersandar sepenuhnya pada Nathan agar dapat melihat layar laptop. "Tidak menyangka, kan? Aku masih ahli membujuk orang. Jika dia akan sering berkunjung memang lebih baik memiliki properti sendiri, daripada menyewa apartemen selama beberapa minggu." Nathan mengecup dahi Angeline. "Setuju. Aku juga bisa berkunjung kalau sedang bosan," ujar Angeline. "Kita berdua," koreksi Nathan. Angeline tertawa, "Oke, kita berdua." "Butuh waktu satu bulan untuk membuat papamu mau membeli properti di Jakarta. Mungkin akan butuh waktu se
Tengah malam di penthouse ... "Nathan!! Nath, bangun!!" "Ugh ... what? Ada apa?" Nathan memicingkan matanya yang silau terkena cahaya lampu. "Aku pecah ketuban!!" Wajah Angeline menggambarkan kepanikan luar biasa. Dia cemas dengan keadaan bayi dalam kandungan. Lelaki yang mengantuk itu seketika menjadi segar bugar, "Shit! Mendadak??" "Kita harus segera ke rumah sakit!" Setelah berpakaian seadanya dan menyambar tas perlengkapan persalinan yang untungnya sudah dipersiapkan sejak minggu lalu, Nathan membopong Angeline turun ke basement. Dalam perjalanan Angeline menelepon Gabriel yang—lagi-lagi untungnya—sedang berada di Jakarta. Tiba di rumah sakit Angeline segera dibawa ke bangsal persalinan. Pemeriksaan menyeluruh dilakukan oleh para perawat berpengalaman. Nathan mendampingi sepanjang pemeriksaan dan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan perawat. "Maaf, Pak, ada ayahnya Ibu Angeline baru datang dan mau masuk melihat keadaan. Tapi tidak boleh ada d
"Nath, tolong gendong Rafa sebentar. Aku mau ke kamar mandi." Angeline menyerahkan bayinya kepada sang suami yang sedang memperhatikan laptop. "Kemari." Nathan segera mengambil Rafael dari tangan Angeline. Wanita itu pun segera berlari ke kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alam yang dia tahan sejak lima menit lalu. Dengan Rafael di lengannya, Nathan berjalan perlahan ke jendela. Sepasang mata bulat bayi berusia tiga bulan itu menatap ayahnya penuh rasa ingin tahu. Tangan kecilnya menggapai dan menyentuh wajah Nathan. "Cepat besar ... Papa sudah bosan sparring dengan mamamu," gumam Nathan. Seolah memahami perkataan Nathan si bayi mengeluarkan suara tawa yang menggemaskan. "Ugh, lega sekali." Angeline keluar dari kamar mandi. Nathan menoleh sekilas kemudian kembali memperhatikan bayi dalam gendongan. Angeline menghampiri kedua lelaki yang dicintainya. "Aku tidak keberatan kalau kamu mau gendong dia lebih lama." Angeline tersenyum. Dia bergelayut
Tengah malam ketika semua makhluk di muka bumi sudah terlelap ... Kegelisahan menyergap Angeline. Kedua tangannya mencengkeram sprei, pikirannya dipenuhi berbagai hal negatif. Kepalanya tertunduk menatap kedua ujung kaki yang menggantung dari tepi tempat tidur. Dia memandangi bayi mungil yang tidur nyenyak di boks bayi tanpa perasaan sedikit pun. "Maafkan Mama, Nak ...," bisiknya teramat pelan sampai nyaris tak terdengar. Setitik air mata jatuh di wajah Angeline, disusul titik-titik berikutnya. Rasa lelah yang teramat sangat berpadu dengan ketidakberdayaan membawa wanita itu pada perasaan gagal menjadi ibu yang baik. Angeline mendekap mulut agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengusik Nathan maupun Rafael. Perasaan ini biarlah dia sendiri yang menanggung. Jika Nathan tahu ... Ah, jangan sampai Nathan tahu. Lelaki itu sudah memiliki banyak beban di pundaknya. Mendengar suara gumaman Nathan, Angeline cepat-cepat mengusap air mata. Hati-hati sekali dia menyusu
"Mereka pasti telah menerima undangan." "Ya, Tuan Besar. Menurut pelacakan, undangan sudah sampai di tangan Nathaniel Wayne." Seorang lelaki tua berambut putih keperakan terkekeh, "Sayang sekali anak haram itu harus disingkirkan. Kalau tidak karena hubungan mereka, kita dapat menarik pemuda itu ke pihak kita. Dia bukan orang sembarangan." "Ya, Tuan Besar. Riwayat hidupnya sangat menarik," ucap si bawahan setia yang bernama Gerard. Tuan Besar Mei melirik bawahannya, "Di mana Gabriel sekarang?" "Beliau di Jakarta, Tuan." "Jakarta? Aku jadi ingin tahu apa yang menarik di kota itu." Tuan Besar Mei tersenyum. Otaknya menyusun beberapa rencana. Bawahan yang setia hanya berdiri diam. Sesuai kebiasaan, Tuan Besar pasti akan menitahkan sesuatu yang harus dikerjakan seketika ini juga. "Pestaku masih satu bulan lagi. Kurasa cukup waktu untuk bermain ke Jakarta, bukan begitu? Ada baiknya melihat langsung orang dan situasi." "Ya, Tuan Besar," sahut Gerard.
Sekelompok orang berjalan keluar dari gerbang kedatangan internasional di bandara. Sekitar selusin lelaki bertubuh kekar mengelilingi seorang lelaki tua berambut putih keperakan. Kelompok itu menarik perhatian semua orang terutama karena mereka memasang raut wajah seperti maju ke medan perang. "Inikah Jakarta? Panas sekali," cetus Tuan Besar Mei. Tangannya mengetukkan tongkat besi berkepala naga ke lantai. "Ya, Tuan. Karena kota ini terletak dekat garis khatulistiwa maka meskipun masih pagi iklimnya lebih panas dibanding Macau," kata Gerard dengan ketenangan seorang guru sekolah. "Hmm ... dan keponakan bodohku memilih tinggal di sini? Tidak masuk akal." Tuan Besar Mei terkekeh. Gerard tidak menyahut karena itu adalah sebuah ejekan terhadap Gabriel yang tidak perlu ditanggapi. Sebagai bawahan dia tidak layak ikut campur dalam pertikaian internal keluarga Mei. Baru saja rombongan Tuan Besar Mei mendekat ke mobil penjemput, kelompok lain berjalan ke arah mereka da
Omelan Angeline terngiang di kepala Nathan. Dalam hati dia mengeluh, kenapa wanita itu harus menyumpahi 'adik kecil'-nya? Kenapa tidak hal lain yang lebih tidak vital? Seperti kehilangan rambut misalnya? Sesekali diliriknya Angeline yang sedang bermain dengan Rafael di teras. Wanita itu sengaja memunggunginya. "Jangan lupakan aku, Baby Girl," ucap Nathan dengan raut wajah sedih. Angeline melirik galak, "Siapa kamu?" "Baru beberapa menit dan kamu sudah melupakanku? Sepertinya aku harus lebih sering mengingatkanmu dengan—" "Nathan! Omonganmu bisa direkam oleh alam bawah sadar Rafa loh!" protes Angeline sambil menutup telinga si bayi. Lelaki itu tersenyum geli, "Tidak mungkin. Aku belum pernah dengar hal seperti itu." "Aku sebal sama kamu. Puasa satu bulan deh." Angeline melengos. "No way, Baby Girl. Kamu mau menyiksaku?" "Kamu bisa puasa tiga bulan selama aku hamil muda, 'kan? Anggap saja sama." Nathan berkeluh-kesah. Pikirannya melimpahkan kesala
Suara tawa dan rengekan Rafael adalah satu-satunya hal yang mewarnai keheningan di ruang tengah rumah Gabriel. Meskipun hatinya tengah diwarnai kegelisahan, sebisa mungkin Angeline tetap meladeni si bayi bermain. Baginya kegembiraan Rafael adalah prioritas yang tidak dapat diganggu gugat. "Tak terhindarkan. Cepat atau lambat, pada suatu hari kalian pasti akan bertemu dengannya." Gabriel menyesap teh herbal yang disajikan oleh juru masak. "Aku tahu. Tadi pagi lelaki tua itu meneleponku," ujar Nathan. Gabriel menatap lawan bicaranya, "Dia bergerak cepat." "Apakah tujuannya murni menginginkan Angeline? Aku merasa dia memiliki maksud tersembunyi." Diam sejenak sebelum Gabriel membalas, "Nathan, kamu lebih paham cara kerja orang-orang dunia hitam. Menurutmu apa yang dia incar?" Nathan mengernyit, "Aku." Gabriel tersenyum, "Dan apa kelemahanmu?" Nathan memandangi Angeline yang duduk di sofa. "Dia melakukan hal yang sama terhadapku dan cukup berhasil.
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu