"Maaf Mas. Tadi yang menjaga pasien mengatakan tiba-tiba dia menjerit sendiri. Ketika kami datang pun dia masih menjerit-jerit seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Sejak itu tekanannya langsung naik melebihi sebelumnya. Tolong pasien dijaga dengan baik. Karena bila tekanan melebihi angka 200 bisa mengakibatkan pembuluh darah pecah," saran Dokter. Hanan mengangguk.
"Oh, ya. Mas. Ibunya ini juga mengalami gejala stroke ringan. Makanya kalau sakit sering susah bicara."
"Jadi, apa yang harus aku lakukan, Dok?Apa mama bisa sembuh?"Hanan terkejut mendengar penjelasan Dokter.
"Tenang. Hanya gejala ringan. Jadi tidak boleh terlalu capek dan tidak boleh terlalu banyak pikiran saja untuk menjaganya. Perbanyak jalan-jalan di bawah Sinar matahari pagi," terang Dokter membuat Hanan sedikit lega.
***
"Malilah, ini ASI untuk Arumi. Karena dia lebih tenang dengan kamu, maka selama Arumi di sini, tugas kamu dialihkan mengurus dia saja!" ucap Bu Heni sambil"Hanan! Apa yang kamu lakukan? Siapa Dia?" tanya Bu Heni langsung berdiri."Bu ... dia ini .... pengasuh Arumi, sekaligus Ibu ASI untuknya," sahut Hanan membuat Fania langsung menarik tangan Hanan menjauh dari Malilah. Raut wajahnya jelas memperlihatkan ketidaksukaan besar. Sementara Bu Heni langsung menatap Malilah tajam."Ayo, Mas. Aku pulang. Ayo! Kita pulang. Mulai hari dia bukan pengasuh Arumi. Dia pembantu di sini," ucap Fania sambil merebut paksa Arumi dari tangan Bu Heni."Fania! Bisa enggak kamu memperlakukan Arumi lebih lembut?" Hanan mendekat dan mengambil Arumi dari tangan Fania.Arumi yang kaget karena diangkat dengan gerakan kasar langsung menangis. Hanan langsung mendekat pada Malilah kemudian menyerahkan Arumi. Tak tega mendengar suara tangisan Arumi, Malilah langsung menyambut. Sebentar saja Malilah menenangkan Arumi, tangisnya perlahan reda."Mas! Aku mau ikut. Pokoknya aku mau ikut!" ucap Fania memaksa sambil me
Semua pembantu Hanan sebelumnya memanggil dengan sebutan demikian. Malilah tak menjawab, hanya mengangguk sambil tersenyum.Fania kemudian membantu Malilah membawa barang-barangnya kembali ke depan menemui Hanan. Wajah Hanan langsung tersenyum cerah melihat hal itu."Bu Heni, Maaf!" ucap Malilah merasa tak nyaman, baru sehari bekerja langsung ditinggalkan.Bu Heni hanya mengangguk singkat. Menghadapi situasi saat itu, bingung ia ingin berkata apa. Semuanya jadi serba salah. Malilah mengambil Arumi dari tangan Bu Heni, lalu mereka pun berpamitan.Hanan meraih tas Arumi juga tas Malilah yang kerepotan menggendong Arumi. Fania langsung merebut tas Malilah dan mengganti dengan tasnya yang tidak seberapa besar. Walaupun susah payah, ia lebih memilih membawa tas Malilah. Sepertinya ia tak rela suaminya membawakan tas orang lain.Sampai di mobil, Bu Ratih terkejut bukan kepalang. Bu Ratih tak menyangka Hanan akan keluar berbarengan dengan Fani
"Iya? Kenapa? Tadi istri Tuan bilang, aku harus panggil begitu, dan memang begitu seharusnya," sahut Malilah pelan tetap tak mau menatap wajah Hanan.Gantian Hanan memperlihatkan raut wajah tak suka mendengar jawaban Malilah. Tanpa bicara lagi, ia langsung keluar dari kamar Arumi, untuk melihat keadaan ibunya di kamar sebelah.***Karena kondisi Bu Ratih harus banyak istirahat, maka Hanan berinisiatif untuk meminta Fania membantunya mempersiapkan makan malam."Mas, masaknya banyak banget," tanya Fania heran."Iya, kan Malilah harus banyak-banyak makan sayuran, terutama sayuran hijau, supaya ASInya lancar, mama juga makannya harus dijaga, soalnya kolesterol," jawab Hanan sambil tersenyum."Kamu, kok perhatian gitu sama Malilah, Mas?" suara Fania terdengar tak suka. Hanan menghentikan kegiatannya sebentar dan berpaling menatap Fania."Bukan untuk Malilah, tapi untuk Arumi," jawab Hanan memberi pengertian. Fan
"Ehem!"Hanan yang duduk berhadapan dengan Malilah mendadak berdiri. Ia tak menyangka Fania kembali secepat itu."Loh, Dek. Kok dibawa balik?" tanya Hanan heran dan sedikit panik."Mama enggak mau makan, mungkin gak mau kalau aku yang suapin." Fania meletakkan nampan sedikit kasar di atas meja dekat Malilah makan."Masa sih?" Hanan beranjak menuju kamar ibunya."Ma ... Ma! Kenapa enggak makan? Makan biar cepat sembuh! Ntar minum obat!" Bu Ratih diam saja tak menjawab ucapan Hanan."Mama mau Hanan yang suapin?"Bu Ratih menggeleng. Hanan kembali dengan raut kecewa. Malilah yang baru selesai makan, langsung meraih nampan tadi."Aku coba ya," ucapnya. Hanan menatap Malilah sangsi, kemudian mengikuti dari belakang. Fania pun mengikuti."Bu, makan ya," ucap Malilah lembut.Bu Ratih terdiam kemudian mengangguk. Ia beralih menatap ke arah Fania kemudian menata
Malilah terdiam. Ucapan Fania ada benarnya juga. Keduanya sama-sama diam, sampai Arumi selesai menyusui dan mulai tertidur. Fania langsung mengangkat Arumi kembali untuk dibawa ke kamarnya kembali."Karena Arumi sekarang lebih banyak sama aku, jadi ... pekerjaan dapur yang lain saja kamu kerjakan. Nyiapin makanan, nyapu, nyuci!" perintah Fania sebelum meninggalkan kamar. Malilah mengangguk patuh. Tak nyaman juga rasanya hanya berdiam diri bila memang tugasnya terhadap Arumi hanya sebatas itu sekarang.***Arumi kasak-kusuk di tempat tidur. Sepertinya ia gelisah. Padahal hari sudah malam. Fania pun mulai terpejam beberapa kali. Saat Fania mulai terlelap, Arumi kembali menangis."Maas! Kamu gendong dulu dia biar diam. Aku ngantuk berat niih!" ucap Fania tanpa mau membuka mata. Hanan menuruti ucapan istrinya.Dalam gendongan Hanan, Arumi sedikit tenang. Namun bila diletakkan kembali, Arumi mulai rewel lagi. Hampir satu jam sudah
Fania langsung mengangkat Arumi dan membawa ke kamar mereka kembali. Hanan langsung mengejarnya dari belakang. Sementara Malilah langsung terduduk bengong karena kaget. Kejadiannya terlalu cepat. Malilah turun dan diam-diam mengikuti langkah mereka ke kamar, memastikan Arumi tidak menangis.Bruk!Fania menutup pintu kamar dengan kasar, membuat Arumi terkejut dan seketika menangis. Fania meletakkan begitu saja Arumi di kasur."Brengsek kamu, Mas! Kamu ninggalin aku sendiri, cuma buat tidur di kamar pembantu itu! Plaaak!" Satu tamparan dari tangan Fania melayang ke pipi Hanan.Hanan mengusap wajah sambil mendekat pada Arumi yang makin menangis mendengar suara Fania berteriak."Aku belum selesai bicara, Mas! Kenapa kamu bawa Arumi ke sana? Aku kan sudah bilang, biar aku yang bawa kalau dia mau nyusu.""Fania! Kamu sudah berkali-kali kubangunkan, tapi kamu tidur seperti orang mati saja. Siapa lagi yang membawanya
"Pak Bos. Sebaiknya, dikamar ibu saja kalau ....""Aku mau di sini!"Malilah akhirnya mengalah. Ia melangkah keluar menuju kamar Bu Ratih, sekaligus melihat kenapa Bu Ratih tak bersuara. Aneh rasanya bila ia tertidur dengan situasi yang lumayan ribut dan panas saat itu."Permisi, Bu!"Bu Ratih berbalik, kemudian duduk saat melihat Malilah datang bersama Arumi."Bu, maaf. Boleh aku menidurkan Arumi di sini sementara?"Bu Ratih mengangguk dan bergeser memberikan selah. Malilah duduk di tepi ranjang."Kenapa? Apa Hanan ada di sana?"Malilah mengangguk. Ia kemudian memberikan ASI pada Arumi dengan tenang."Hanan memang begitu, kalau lagi marah atau kesal pasti maunya tidur di kamar itu. Itu kamarnya waktu sendiri dulu. Setelah menikah dengan Fania, baru dia pindah ke kamar depan," tutur Bu Ratih pelan. Malilah menyimak dengan baik. Berati tadi Bu Ratih terbangun saat mereka bertengkar?"I
"Enggak enak, tapi kayaknya habis banyak!" sahut Malilah sambil melirik mangkok yang tadi berisi sayur dan piring ikan."Terpaksa, karena aku kelaparan. Tadi malam sampe lupa makan," jawab Hanan sambil meraih tisu."Arumi masih sama Mama ya? belum bangun?" tanya Hanan lagi."Udah, dikamar kok. Sama mamanya!""Apa? Kok ditinggal!"Hanan langsung melompat meninggalkan dapur dan berlari menuju kamar Arumi. Malilah geleng-geleng kepala. Sepertinya emang Hanan yang terlalu berlebihan selama ini.Hanan buru-buru membuka pintu kamar, dan bernapas lega melihat Arumi sedang berbaring di kasur. Ia mendekat sambil melirik Fania di samping Arumi."Mas ....""Aku ... minta maaf ya, soal tadi malam. Aku ... khilaf. Aku juga sudah minta maaf sama Malilah," ucap Fania sambil turun dari ranjang dan bergelayut di lengan suaminya.Hanan terdiam. Kesalnya bukan hanya karena sikap Fania pada Malilah. Tapi juga karena
"Kamu belum datang bulan lagi, Mah?" tanya Hanan suatu malam. Malilah mengangguk."Kita cek lagi, ya? Kita ke Dokter lagi?"Malilah menggeleng. Udah beberapa kali dalam setahun terakhir ia kecewa karena sempat telat hampir seminggu, namun saat di cek hasilnya negatif dan menurut dokter hanya pengaruh hormon makanya sering telat. Benar saja, beberapa hari setelah periksa, tamu bulanannya datang kembali."Ya sudah kalau enggak mau. Enggak usah sedih gitu," ucap Hanan menghibur. Malilah masih saja murung."His, kenapa sih? Kok cemberut gitu. Kalo memang waktunya di kasih, ya pasti di kasih," Hanan tak tega melihat Malilah bersedih."Kalo enggak dikasih-kasih gimana, kamu bakal kawin lagi enggak?" tanya Malilah sambil mendongak."Kawin lagi lah, kalau boleh. Awwww" jawab Hanan meringis karena cubitan Malilah sudah melayang di lengannya. Hanan kemudian tertawa melihat Malilah malah menangis."Kamu kok jadi cen
Waktu berlalu dengan cepat. Arumi kini berusia kurang sedikit lagi tiga tahun."Amaaa ... tupah!" ucap bocah manis yang sedang meminum susu di dalam gelas."Nah ... nah ... nah .... apa nenek bilang, tumpah lagi kan? Makanya kalau makan atau minum itu sambil duduk. Jangan sambil jalan," sahut Bu Ratih sambil berdiri meraih kain lap dan membersihkan susu Arumi yang tertumpah."Lagi susunya?" tawar Malilah sembari bertanya. Arumi menggeleng."Maaa ... mau dalan-dalan," Arumi mengalungkan tangan di leher Malilah."Mau jalan kemana sihh?" tanya Malilah. Bukannya menjawab, Arumi malah merengek sambil mengeratkan tangan di leher Malilah." Ayo kita bilang dulu sama Papa. Kalau Papa mau, kita berangkat ya," ucap Malilah menggendong Arumi mencari Hanan."Nah, itu Papa ...."Malilah menurunkan Arumi dari gendongan."Kenapaa?" tanya Hanan melihat Arumi menyembunyikan wajah.
Hanan kemudian berlari keluar menuju kamar Arumi. Ia mencari baju Fania yang masih baru, dibeli saat tubuhnya agak melar setelah melahirkan Arumi. Ia kembali ke kamar dan menyodorkan baju Fania."Inih, boleh dipake tapi batasnya sampe Arumi tidur aja," goda Hanan lagi.Malilah mendelik mendengar ucapan Hanan, namun akhirnya lega, karena akhirnya bisa keluar dari kamar. Setelah salat magrib, ia langsung menyediakan makan malam untuk keluarga besar mereka.***Jam sembilan malam. Arumi malah asik bermain di lantai. Matanya masih saja segar bugar padahal Hanan sudah gelisah. Malilah pura-pura tak melihat kegelisahan Hanan, asik menemani Arumi main."Tadi Arumi tidurnya lama, ya?" tanya Hanan. Malilah mengangguk."Tadi kamu datang sore, dia baru bangun tidur, tuh," jawab Fania."Pantesan," jawab Hanan dengan raut kecewa. Malilah jadi tak tega melihatnya. Ia langsung naik ke ranjang dan mendekat.
"Mana buktinya anak saya melakukan kejahatan? Mana?" tanya Pak Irman begitu selesai membaca surat perintah penangkapan, saat Fania dijemput oleh pihak yang berwajib beberapa hari setelah Hanan melaporkannya."Nanti, akan dibuktikan di kantor, Pak. Makanya anak bapak dibawa ke kantor untuk proses selanjutnya," jawab Pak Polisi."Kalau anak saya terbukti tidak bersalah, saya akan tuntut kalian semua!" kecam Pak Irman berang. Bu Heni tak bisa melawan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya ketika pihak kepolisian membawa Fania untuk diintrogasi.Memasuki kantor polisi, Hanan yang sejak tadi sudah menunggu langsung berdiri melihat Fania masuk dengan caci maki dan sumpah serapah dari mulutnya. Pak Irman pun menatapnya tak kalah tajam. Mereka tahu Hanan adalah orang yang melapor.Fania menampik semua pertanyaan yang diajukan padanya. Ia bersikeras tidak pernah terlibat dengan kasus kehilangan seseorang apalagi pembunuhan.Namun begitu rekaman
Aku surprise sekali melihat perlakuan Hanan pada Malilah. Kenapa dia bersikap manis pada Malilah sementara padaku dia sering ketus? Aku tidak bisa terima ini. Wanita itu harus disingkirkan bagaimanapun caranya.Malilah yang lugu, mengiraku benar-benar bersikap baik padanya. Demi apa? Aku hanya mencari informasi tentang suamimya. Saat aku tahu, aku mengajak pria bernama Dimas itu bertemu."Apa keperluanmu?" tanya Dimas."Bawa istrimu itu keluar dari rumahku. Kamu tahu? Di sana dia selalu berduaan dengan Hanan! Kadang Hanan pun tidur di ranjangnya!" jawabku memanas-manasi.Kulihat ia terpancing dan mulai geram. Tapi, sesaat kemudian kemarahannya kembali mengendor."Aku enggak berani ketemu mertuamu yang ganas itu," sahut Dimas.Setelah kutanya, ternyata dia pernah bermasalah soal uang. Jumlahnya tidak seberapa sih, bagi aku. Aku bahkan memberinya tiga kali lipat dari jumlah utangnya, dengan syarat dia harus membaw
"Ya ampun Bibik. Ngapain ngomong gitu. Bibik kan kesusahan gara-gara kami juga. Bibik boleh kok, kerja di sini sampaibkapan saja yang bibik mau. Selamanya juga boleh, itung-itung jadi teman berantemnya Mama. Soal perhiasan mah, enggak usah dipikirin. Enggak ada apa-apanya dibanding nyawa Bibik. Iyakan, Ma?" tanya Hanan tersenyum melirik Bu Ratih. Walau sempat mendelik karena ucapan Hanan soal teman berantem, Bu Ratih kemudian tersenyum dan mengangguk. Malilah pun tersenyum senang."Enggak ingat, Mas! Dia pakai masker sama kacamata hitam. Seingatku orangnya tinggi. Terus di tangannya, pas ngambil perhiasan, aku sempat liat ada tato naga gitulah, di sini. Kanan," ucap Bik Timah sambil mengusap punggung tangan kanannya."Tato elang?"Mata Malilah menyipit mendengar ucapan Bik Timah. Ia kemudian menatap Hanan. Keduanya mungkin memiliki kecurigaan pada orang yang sama. Tapi, bagaimana bisa?"Eh, iya Mas! Aduh, pas kejadian itu sengaja saya tinggali
"Malilaaah, Arumi ...." ucap Hanan mendekat langsung mengangkat Arumi dan menciumnya. Bu Ratih berinisiatif untuk membawa Arumi keluar, dan membiarkan Hanan berbicara dari hati ke hati menenangkan Malilah."Sini sama Nenek," ucap Bu Ratih kemudian menenangkan Arumi di kamarnya."Malilah, jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka enggak akan menganggapmu pelakor," ucap Hanan membawa Malilah berdiri dan bicara di ranjang Arumi."Bohong!" ucap Malilah menepis tangan Hanan."Malilah, jangan begini. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hanan bingung. Malilah menggeleng. Hanan meraih tisu dan mengusap air mata Malilah."Aku minta maaf! Aku minta maaf karena membawamu ke situasi sulit seperti saat ini," Hanan menyandarkan kepala Malilah di dadanya. Malilah masih menangis sesenggukan."Semuanya pasti akan membaik seiring waktu," ucap Hanan meyakinkan. Malilah perlahan mulai tenang."Bagaimana kalau ternyata aku
Hanan mengambil kesempatan tersebut untuk menekan Fania lagi. Bu Heni dan Pak Irman tak bisa berbuat apa-apa untuk melepas Fania dari cengkraman Hanan."Katakan! Apa kepergian Bik Timah ada hubungannya dengan orang yang kamu temui kemaren?" tanya Hanan kasar."Aww, eng-gak. Sakit, Hanan!" sahut Fania meringis."Lalu siapa orang itu? Apa dia selingkuhan yang menghamilimu?" tuding Hanan lebih pedas lagi."Bu-kan, Hanan! Bukan! Aku enggak hamil! Aku enggak hamil! Iya! Aku enggak hamil!" ucap Fania tak tahan lagi dalam tekanan Hanan.Bu Ratih merasa menang karena dugaannya benar langsung menarik bibir, tersenyum mengejek pada Bu Heni dan Pak Irman yang mulai bungkam dan sedikit menunduk. Hanan lega untuh satu hal, tapi masih ada hal lain yang mengganjal."Liat, Heni! Cara apa yang kamu pakai untuk melakor puluhan tahun silam, juga dilakukan oleh anakmu! Bukankah dulu kamu dengan lantang berkata hamil di depan orang
Dalam sekejap angka di simbol mata sudah tampak di layar ponsel Fania. Ia tersenyum puas. Dari dalam Bu Ratih rupanya lebih dahulu keluar."Mau apa lagi kamu datang-datang ke sini? Bukankah kamu sudah diceraikan Hanan?" sambut Bu Ratih langsung gas."Oooh, iya. Kami cuma mau ketemu sama pelakor yang bikin Hanan ngebet ninggalin anakku. Itu dia!" ucap Bu Heni begitu Malilah keluar bersama Hanan yang sedang menggendong Arumi dari dalam."Hello, Miss Valak! Selamat ya! Kamu berhasil ngerebut suami dan anakku!" ucap Fania sambil mengarahkan kameranya ke wajah Malilah. Hanan menyerahkan Arumi pada ibunya. Di layar ponsel Fania sudah beberapa komentar hujatan yang ditujukan pada Malilah masuk.[Cantikkan juga istri sah][Hempas pelakor, Mbak][Hajar Mbak, aku dukung][Loh, ini kan pengasuh anaknya, bisanya ya?] Komentar dari salah satu orang yang kenal dengan keluarga mereka.[Kalau dilihat muka pelakornya lugu, ternyata ular!]