“Puppy..”
Dylan berdiri di depan pintu kamar Lumia, mengetuk dengan lembut, namun tak ada jawaban. Hatinya berdebar, campuran antara rasa khawatir dan kesal.
“Lumia” panggilnya pelan, berharap mendapat respons dari gadis itu. Namun, keheningan tetap menyelimuti ruangan.
Dia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lumia, buka pintunya. Kita perlu bicara!” ujarnya, suaranya kini lebih tegas. Tapi tetap tidak ada jawaban.
Dylan menatap pintu itu sejenak, semakin frustasi. Perlahan, wajahnya mulai menunjukkan ketegangan. “Kalau kau tidak buka pintu, aku akan masuk dengan cara lain” ancamnya dengan suara rendah, hampir berbisik.
Dari dalam kamar, hanya ada keheningan yang membungkus. Ternyata, Lumia memang tak berniat membuka pintu.
“Baiklah” Dylan berkata dingin. "Jangan bilang aku tidak memberi peringatan."
Tanpa berpikir panjang, dia melangkah mundur sejenak, lalu berlari
“Sudah berapa lama dia disitu?” Tanya Enid saat melihat Dylan masih berdiri di arena latihan, peluh bercucuran, napasnya memburu. Tembakan demi tembakan terus menghantam mayat yang dijadikan target, seolah ia ingin menghancurkan segala sesuatu yang ada di hadapannya.Lucius duduk di tepi ruangan dengan ekspresi datar, sedangkan Enid terus memandang Dylan dengan rasa khawatir yang tidak bisa disembunyikan. “Hampir 2 jam” Jawab Dyan“Wah gila” Enid berseru “Kau tahu dia kenapa?”Dyan menggeleng, tak tahu apa yang membuat kakaknya itu menjadi begitu kacau. Emosi Dylan tak stabil dan Dyan sebagai kembaranpun tak mengerti apa yang membuat Dylan menjadi begini“Masalah wanita mungkin” Lucius berpendapat dengan acuhnyaDyan menghela napas panjang, matanya masih menatap Dylan yang terus-menerus menembak tanpa jeda. "Masalah wanita?" gumamnya, mengulangi kata-kata Lucius. "Dia memang
Dylan dan Dyan memang saudara kembar identik, namun jika berbicara masalah sifat maka Dylan dan Caid adalah kombinasi yang mematikan.Mereka manipulatif, posesif dan cukup gila masalah ranjang, meskipun tak separah Lucius yang meniduri saudara tirinya sendiriDan sialnya, karena sifatnya yang hampir sama dengan Caid, membuat Dylan kadang kesal dengan dirinya sendiriDylan tak menyesal pernah melakukannya, bagi orang dalam dunia sepertinya, seks adalah salah satu penghiburan tersendiri.Dylan juga tak membenci itu, hanya saja setelah tahu jika Lumia mual dengan dirinya , hal itu melukainya lebih dalam daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.Dylan menatap bayangan dirinya di cermin besar yang tergantung di sudut ruangan, wajahnya terlihat tegang. Dalam keheningan kamar yang mewah namun terasa hampa, pikirannya terus-menerus dihantui oleh tatapan Lumia yang penuh keraguan dan sedikit jijik.Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba m
Dylan tiba di depan gerbang rumah keluarga Lorenzo, mobilnya melambat dan berhenti dengan halus. Seorang penjaga menghampirinya, mengenali kendaraan dan sosok pria di dalamnya. Tanpa banyak bicara, penjaga membuka gerbang besar itu, memberinya akses masuk.Dylan melirik penjaga itu dan mengangguk kecil. Dalam hatinya, dia merasa lega. Petrus telah memintanya untuk menjaga putrinya, memberinya alasan untuk tetap berada di orbit gadis itu meskipun Lumia semakin menjauh darinya.Ketika dia sampai di depan pintu utama, suasana rumah tampak sepi. Hanya ada beberapa lampu yang menyala, memberikan suasana tenang yang hampir menyeramkan.Dia melangkah masuk ke ruang tamu yang luas. Sepi. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar, bergema di lantai marmer. Dylan melirik sekeliling, mencari tanda-tanda kehadiran siapa pun, tetapi hanya keheningan yang menjawabnya.“Lumia?” panggilnya dengan suara rendah. Tak ada jawaban.Ponselnya menunjukkan pu
Demi Tuhan! Siapa yang menciptakan kebiasaan aneh bagi perempuan untuk melepas bra saat tidur? Dylan ingin mencaci sekaligus menghormati orang yang memulai ide gila itu. Sebab kini, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tangannya secara langsung bersentuhan dengan dada Lumia. Kain tidur tipis yang dikenakan Lumia sama sekali tidak membantu, justru membuat setiap sentuhan terasa nyata—lembut, kenyal, dan membingungkan.Dan ini bukan gadis sembarangan. Ini Lumia, si polos yang selalu berhasil menciptakan dilema di kepala Dylan. Wajahnya mungkin seperti malaikat, tapi sikapnya? Seolah dirancang khusus untuk menguji batas kesabaran pria.“Tidak tertarik untuk... menyusu, Dylan?” ujar Lumia tiba-tiba, memecah keheningan dengan nada menggoda yang begitu santai.Dylan menoleh, matanya memicing penuh peringatan. Gadis itu menatapnya dengan ekspresi santai, seolah tidak sadar dengan api yang baru saja ia nyalakan. Di luar, hujan turun deras, menambah
Tubuh polos tanpa busana dua anak manusia itu masih terlelap dengan nyamannya di atas ranjang yang berantakan. Cahaya pagi mengintip dari sela-sela tirai, memberikan kehangatan lembut pada ruangan yang semalam penuh dengan jejak-jejak hasrat.Lumia perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa lelah, tetapi ada kehangatan yang menyelimuti, berasal dari lengan Dylan yang melingkar di pinggangnya. Ia menoleh sedikit, melihat wajah pria itu yang tampak damai dalam tidurnya. Rambutnya berantakan, dan napasnya teratur. Dylan kini tampak begitu rentan dan begitu manusiawi.Lumia tersenyum kecil, merasakan pipinya memanas saat mengingat apa yang terjadi semalam. Hatinya berdebar, tidak menyesal, tetapi juga tidak tahu harus bagaimana menghadapi Dylan setelah ini.Matanya menatap Dylan lebih lama, memperhatikan setiap detail wajah pria itu. Garis rahangnya yang tegas, bulu mata panjang yang tertutup rapat, dan bibir yang semalam begitu rakus mencium setiap sudut tubuhnya. R
“Selama papa tak ada, kau aman saja kan?” Petrus bertanya, suaranya penuh kekhawatiran, meskipun ia berusaha terdengar tenang. Lumia mengangguk, meskipun ada keraguan yang tersembunyi dalam dirinya.“Aku baik-baik saja, Pa. Dylan menjagaku dengan baik” Lumia menjawab dengan nada antusias yang tak dia sadari. Dia bahkan tersenyum ringan, seolah kata-kata itu menenangkan dirinya. Namun, di dalam hati, ia tahu bahwa ada lebih dari sekadar penjagaan yang Dylan berikan. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang mungkin Petrus tidak akan pernah mengerti.“Ada apa dengan senyummu itu?” Petrus bertanya pada putrinya dengan nada menggoda“Tidak ada apa-apa” jawab Lumia cepat, berusaha menutupi senyumannya yang tanpa sadar muncul. Ia memotong rotinya dengan pelan, menghindari tatapan ayahnya. Namun, Petrus Lorenzo bukanlah tipe orang yang mudah tertipu, apalagi oleh putrinya sendiri.“Kau pikir Papa tidak mengenalmu?” Petrus mengangkat alis, meletakkan cangkir kopinya di atas meja. “Biasa
“Kau tak sehat, Puppy?” tanya Dylan, matanya memeriksa dengan cermat wajah Lumia yang tampak sedikit lebih pucat dari biasanya. Mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan menuju sekolah, dan meskipun Lumia mencoba terlihat baik-baik saja, Dylan tahu ada sesuatu yang mengganggunya.Lumia tersenyum tipis, berusaha menutupi kecemasan di dalam dirinya. “Aku baik-baik saja, Dylan,” jawabnya dengan suara lembut, meski nada itu terdengar sedikit terpaksa.Dylan meliriknya dari kursi pengemudi, matanya tetap fokus ke jalan, tetapi ekspresinya tetap tajam. “Kau yakin? Kau... lebih diam dari biasanya.”Lumia menoleh ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan Dylan. "Aku cuma sedikit capek, itu saja" jawabnya pelanBahkan setelah sampai disekolahpun Lumia langsung keluar dari mobil Dylan, tak ada basa basi seperti kecupan ringan yang biasanya mereka lakukan dan Dylan hanya bisa memaklumi keadaan LumiaDylan menatap pun
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasi
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t