Caid menggendong Lova dengan mudah, meskipun tubuh mereka masih basah dari air panas bathtub. Lova yang terkejut meronta sedikit, berusaha menyesuaikan diri dengan posisi Caid yang kuat dan penuh dominasi. Tangannya terletak di leher Caid, sementara tubuhnya dibawa menuju ranjang.
Caid menurunkan Lova perlahan, memastikan tubuhnya tetap dekat dengan tubuh Lova. Mata Lova terfokus pada setiap gerakan Caid, yang kini mulai melepaskan piyama tidurnya dengan gerakan lambat yang penuh sensualitas. Lova menahan napas, merasa sedikit terjepit oleh ketegangan yang tercipta di antara mereka.
"Perutmu mulai berbentuk, Love" kekeh Caid dengan senyum nakal yang tak bisa disembunyikan. Dia memandang perut Lova dengan penuh minat, seolah ingin mengeksplorasi setiap perubahan yang terjadi pada tubuh wanita itu sejak kehamilan mulai tampak jelas.
Lova menatap Caid dengan mata yang sedikit membelalak, tubuhnya terasa lebih sensitif dari biasanya. Perutnya yang mulai membuncit ta
Lova bergerak pelan dan terkendali, membiarkan setiap gerakan menciptakan ketegangan yang mendebarkan di antara mereka. Kali ini Lova balas dendam pada Caid dia tak memasukan batang keras itu kedalam miliknya, melainkan hanya menggesekannya, bergerak diatasnya hingga cairan Lova membanjiri batang Caid.Caid menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga kendali dirinya, tetapi gerakan Lova yang menggoda membuat pikirannya kabur.“Love…” desis Caid, mencoba mencari celah untuk tenang, meskipun jelas bahwa separuh dari dirinya ingin melakukan lebih.Lova hanya tersenyum kecil, tidak menghentikan gerakannya. “Bukankah itu tujuanmu, Caid? Aku hanya melakukan yang kau lakukan padaku tadi” pinggulnya bergerak, menindih batang Caid dengan gerakan intensCaid tertawa pendek, nada suaranya terdengar seperti geraman hewan buas "Relova" gumam Caid di antara desahan yang terputus.Lova berhenti sejenak, mendongak untuk menatap mata C
Ophelia berdiri di lorong rumah sakit, mondar-mandir tanpa henti. Matanya melirik ke arah pintu ruang persalinan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Sementara itu, Calton duduk dan nampak terlihat tenang, tetapi getaran kecil di kakinya menunjukkan bahwa dia sama cemasnya."Kenapa lama sekali?" gumam Ophelia dengan nada khawatir. "Bagaimana kalau ada sesuatu yang salah? Lova kelihatan begitu lemah saat terakhir kita bertemu." Ophelia khawatir, bagaimana pun dia pernah ada diposisi Lova saat melahirkan Caid dulu dan Ophelia tahu betapa menyakitkannya ituCalton menghela napas, berusaha memberikan rasa tenang meski hatinya sendiri berdegup kencang. “Lova itu perempuan yang kuat, Helia. Kau lihat sendiri bagaimana dia menghadapi semuanya selama ini. Caid juga ada di sana untuk menjaganya.”Ophelia mendesah, tapi tidak sepenuhnya tenang. "Tetap saja... Ini pertama kalinya aku menjadi nenek. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Dan Caid... dia pasti panik di dalam sana."Mendenga
Oke bagi yang penasaran, kisi-kisi tentang asmara Dylan ini ada di chapter 87 yaa, dialog akhir antara Dylan dan Caid. Nah jika di bab 87 itu POV nya Caid maka ini POV nya Dylan, hihihi------- Happy Reading --------Dibawah cahaya neon kasino yang menyilaukan, seorang pria tampan duduk dengan percaya diri di meja judi. Mata coklat gelapnya yang tajam memantulkan kilatan cahaya, sementara tangannya bergerak gesit, menandakan bahwa dia sudah terbiasa dengan permainan ini.Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan anggun, tubuh tinggi nan ideal itu mengenakan gaun hitam yang memamerkan bentuk tubuhnya yang sempurna. Dia melirik pria itu dengan senyum menggoda, lalu mendekat."Jadi, kau benar-benar yakin bisa menang besar malam ini?" bisiknya, suaranya lembut namun penuh tantangan. Jemari lentiknya mengusap dada bidang pria ituPria itu mengalihkan pandangannya ke wani
Lumia Lorenzo, putri perdana menteri AS. Ayahnya, Petrus Lorenzo adalah seorang perdana menteri luar negeri. Petrus sudah diakui dengan kemampuan dan loyalitasnya, karena itu, dia sudah menjawab sebagai menteri selama dua periode dan ini masuk periode ketigaLumia adalah kebalikan dari semua prinsip yang Dylan junjung. Gadis mungil itu bahkan hanya setinggi dadanya meskipun sudah menggunakan high heels setinggi 10 cm. Wajahnya simetris, dengan pipi menggembung seperti tupai yang memberi kesan manis nan polos. Daripada cantik, dia terkesan imut dan menggemaskan. Namun, tingkahnya benar-benar berbeda dari penampilannya.Tidak seperti kebanyakan wanita yang menghadiri pesta tersebut dengan penuh kehati-hatian, Lumia tampak seperti berada di dunianya sendiri. Gaun biru yang dikenakannya tidak hanya menonjolkan sosok mungilnya, tetapi juga menyampaikan kepribadiannya yang hidup dan tanpa beban.Dia tampak tidak peduli dengan tatapan tajam atau komentar halus para tam
PLAK!!Dengan wajah yang masih merah, Lumia tiba-tiba mengangkat tangan kanannya dan menampar pipi Dylan dengan keras. Suara tamparan itu menggema di sudut ruangan yang sepi, membuat Dylan tersentak dan mundur selangkah.“KAU PIKIR INI LUCU?!” bentak Lumia, suaranya tak lagi lirih. Dia mendorong dada Dylan dengan kedua tangannya, cukup kuat hingga pria itu terpaksa mundur satu langkah. Matanya berkilat tajam, menunjukkan betapa ia benar-benar merasa dilecehkan. "SIAPA KAU HAH! BERANI-BERANINYA MENCIUMKU TANPA IZIN?!"Dylan mengusap pipinya yang kini memerah. Namun, bukannya marah, pria itu justru menatap Lumia dengan ekspresi campuran antara terkejut dan kagum. "Lumia Lorenzo" katanya pelan, nada suaranya seolah mencoba menenangkan gadis itu. "Kau benar-benar penuh kejutan.""BERHENTI BICARA OMONG KOSONG!" potong Lumia, masih mendidih dalam amarahnya. "Aku tidak peduli siapa kau, atau apa alasanmu. Kalau kau mencoba hal seperti itu lagi, aku t
Lumia merapikan semua alat belajarnya dan memasukannya ke dalam tas, sebagai siswa kelas 3, dia memang disibukkan dengan persiapan ujian akhir dan tugas-tugas tambahan.“Mia aku duluan ya” Grace, sang ketua kelas yang berteman baik dengannya melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. Lumia membalas dengan anggukan kecil dan senyuman tipis."Hati-hati di jalan, Grace" ucapnya sebelum gadis itu keluar dari kelas. Lumia merapikan sisa barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah semuanya siap, dia memasang ranselnya dan melangkah keluar dari ruang kelas yang kini mulai sepi.Koridor sekolah sudah tak seramai biasanya. Sebagian besar siswa sudah pulang, hanya tersisa beberapa yang masih sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler. Lumia berjalan menuju gerbang sekolah, menikmati angin sore yang lembut sambil memikirkan kesibukan apa yang harus dilakukannya setelah iniNamun, saat mendekati gerbang, dia mendengar gumaman dan bisik-bisi
“Kau pilih makan denganku atau...”“Atau apa?” Sela Lumia cepatSeringai lebar tercipta dibibir Dylan “Atau kau yang kumakan.”Lumia membeku, otaknya sejenak tidak bisa mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Dylan. Jantungnya berdegup kencang, namun dia berusaha untuk tetap tenang, meskipun ada gelombang panas yang mengalir di tubuhnya. "Kau... gila! Dasar pedofil tak waras" gumamnya, berusaha menahan amarah yang kembali merambat bercampur dengan rasa malu.Dylan memutar kursi mobilnya sedikit, menatap Lumia dengan tatapan tajam namun penuh ketenangan. "Aku hanya memberikan pilihan, Puppy" katanya dengan nada santai, seolah kalimat barusan bukan ancaman serius. "Sekarang, apa pilihanmu?"Lumia menatapnya dengan cemas dan marah. Dia tahu kalau Dylan tidak akan segan-segan melakukan apa saja untuk membuatnya berada dalam situasi yang tidak nyaman. "H-hanya makan sebentar, setelah itu antar aku pulang&r
Sebuah meja besar dipenuhi kertas, pensil, penggaris skala, dan buku-buku arsitektur. Akhir pekan Lumia diisi dengan pelajaran privat dari Dylan.Dua hari lalu, setelah mereka kembali dari restoran, Lumia menghabiskan 3 jam hanya untuk mencari tentang sosok Dylan diinternet dan hasil yang didapatnya.... sungguh impressive.Lumia yang selalu menganggap Dylan menyebalkan merasa terkena gangguan mental begitu melihat biografi Dylan yang ada di internet. Pria itu, yang dia sebut sebagai pedofil adalah lulusan terbaik program arsitektur dari universitas ternama di Inggris, dengan segudang penghargaan yang membuatnya menjadi salah satu arsitek muda paling berpengaruh di Asia dan Amerika.Semua itu membuat Lumia merasa kecil namun disisi lain dia bingung, apakah dia harus merasa senang atau kesal mendapat tutor yang begitu hebah sekaligus menyebalkan disaat bersamaan“Kau melamun, Puppy?” suara Dylan terdengar santai namun penuh sindiran, menyadarkan
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t