Safira memeluk erat wanita muda itu. Dia semakin tidak bisa menahan diri. Putranya dan wanita ini harus segera menikah. "Papa, besok Aster dan David harus menikah. Aku sudah tidak peduli lagi," tegas Safira begitu suami dan putranya masuk ke kamar. Aster memberontak. Dia membelalak pada calon ibu mertuanya. "Mama, tidak bisa secepat itu," lirih Aster berujar. Safira menggeleng. Dia hanya menekan kuat kedua bahu Aster. Dia menunjukkan bahwa Safira memiliki kuasa. David menyela keduanya. Aster pun menengadah ke arah David kebingungan. David mengalihkan pandang dari wanita yang dicintai. "Kita harus menemukan ayah kandung Aster terlebih dahulu, Ma," sebutnya. Perkataan David membuat Aster terperangah. Dia tidak mengerti dari maksud perkataan tersebut. Ayah kandung? Bukan kah David sudah mengenal papa Aster. Memang siapa lagi ayah Aster. "Mas, apa yang Mas katakan?" sergah Aster. Dia melepaskan diri dari Safira. Dia meraih tangan David kuat - kuat. David menurunkan tan
"Apa ini?" seru David memuncak emosinya. Dia menarik nafas dalam - dalam. Pandangannya menjadi terarah ke Aster. Ada hal yang harus dilakukan segera. "Oke, Ma. Baiklah. Sekarang kita urus Aster terlebih dahulu. Sambil menunggu pak Huda dan Panji tiba," putus David. Mereka pun memanggil dokter agar memeriksa Aster. Sekalipun sudah jelas bisa ditebak kalau Aster mengalami syok. Siapa pun akan syok mendengar kenyataan yang tak pernah terpikirkan. Sebab segalanya sudah rapi dan nyaman. Dokter datang dan memeriksa Aster. Dia memberi suntikan vitamin. Juga meminta agar Aster tidak dibuat stres. Agak beberapa lama setelah dokter pergi, Aster baru sadar. Dia menatap kosong. Wanita yang kehilangan asa. Dia bahkan tidak merespons sentuhan David. Pria itu pun hanya diam menemani kekasih hatinya. Dia meminta ayah dan ibunya menyingkir kembali. Rasanya itu juga berat bagi David. Keadaan yang terjadi. Dia mencintai Aster secara tulus. Sebab dia pun tidak tahu menahu tentang wasi
"Dia tidak berhak lagi atas Aster," desis David. Safira mengangguk. "Tapi dia masih hidup dan masih ayah kandung Aster. Sekali pun entah di mana dia berada," timpal Safira. Mata David membeliak. Rasa tak senang menyusup dalam dada. "Mama tidak mau aku menikahi Aster?" Tiba - tiba Safira menggelengkan kepala. Dia bicara lain lagi. "Bukan begitu. Tetap saja harus mendapat restu dari pria itu. Seberapa brengseknya pun," terang Safira meluruskan kata - katanya sendiri. David berkacak pinggang. Dia mendongak ke plafon. Seperti ada sesuatu di sana. "Mama yang memaksa kami harus menikah bagaimana pun caranya," tuduh David sekaligus meminta pertanggung jawaban. Safira tentu saja lebih tahu dari putranya. Bahkan tidak repot menjelaskan apa - apa lagi. Dia hanya memberikan kata ya. Siang berikutnya, David mengunjungi Aster setelah dia mengurus kembali perusahaan dibantu Jimmy. Masih dari rumah tapi dia telah membaca banyak laporan. Selain masalah perusahaan yang menumpuk, David
Setelah bujukan panjang, Aster mau diajak ke bawah. Di mana semua orang duduk berkumpul di meja makan. Pandangannya terarah pada Laura dan Panji di sebelah Huda yang bicara dengan Rendra. Dia melonjak kaget sewaktu Safira menghampiri dan mengajaknya duduk bersebelahan. Dekat Laura pula. "Aster sayang, kenapa kamu kurus begini?" isak Laura yang menyentuh lengan Aster. Aster bergeming. Dia menunduk menghindari tatapan Laura. Safira lah yang menjawab. "Dia sudah melewati masa yang berat. Sendirian. Ini sudah baik Aster masih bertahan sejauh ini." Ibu yang merawat Aster selama ini terkesiap. Ada kekecewaan juga luka tersirat di wajahnya. "Maafkan atas keputusan yang kubuat. Itu... janjiku pada Kenanga. Aku pun tak sanggup." Aster menajamkan telinga. "Kenanga?" ulang Aster lirih. "Iya, ibu kandungmu. Kenanga dan aku adalah teman semasa kuliah. Pertemuan kami, aku tidak berharap akan seperti dulu,'' ungkap Laura yang senyumnya sirna. "Apa, Ma? Janji seperti apa?" Tangan
Aster membeku dalam pelukan David. Kedua tangannya lunglai. Deru nafasnya menurun. "Apa yang kamu katakan, Mas?" bisik Aster seraya mendongak. David melepas pelukan, membuat sedikit jarak, dan menatap lekat pada Aster. "Aku pun muak dengan keadaanku. Papa dan mama tidak bertindak cepat menemukanku. Kau tahu... itu sangat mudah bagi mereka, As." Mata Aster membola. Desir dingin membelai tengkuknya. "Apa maksudmu, Mas?" "Aku takut akan membuatmu makin sakit hati, Sayang. Aku tidak bisa. Hal yang papa dan mamaku lakukan pada kita." David kembali mendekap Aster. Namun Aster mendorong dada pria tersebut. Dia mundur selangkah. Pandangan tertunduk dalam. "Kamu juga bisa saja menipuku, Mas." Cepat David mencekal tangan Aster. "Tidak. Aku tidak akan menyakitimu. Apa kamu mau pergi denganku?" Aster menyentakkan tangan. Dia mendorong David kuat - kuat. Lantas membuat jarak yang jauh. Namun dia tetap tak bisa ke mana - mana. Bahkan jendela tak ada di ruangan itu. David menatap
Tidak ada yang membuang waktu. Dua hari kemudian Rendra membawa David dan Aster ke kantor urusan agama. Pernikahan keduanya digelar ringkas. Tercatat resmi tanpa perayaan. Perjalanan pulang ke rumah David makin dekat merangkul Aster. Terlebih sejak berangkat Aster berdiam diri. Setelah sah menjadi istri hanya tersenyum sekilas untuk keperluan foto. Itu pun harus dia paksakan. Hati Aster bergejolak luar biasa. Dia sampai kesulitan mengolah emosi yang apa terlebih dahulu. David mengusap dahinya. "Kenapa, Sayang? Kamu lelah?" Pandangan Aster malah terarah ke Jimmy yang menyetir di depan. Setidaknya mereka tidak satu mobil dengan orang tua. "Aku belum ingin ke rumah, Mas. Bisa kah kita ke tempat lain? Rasanya sangat sesak." David mengiyakan. Dia memberi Jimmy sebuah alamat. Mobil pun bergerak ke jalur lain dari menuju rumah. Melaju pasti meninggalkan kota. Aster memandang bajunya ketika mereka berhenti di area parkir. Dia memakai gaun putih gading berlengan panjang. Sepa
Sudah tiga hari Aster dan David hidup bersama sebagai suami istri. Mereka tinggal damai di rumah baru. Selama itu pula Safira dan Rendra tidak mengusik keduanya. Sama sekali tidak menghubungi apa lagi mendatangi. "Menurutmu... mama dan apa akan terus mendiamkan kita?" tanya Aster seraya menaruh kopi untuk suaminya. David menerima dan berterima kasih. "Tidak. Mereka sedang menunggu kita lengah." Aster ikut duduk di sebelah David yang bekerja di ruang bawah. Meski gencatan senjata dengan orang tuanya, David masih menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya. "Oma kan masih hidup, kenapa papa dan mama sangat ingin warisan dipegang kamu semua, Mas? Pembagian warisan kan tidak seperti itu." Aster memandang kosong ke layar laptop. "Perintah oma. Dia tidak mau Brian mendapat apa pun. Bagaimana pun juga dia anak haram yang tidak pernah oma akui." David mengangkat cangkir, menghirup aroma kopinya. Perlahan menyesap cairan hangat pahit buatan istri.
"Kamu gugup?" tanya David lirih. Aster memeluk lengan David. Dia mengedikkan pundak. "Entahlah... aku tidak merasa apa - apa." David memberinya senyum menenangkan. Sedikit menunduk untuk mengecup pelipis Aster. "Rileks saja. Mereka tetap orang tua dan adikmu, Sayang." Aster menarik nafas dalam. Langkah lebih ringan menuju rumah yang sedari kecil menjadi tempatnya tumbuh. "Aster, David, kalian sudah datang," ujar Laura tergugup. Dia menarik putrinya ke ruang keluarga. "Mama ambil kan minum ya. Mau dingin apa hangat?" Mata Aster mulai berkaca - kaca. "Dingin saja, Ma. Aku ambil sendiri... boleh?" Laura terangguk cepat. "Tentu saja. Sana, ambilkan juga untuk suamimu." Aster pun melepaskan tangan dari Laura. Beranjak menuju dapur yang sudah sangat dikenal. Laura melonggokkan kepala. Dia lantas menoleh ke menantunya. "Kalian akan menginap?" "Sepertinya tidak, Ma. Tapi... saya menunggu Aster gimana. Maaf ya, Mama," jawab David. Dia belum tahu bagaimana mau Aster. Istriny
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua