Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.
Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.
Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Kuperhatikan wajahnya sembab. Di tangannya ada lembaran tisu yang sudah lecek dan basah. Aku bergidik sendiri melihat rupanya. Mungkin itu digunakan untuk menyeka antara mata atau hidung, karena kedua indra tersebut tampak merah dan berair.
"Kamu bisa tidak, ketuk pintu dulu sebelum masuk?" Setelah melihatnya sekilas, kembali fokusku ke depan cermin.
"Salah sendiri nggak pernah ngunci?" Alisku bertaut mendengar ucapannya. Selalu aku yang salah. Ia berjalan sampai depan ranjang dan duduk di atasnya.
"Kamu tidak kerja?" Aku bertanya kembali setelah dia hanya sibuk dengan tisu yang ada di tangannya.
"Izin nggak masuk." Ia menjawab sangat ketus. Aku berpaling menghadapnya.
"Ada apa?" Mungkin dengan menanyakan maksud kedatangannya, Nirmala akan segera pergi.
"Kak May yakin mau nikah sama Pak Biru?"
"Biru?" Aku membeo ucapannya.
"Pak Biru Samudra," jawabnya kesal. Kukulum senyum melihatnya merengut. Padahal sengaja bertanya seolah tidak tahu siapa itu Biru.
Nama yang unik. Biru Samudra. Nama anaknya Bulan. Penasaran siapa nama mantan istrinya yang telah tiada itu, seunik nama mereka kah? Jauh sekali bila disandingkan denganku--Maysarah.
"Kak!"
"Kak May!"
Kuhembuskan napas kasar. "Apa?" sahutku. Tadi sempat melamun memikirkan nama si Biru.
"Kakak beneran mau nikah sama Pak Biru?" Diulangnya lagi pertanyaan tadi.
"Memang kenapa?" Kucoba tidak menatapnya dan berpura sibuk.
"Batalkan saja Kak, Pak Biru itu nggak pantas buat Kakak."
"Oh ya? Terus yang pantas siapa, Kamu?" Satu alisku terangkat.
"Eh, nggak Kak. Maksud Mala, Pak Biru itu kan duda, punya anak satu lagi. Masa Kakak mau nikah sama lelaki seperti itu. Kakak kan gadis, masa' dapat duda?"
Aku tersenyum getir mendengarnya. Memangnya ia kira aku bodoh, sampai tidak tahu kalau ia sangat menginginkan Samudra. Pembicaraannya dengan ibunya kemarin malam kudengar jelas. Mata bengkak itu menjadi bukti nyatanya.
***
"Ayolah Bu, bujuk Ayah biar batalkan rencana pernikahan Kak May dengan Pak Biru." Entah ini keberuntungan atau memang jalan Tuhan, aku selalu mendengar hal tidak terduga seperti ini. Saat ingin pergi ke arah dapur, tidak sengaja mendengar pembicaraan Nirmala dengan ibunya. Kumundurkan dua langkah ke belakang, dan mendekatkan Indra pendengaran sampai menyentuh daun pintu kamar Nirmala.
"Pak Biru? Siapa?"
"Aduh Ibu, itu Pak Samudra. Di kantor ia dipanggil Pak Biru." Nirmala mencoba menjelaskan siapa Pak Biru yang dimaksud.
"Oh, memang kenapa?"
"Ibu pake nanya lagi. Coba Ibu bandingkan Kak May dengan Pak Biru, mereka itu beda jauh. Cocoknya kan sama Mala, Bu." Kugelengkan kepala saat mendengar kalimat ini.
"Sudahlah, mau gimana lagi. Ayahmu yang punya kuasa. Lagipula dia itu duda, Mala. Memang kamu mau sama dia. Udah gitu, ada anak satu. Umurmu masih muda. Pantasnya cari yang masih single, dan belum nikah."
"Nggak mau. Pokoknya Mala pengennya Pak Biru yang jadi suami Mala. Ibu juga kemarin kenapa nggak cerita jelas siapa calon Kak May. Cuma nyebut namanya doang, Samudra."
"Lah, memang ibunya bilang namanya cuma Samudra, nggak nyebut lengkap. Mana Ibu tahu." Terdengar Ibu mengelak tidak mau disalahkan Nirmala. Dasar anak keras kepala, ingin maunya sendiri.
"Kenapa nggak dikorek lebih dalam siapa Samudera itu. Terus, Ibu juga cuma bilang orangnya biasa aja."
"Hussstttt! Kecilkan suaramu. Nanti ada yang dengar."
"Habisnya Ibu ngasih info nggak lengkap, cuma setengah, itu pun nggak nyampe. Apalagi soal foto itu."
"Astaga, Mala. Namanya juga lihat dari foto, bisa saja kan dia pake apa itu namanya, filter itu ya. Biar wajah kelihatan cakep, putih, mulus. Makanya Ibu bilang biasa aja." Aku sampai menutup mulut dengan tangan, buat meredam bunyi ketawaku mendengar penjelasan Ibu. Lucu juga kalau dua beranak ini berdebat. Yang menang tentu saja si anak karena dia selalu diutamakan. Anak kesayangan. Terkadang melihat keakraban mereka membuatku merindukan almarhumah Bunda.
"Sudahlah, kamu cari yang lain aja. Masih banyak kok cowok ganteng yang lebih dari Samudera ini. Yang penting bukan duda."
"Ih, nggak mau. Ibu tahu tidak. Pak Biru itu incaran banyak wanita di kantor Mala. Dari yang kelas teri sampai kelas kakap. Kalau Mala bisa mendapatkan Pak Biru, maka bakal naik derajat Mala."
"Hah? Teri? Kakap? Itu kantor apa pasar ikan?" Kocak, aku sampai menahan napas biar nggak ketawa. Ibu benar, aku malah meragukan Nirmala kerja dimana? Beneran kantoran apa pasar?
"Ibu …! Mala serius. Maksudnya dari tingkat bawah kayak Mala, sampai tingkat eksekutif. Malahan saingan terberat Mala itu Bu Hanin."
Bu Hanin? Siapa? Aku ikut bertanya walau dalam hati.
"Segitunya ya Samudra itu? Iya emang ganteng sih. Sayang duda."
"Astaga …! Ibu buka mata selebar-lebarnya. Jangan lihat dudanya, tapi lihat sosok Pak Biru baik-baik. Sudah ganteng, kaya, eksekutif muda, dan CEO lagi. Terus Ibu lihat lebih dekat, asal Ibu tahu, Pak Biru itu kalau lewat di divisi Mala, semua cewek meleleh. Gayanya memang cool, justru itu yang bikin kami kesemsem."
Oh, gitu. Baru tahu pesona Samudra segitunya. Hm … artinya aku beruntung bisa menikah dengan lelaki seperti yang disebutkan Nirmala. Cool? Dingin? Iya sih, sikapnya memang dingin, datar atau kaku. Tidak ada senyum sedikitpun. Apa ke semua cewek juga begitu?
Astaga! Hampir saja. Untung vas bunga yang terletak di antara kamarku dengan kamar Nirmala tidak terjatuh akibat kesenggol pinggulku. Aku terkaget saat mendengar rengekan diikuti suara tangisannya. Begitulah Nirmala, dia mulai menunjukkan kekuatannya dengan cara menangis. Merengek paksa biar keinginannya tercapai.
Sudahlah. Cukup mendengarkan pembicaraan yang berujung tangisan Nirmala. Lebih baik aku fokus ke diriku sendiri. Siapkah aku menjadi nyonya Biru Samudera?
***
"Kak, Kak May!"
"Apalagi?" Aku sudah bersiap dengan tas tersampir di bahu.
"Tolong bilangin Ayah buat batalin rencana pernikahan Kak May dengan Pak Biru."
"Oh, itu. Minta sendiri sama Ayah. Kan kamu yang mau," jawabku sekenanya.
"Nggak mungkin Kak. Kan keputusan di tangan Kak May. Kalau Kak May menolak, maka Ayah pasti akan membatalkan perjodohan kalian." Nirmala masih ngotot memintaku membatalkan perjodohan dengan Samudera.
"Sudahlah Nir, aku mau berangkat ngajar dulu. Cus, pergi!"Kukibaskan tangan ke arahnya. Nirmala mencebik kesal. Ia melangkah keluar kamar dengan menghentakkan kaki.
Ckckckkk! Merajuk.
Maaf, Nir. Kali ini aku tidak mau menuruti kemauanmu. Tidak akan. Kecuali … Samuderanya sendiri yang menginginkannya.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t
Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah."Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show."Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya."Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer."Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan
Plak!Aku sampai terdorong saat Ibu memberikan sebuah tamparan di pipi. Kaget, baru saja tiba di rumah dan masuk ke dalam ruang tamu, tiba-tiba Ibu datang dan langsung menamparku begitu saja.Sakit. Perih dan panas masih terasa bekasnya menjalar di pipi ini. Ada apa dengannya? Kenapa bisa Semarah itu padaku?"Gimana? Sakit kan? Seperti itulah rasa sakit yang dirasakan oleh Mala, May." Masih dengan wajah merah padam dan napas memburu, Ibu mengatakan semua itu padaku. Jujur, aku tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya."Apa maksud Ibu?" tanyaku masih dengan mengusap bekas tamparan kerasnya. Aku terduduk di kursi tamu. Menatap dengan tajam ke arah Nirmala yang tersenyum samar di hadapanku."Pake nanya lagi! Ngapain kamu ajak adikmu ke butik dengan alasan minta temenin? Hah! Kalau ujung-u
"Tinggal menghitung hari. Ayah sudah menyebar undangan untuk keluarga terdekat, jauh hari sebelumnya. Ayah sangat bersemangat. Nggak sabar menunggu hari H-nya." Ayah tampak antusias saat berkata. Senyum semringah selalu menghiasi bibir tebalnya."Nah, sisanya tinggal tetangga dekat dan lingkaran pertemanan kita. Terutama kamu May. Kartu undangan bisa kamu bagikan buat teman-teman di sekolahmu. Apa kamu sudah cerita?""Belum Yah. Mungkin hari ini," jawabku penuh kebimbangan takut pernikahan ini batal lagi."Bismillah, May. Kalau memang Samudra jodohmu, insyaAllah bakal dilancarkan Allah, jalan kalian. Percayalah. Jangan lupa berdoa." Ternyata Ayah memperhatikan raut wajahku. Ia mencoba menenangkanku"Iya, Yah. InsyaAllah." ucapku disertai anggukkan kepala.***&nb
Aku ingin berlari mengejar langkah Ken, tapi tidak jadi karena ada security yang memandangku sedari tadi. Di seberangku berdiri juga ada segerombolan anak yang masih berada di halaman sekolah, entah apa yang mereka tunggu hanya ngobrol saja tampaknya. Saat memanggil Ken, mereka ikut menatap ke arahku, karena tidak ingin membuat mereka berpikir yang tidak-tidak, maka kuputuskan kembali ke parkiran. Setelah mengambil motor, segera kulajukan kendaraan beroda dua tersebut meninggalkan halaman sekolah.Aku tidak langsung pulang, tapi mampir sebentar ke sebuah kedai bakso yang tidak jauh dari sekolah. Lapar, aku belum makan siang. Sekalian ada yang ingin kupastikan terlebih dulu daripada menduga-duga dan tidak tenang di jalan.Kado dari Ken. Aku kepikiran dengan kado yang sering kudapatkan di kolong laci meja guru. Kenapa sama persis modelnya seperti yang diberikan Ken. Apa jangan-jangan &helli
Kuhapus cepat air mata yang membasahi pipi. Penglihatanku mengabur akibat menangisi peristiwa lampau. Kupelankan laju kendaraan takut kenapa-napa di jalan. Kembalinya Bara malah membuka kenangan buruk waktu itu. Potongan pembicaraan terakhir kami terlintas kembali di benakku. Rasa sakit itu muncul lagi. Luka yang ia torehkan masih terasa sampai hari ini. Lalu dengan mudahnya dia bilang tadi minta maaf, menyesal, telat Bar. Luka itu masih menganga dan belum sembuh. Jadi jangan harap hatiku terbuka untuk memberikan kata maaf itu padamu."May, kemari! Ayah ingin bicara." Aku yang baru sampai rumah dikejutkan oleh suara Ayah yang duduk di ruang tamu. Entah kenapa, dari nada bicaranya terdengar marah."Duduk!" titahnya lagi. Kuperhatikan rumah ini terlihat sepi. Kemana dua pasangan kompak itu berada? Ibu dan Nirmala."Ini apa!" Ayah menunjukkan sebuah gambar di ponse
POV AuthorTernyata belum siap aku,Kehilangan dirimu.Belum sanggup untuk jauh darimu.Yang masih s'lalu ada dalam hatiku.Tuhan, tolong mampukan aku.'Tuk lupakan dirinya.Semua cerita tentangnya. yang membuatku s'lalu teringat akan cinta yang dulu, hidupkanku.Ken menghela napas panjang, lalu menghembuskannya. Lagu yang sedang diputar di cafe shopnya, membuat dadanya terasa sesak karena terkenang seseorang. Padahal lagu dari Stevan Pasaribu tersebut sedang hits dan sering diputar di media elektronik."Gas, matikan lagu itu. Putar yang lain saja," titahnya pada pegawainya bernama Bagas, yang kebetulan lewat di hadapannya."Siap Bro!" Ken hanya mengerjap. Ia kembali duduk di pojok kursi sambil mengamati ruangan cafe yang mulai terisi oleh para pengunjung. Cafenya mulai menamp
Semalaman mengurung diri di kamar. Mata sembab dan bengkak. Penampilanku kacau. Ibu ternyata memanggil Kak May. Sebenarnya aku malu, tapi mungkin ada baiknya meminta maaf padanya, siapa tahu rasa sakit ini berkurang. Kami akhirnya bicara dari hati ke hati. Kuceritakan bagaimana Raihan memutuskanku. Kak May bilang dia tidak pernah mendoakan yang buruk untukku. Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padanya? Kak May benar, inii hanya teguran dari Allah karena perbuatan jahatku. Aku kembali menuturkan kata maaf padanya. Sekarang aku sadar kalau perbuatan kita, entah baik atau buruk pasti akan berbalik ke arah kita kembali. Aku berjanji akan menjadi pribadi yang baru dan tidak akan menyakiti orang lain.***Di kantor, aku bersikap biasa saja. Aku dan Raihan seolah tidak saling kenal. Kami bagaikan orang asing kembali. Kulihat ia malah menjalin hubungan dengan wanita lain, teman satu kantor lainnya, padahal baru bebera
Aku tidak ingin dipenjara. Kenapa perhiasan itu bisa berada di kosanku? Siapa yang sengaja meletakkannya di sana? Pasti Hanin. Bukankah dia yang melaporkanku atas kasus ini?Kak May. Hanya dia yang bisa membantu. Dengan bersuamikan Pak Biru, masalahku pasti teratasi. Kak May tidak mungkin abai.Aku meminta Ibu membujuk Kak May agar mau membantuku. Pasti Kak May tidak akan menolak. Kenapa sulit sekali menjadi orang baik. Baru saja memulai hubungan baik dengan Kak May, sudah ditimpa musibah seberat ini.Beberapa kali melihat ke arah arloji. Tidak terasa sudah dua jam berada di sini. Lelah. Entah sudah berapa pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hingga tiba-tiba salah satu petugas bilang aku bisa pulang.Aku tercengang. Katanya aku bebas. Laporan untukku sudah dicabut, dan aku boleh pulang. Secepat ini
"Bodoh! Bodohnya aku! Seharusnya kujauhi wanita licik sepertimu. Mana ada wanita baik yang merebut kekasih hati kakaknya. Kenapa aku baru sadar sekarang?""Aku yakin kamu cuma mempermainkanku. Sedari awal kamu yang mendekati, merayuku hingga rela meninggalkan Maysarah dan menyakiti hatinya. Benar kan? Kenapa La? Kenapa tega melakukan semua ini padaku?" tambahnya lagi. Tidak ada tatapan cinta yang kutangkap dari kedua matanya.Akhirnya lelaki di depanku ini sadar juga. Sayang sudah terlambat.'Ayo Mala, bersandiwara lah dulu. Yakinkan Ibram jangan sampai lelaki ini bertindak diluar kuasamu.'"Kamu berkata apa? Jangan berspekulasi yang tidak-tidak tentangku. Kamu salah paham, Mas." Aku mencoba bertahan dengan kepura-puraan ini, meyakinkannya kembali."Aku tidak bisa dibohongi lag
POV NirmalaAku menatap seseorang dari atas ke bawah. Kupindai penampilannya. Masih cantikkan aku. Masih tinggian aku, dan masih lebih aku kemana-mana.Kulihat ia mendekap erat boneka bear kecil yang sudah berwarna kusam. Pasti itu benda kesayangannya.Muncul sebuah ide di kepalaku. "Bu, Mala mau itu," tunjukku pada boneka tersebut. Ibu memandang heran ke arah sosok anak kecil yang berada di hadapanku."Jangan, itu kotor. Mending kita beli yang baru yang lebih besar," bujuk Ibu berbisik di telingaku. Namun aku bersikeras menginginkan boneka yang berada di tangan anak tersebut. Dengan rengekan dan tangisan kerasku, Ibu dan laki-laki dewasa yang sekarang harus kupanggil ayah, akhirnya luluh dan memaksa anak itu memberikannya padaku.***
"Karma apaan? Kamu memangnya dapat karma apa?" tanyaku sedikit kesal setelah ditudingnya begitu."Karma sama kayak Kak May. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya." Nirmala menarik tisu dan menyapu air matanya yang kembali menitik. Wajah sembabnya menandakan ia menangis sudah terlalu lama."Jangan muter-muter jelasinnya. Aku ada kelas hari ini. Dari tadi kamu bilang karma dan karma. Ingat Nir, di dunia ini tidak ada yang namanya karma. Yang ada tabur, tuai. Siapa yang menabur, dia pula yang kelak menuai. Jadi apa yang terjadi denganmu bisa saja akibat perbuatanmu sendiri." Mendengar penjelasanku, Isak tangisnya semakin keras."Kak May benar. Ini semua pasti azab dari Tuhan karena dulu menyakiti Kak May. Raihan meninggalkanku dengan alasan yang sama seperti laki-laki brengsek itu katakan pada Kak May." Ia mengelap air mata yang membasah
Ibu seperti terkejut saat melihatku datang bersama Mas Sam dan ibu mertua. Namun dia tetap mempersilakan kami masuk."May, kok kamu bawa ibu mertua sama suamimu kemari," bisik Ibu saat aku berdiri di sampingnya."Oh, itu kan May bilang mau ke sekolah pas di telepon tadi, dan waktu itu bareng mereka, Bu," bisikku pula. Sepertinya Ibu tidak suka aku datang bersama Mas Sam dan ibu mertua. Nampak sekali dari raut wajahnya."Silakan duduk besan, izin sebentar mau membuat minuman," ucap Ibu ramah mempersilakan Mas Sam dan ibu mertua duduk."Nggak perlu repot Bu, kita cuma mengantarkan May ke sini. May, Ibu sama Sam pergi dulu, nanti biar Mang Diman yang kemari buat antar kamu ke sekolah. Ibu lupa ternyata ada janji sama klien sekarang ini," ujar Ibu sembari menengok jam di pergelangan tangannya dan beralih
"Bu Asri masih menghubungi Ibu. Dia terus mengabarkan keadaan Hanin. Ibu belum membalas apapun pesan darinya. Jadi, menurut kalian, Ibu harus gimana?" Tampak gurat kebingungan menghiasi wajah Ibu.Hubunganku dengan Ibu sudah membaik. Semalam kami bicara dari hati ke hati.Aku dan Mas Sam saling lirik di meja makan mendapati pertanyaan Ibu."Gimana May?" Mas Sam ikutan bertanya."Kok May yang harus jawab. Bu, hubungan Ibu sama Ibu Asri itu urusan Ibu. Kalau beliau meminta dijenguk atau meminta support ya silakan saja Bu. May tidak keberatan. Kecuali Ibu ikut mendukung menikahkan Mas Sam sama Hanin, baru May protes dan tidak setuju," ujarku menjawab kerisauan beliau dengan mendelik tajam ke arah Mas Sam.Mas Sam mengerutkan keningnya kutatap seperti itu.
Sejak naik ke lantai atas, aku tidak turun lagi ke bawah. Mengurung diri di kamar hanya dengan rebahan di atas kasur. Rasa kesal masih menghinggapi relung hati. Aku terus berpikir tentang permintaan gila ibunya Hanin. Seharusnya ibunya berpikir bagaimana cara menyembuhkan sakit jiwanya anaknya, bukan malah menjerumuskan lebih dalam, dengan menuruti semua keinginannya.Suara pintu dibuka, memaksaku menoleh ke arah sana. Mas Sam, ia baru pulang kerja. Aku hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke layar ponsel berpura sibuk mengamati isi dalamnya.Saat kami bertaut pandang, tatapan Mas Sam menyiratkan sesuatu. Dia pasti sudah tahu kejadian di ruang tengah dari ibunya. Mungkin juga Ibu cerita tentang aku yang mengabaikannya dengan tidak mau membuka pintu kamar ini saat diketuk. Bukannya tidak sopan, hanya saja aku perlu waktu untuk menenangkan hati yang sempat panas akibat mendengar sebuah per