"Wow, Bro, pelayan murahan itu bisa berjalan setelah tidur denganmu? Sulit dipercaya." Aku sungguh kehilangan kata-kataku pada lelaki sarkas yang narsis apalagi saat sadar Ken ada di belakang Banyu dengan membawa diapers."Apa semalam kau tak bermain kasar dengannya, Bro?""Shut up!" Lelaki kurang ajar itu menatap Banyu yang masih memeluk kakiku erat.Pandangan mengintimidasinya tak berubah sama sekali saat melihat bocah berpipi gembil di sisiku, ia berjalan setelah menatapku yang sama sekali tak membela diri ataupun membalas ucapan lelaki sarkas yang menyusulnya lalu masuk ke dalam lift."Did she teste good, Bro?""Can you shut your mouth, atau aku yang akan melakukan itu?""Oh, come on. Aku hanya penasaran. Fine!"Meski tak ingin, kepalaku menoleh dan bertemu pandang dengan lelaki yang membuat rambut halusku berdiri hanya karena ia menatapku.Sampai Banyu bersin, membuatku sadar ia belum memakai celana lalu menatap diapers yang Ken pegang. Hacih! Ken yang memegang diapers hanya d
"Ken, apa ucapanku kemarin begitu tak berarti untukmu?" "Aku dengar, Ri, karena itu aku ingin memulai semuanya dari awal lagi."Memulai semua dari awal? bisakah kami--tidak!-- bukan kami tapi aku, diriku, juga Ken dan dirinya. Kami kembali menjadi masing-masing diri, mengaburkan ikatan apapun yang sudah ada di antara kami.Pernikahan kami yang untuk Ken hanya terjadi karena Anggita belum siap.Sedangkan bagiku yang berpikir pernikahan kami bahagia, nyatanya hanya sebuah ilusi.'Tapi, memulai semuanya dari awal?'Apa hal itu bisa kami lakukan, saat di hotel yang tegak berdiri di belakang kami ada anak kecil berusia dua tahun, yang membuatku menanyakan moralku sendiri setelah membiarkan diriku bersentuhan kembali dengan Ken, suami yang ku tinggalkan 5 tahun lalu?"Ri, tak bisakah kita mulai semuanya dari awal lagi?" Aku hanya diam. Menutup mulutku rapat-rapat bahkan saat Ken yang berdiri di depanku menjulurkan tangannya, menyentuh pipiku. "Ayo, kita mulai semuanya dari awal. Kamu su
"Apa Anggita tahu kamu menemuiku dengan membawa Banyu, Ken?" Ken yang tangannya masih menyentuh kepalaku tetap diam, "atau kamu datang tanpa memberitahu siapapun termasuk ibu?" Saat mata kami bertemu, aku tahu tak ada yang tahu Ken datang menemuiku. "Itu tidak penting, Ri." Aku yang menatap Ken, tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat mendengar jawabannya. Bahkan, suara Ken berubah dingin, "mereka tahu ataupun tidak, itu tidak penting."Aku menggigit bibir bagian dalamku saat melihat Ken sungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan. Mulutku yang ingin berkata bagaimana hal itu bisa jadi tak penting, memilih bisu.Bukan karena aku tak memikirkan apapun. Tapi, karena seluruh diri Ken memancarkan sesuatu yang membuatku meremas tanganku sendiri.Aku yang sudah terbiasa tak ingin mencampuri urusan orang lain, hanya bisa diam rapat mengatupkan mulutku. Lima tahun tinggal di kota asing yang dingin ini, membuatku terbiasa mengacuhkan banyak hal yang terjadi di sekitarku. Pengalaman m
Amarah yang timbul kerena kelakuan Ken, menguap tanpa sisa. Seluruh diriku memperhatikan butiran pil yang masih utuh di antara muntahanku sendiri.Seluruh tubuhku membisu sementara keberadaan Ken jadi tak terasa, meski tangannya mengusapi punggungku.Rasanya ... aku bahkan tak mampu mengatakan apa yang sedang ku rasakan sekarang, kecuali bisa setaksadar apa diriku dengan apa yang kulakukan.'Sungguh, apa yang sudah kulakukan? apa yang terjadi padaku?'Aku bahkan tak ingat sudah menelan pil-pil tidur yang setiap hari kutelan agar bisa melupakan segalanya, lalu bangun dan melakukan apa yang harus kulakukan. "Yang--"Ken berucap tapi telingaku tak mendengar ucapannya sama sekali. Mataku hanya menatap bibirnya bergerak.Rasanya, meski Ken ada di sampingku, sekarang aku tak merasakan kehadiran ataupun kehangatannya sama sekali. ----------------------Zrass....!Suara shower yang mengalir dari kamar mandi dengan pintu terbuka lebar, sama sekali tak menarik perhatian ku.Aku hanya duduk
*********************"Apa yang sudah kulakukan padamu, Yang?" Suara penuh penyesalan itu terdengar memenuhi ruangan dingin dan sepi.Ruangan yang hanya berisi ranjang dan lemari.Tidak ada hal lain yang bisa ia lihat dalam kamar yang tersambung langsung dengan kamar mandi ini.Tidak ada foto untuk pengingat hari yang sudah lalu.Tidak ada meja berisi penuh makeup bahkan ia tak melihat satupun.Tidak ada kaca tempat wanita biasanya bergaya memperhatikan diri sebelum keluarTidak ada rak berisi sepatu maupun heel bermacam model dan fungsi. Terlalu banyak kalimat 'tidak ada' yang muncul dalam benak pria yang duduk di tepi ranjang setelah ia meletakan tubuh mungil yang jadi begitu ringan. Sangat ringan. Mata bermanik hitam itu makin menggelap pada tiap sudut ruangan sunyi yang membuat tangannya meremas badcover warna putih yang lembut.Kamar yang tidak bisa di sebut luas ini seolah mencerminkan siapa pemiliknya. Wanita bertubuh mungil yang tampaknya tida sadar jika
"Kecuali kamu sudah makan dengan lelaki yang keluar dari kamarmu."Aku menggigit bibir bawahku, hal yang terlalu sering kulakukan saat rasaku tidak tenang. "Cart-" Aku mengatupkan kembali bibirku karena tak yakin dengan apa yang ingin kukatakan pada pria asing yang masih berdiri di depan pintu kamarku ini.Sejauh aku mengenalnya, Carter selalu bersikap baik, bahkan tidak mempermasalahkan kehadiranku saat Sidney mengajakku pergi bertiga dengannya. Ia juga tak mempermasalahkan sikapku yang lebih memilih diam atau hanya tersenyum tipis saat menanggapi obrolannya dengan Sidney. "Apa aku melihat hal yang seharusnya tak kulihat, Mira?"Melihat wajah penuh senyum Carter berubah saat mataku berani menatapnya. Kurasa ia tahu aku jadi tidak tenang, "Hei, girl, it's ok to have a relationship with a man sometimes. Meski aku harus mengatakan pada temanku agar ia harus mundur," ucap Carter dengan senyum yang biasa.Nada suaranya pun, tak berubah, "so, apa kamu mau ambil makan siang-mu atau tid
"Tch! what a little whore."Aku hanya diam tak membalas apapun ucapan wanita tua yang benar-benar menilaiku. Meskipun tanganku bergerak gelisah, suaraku tak keluar sekedar bertanya apa yang membuatnya berpikir seperti itu tentang diriku.Bibirku tertutup rapat, lalu menoleh pada suara langkah kaki yang membuatku menunjukan senyum karena melihat selebar apa senyum Muray yang datang membawa handuk bersih meski itu bukan pekerjaanya."Apa yang kau lakukan datang sesore ini, Mira?" Aku menatap Liyde yang melirikku dengan pandangan tak suka. Kurasa aku bahkan bisa melihat ada sedikit jijik dari sorot wanita tua yang kemarin mengatakan pada sahabatnya tak apa jika menggoda suami orang, asal istri lelaki itu memiliki sikap buruk. "Apalagi kecuali mencari pelanggan," pelan suara Liyde terdengar.Tapi, mataku tahu telinga tajam Muray mendengar kalimat sindiran yang membuat dahinya berkerut. "Pelanggan? untuk apa Mira mencari pelanggan saat pekerjaanya menumpuk."Liyde melirikku tajam meski
Lelaki tua yang akhirnya bangkit dari kursi setelah menyelesaikan makan malamnya itu menatap Ken tanpa kata.Sementara istrinya mendorong stroller dengan bocah mungil yang tangannya menggapai-gapai udara dengan semangat, meski sudah jam sembilan lewat. "Darling?" panggil wanita bertubuh tambun itu pada sang suami yang masih bertukar tatapan dengan Ken, "what you doing?"Lelaki tua itu menarik nafasnya dalam dengan wajah berkabut lalu pergi setelah melepas topinya dan mengangguk pamit padaku yang masih diam. "Nothing, let's go home."Senyum lelaki tua itu menambah keriput di wajahnya yang terlihat sendu. Tangannya merangkul wanita ramah yang melambai padaku yang menundukkan kepala. Sementara Banyu melambai masih dalam pangkuan Ken.Setelah mereka tak lagi terlihat, meja makan jadi sepi. Bahkan, bocah berusia dua tahun yang kecupannya masih bisa kurasakan di pipi, bisa mengerti. "Pa-," Banyu menatapku dan Ken bergantian, mata bulatnya terlihat bingung sampai kudengar gemuruh perut ya
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.