"Maafkan- maafkan keegoisanku, Ken, tidak seharusnya aku pergi begitu saja tanpa menyelesaikan pernikahan kita."Mata Ken membulat sebulat-bulatnya seolah tak menyangka bibirku akan mengeluarkan kalimat itu."Seandainya aku tidak pergi begitu saja, kamu pasti bisa menyelesaikan pernikahan kita lalu-""Lalu apa? lalu apa, Yang?" Ken menjauhkan diri dariku, menatapiku yang menyalahkan diri, sementara perhatianku tidak bisa lepas dari Banyu. "Kenapa ... kenapa kamu terus berpikir aku akan menceraikanmu?"Tidak hanya pandangan matanya saja, suara Ken bahkan begitu terdengar frustasi."Apa aku pernah berucap ingin menceraikanmu? Apa pernah sekalipun aku berkata aku akan menceraikanmu?"Ken memegang bahuku, kurasa ia bahkan tak menyadari sekuat apa genggaman tangannya. Seluruh dirinya seolah bertanya bagaimana aku bisa berpikir seperti itu?"Memang apa yang bisa ku pikirkan kecuali hal itu, Ken? Kamu hanya menikahiku karena Anggita belum siap menikah. Setelah ia siap, kamu dan Anggita menja
Pintu yang diketuk dan dibuka tanpa permisi itu membuatku yang sedang dipeluk Ken menoleh dengan panik."Mira, apa kau sudah makan sandwich yang Arga bawa-"BRAKK! Tanganku refleks menutup pintu setelah menarik Ken yang memelukku, masuk ke dalam kamar mandi. Aku tahu Ken kaget. Tapi, wajah kelabunya hanya menatapku yang memandangi keluar seolah bisa melihat Sidney yang pasti terkejut jika ia menyadari tubuh yang lelap di atas kasur itu bukan diriku, tapi bocah kecil yang ia kenali."Mira, where are you?" Suara Sidney membuat seluruh diriku waspada. "Apa ia di kamar mandi? but, why didn't she answer? Mira?"Langkah sepatu Sidney makin jelas setelah pintu kamarku ia tutup. Aku bisa merasakan jantungku berdetak keras sampai kurasakan tangan Ken menyentuh jemariku yang ternyata mengepal.Ken menunjukan senyum kekanakan yang kukenali, "keluarlah, aku akan tetap di sini. Rasanya pemilik rumah ini tidak mengatakan keberadaanku dan Banyu pada temanmu."Aku menatap Ken lekat, apalagi saat i
"Ken- engh...."Baru kali ini Ken menyentuhku dengan sangat kasar. Tidak perduli pada Saliva kami yang menyatu lalu meleleh keluar sampai mataku memejam kuat merasakan rasa geli teramat sangat. Bahkan, tanganku yang awalnya mendorong Ken untuk menjauh, jadi meremas kuat bahunya karena sensasi yang kurasakan tak hanya sakit ataupun terkejut. Aku yang benar-benar sudah kehabisan nafas juga cara menjauhkan diriku memilih satu-satunya hal yang terlintas dalam benak. Tidak perduli lagi apa yang akan dirasakan Ken setelah kulakukan apa yang aku pikirkan. 'Mati karena kehabisan nafas berkat ciuman?'Akan sekonyol apa itu terdengar karena Ken seolah tenggelam dalam apapun yang menguasai dirinya, ia bahkan tak perduli padaku yang benar-benar membutuhkan udara baru dan terus mencium diriku yang tak lagi bisa melawan meski ingin.Tanpa suara, wajah Ken mengernyit seketika saat aku menggigit lidahnya yang begitu sopan menyusuri tiap jengkal mulutku tanpa permisi. Ia benar-benar mengabsen tiap in
Aku yang ingat sesuatu, turun dan meminjam telepon pada Rose yang lega aku sudah tak demam.Wanita tua yang merajut di depan perapian hangat itu, memperhatikanku sesekali. Hal yang wajar ia lakukan, mengingat aku tidak pernah membawa siapapun ke rumahnya ini kecuali Muray, orang yang mengenalkan diriku pada Rose.Tut... Tut... cklek."Yes, Rose?" Suara Muray langsung terdengar di dering kedua."It's me," jawabku."Mira!?" Muray terdengar kaget, seolah tak percaya mendengar suaraku, bukannya suara wanita tua yang rajutannya terlihat hampir jadi. "Are you ok? bagaimana dengan demammu? kamu sudah makan? mau kupesankan makanan?"Mendengar pertanyaan beruntun dari Muray, aku mengeratkan peganganku pada gagang telepon, 'apa Ken yang mengatakan aku demam?'Memikirkan hal itu saja rasaku sudah tidak tenang. Muray tidak tahu hubunganku dengan Ken, entah apa yang akan ia pikirkan. Tapi, mendengarnya tak bertanya hal lain lagi apalagi menyangkut GM baru kami ..., "Muray?""Yes, Mira, kau ingin
Mulutku bersenandung pelan mengusapi punggung Banyu yang ku pangku, matanya yang basah sesekali menatapku yang memberinya senyum.Bocah yang matanya sembab ini kembali merebahkan kepalanya pada dadaku, sampai kurasakan tangan kecil yang memegangi bajuku makin melemah lalu terlepas saat mata Banyu menutup rapat. "Sleep already?" ucap Rose mengusap kepala Banyu lembut. Tangannya tampak sekali tidak tahan, untuk tidak menyentuh pipi yang rasanya memang minta dicubit milik Banyu, "adorable," ucap Rose yang hatinya pasti sudah diambil bocah kecil yang terlelap di pangkuanku ini."Ban-, what?" tanya Rose setelah aku menjawab nama Banyu yang ia tanyakan, "oh, what a strange name, let me call him Ben."Aku tersenyum melihat sejujur apa ucapan Rose yang sekali lagi menowel pipi Banyu. "Kembalilah ke kamarmu, bocah gembil ini pasti berat meski lucu."Aku menatap Rose, tidak ada lagi tatapan penasaran di mata tuanya yang masih jernih itu. Kurasa melihat Banyu membuatnya melupakan apapun yang
Buag!Mataku membesar melihat Arga terseungkur. Dari tempatku berdiri, aku bahkan bisa melihat cairan merah yang keluar dari sudut bibir sebelah kanannya."It's happening already.""Wow, is that blood?""Ayo taruhan, aku pilih yang berdiri.""Aku juga.""Me to!"Aku yang terkejut, jadi kaget mendengar sorakan ramai yang memberi dukungan dan meminta lebih. Bahkan beberapa sudah ada yang memihak salah satu di antara dua lelaki dewasa yang membuatku berlari."KEN!" Seruku berdiri di hadapan Arga yang pasti tak siap dengan pukulan Ken sampai ia terjatuh.Aku tidak pernah melihat Ken marah sampai memukul orang sebelumnya. Kurasa ia kaget melihatku. Begitupun, lelaki yang masih duduk di atas salju. Ken mengatupkan rahangnya rapat, urat tangannya yang sudah siap melayangkan tinju kedua pun, menonjol. Tapi, saat menatapku ia menelan amarahnya yang entah karena apa. "Minggir, Yang.""Tidak," jawabku."Aku bilang minggir, Yang."Aku tetap bergeming, sampai tangan Arga menyentuh lenganku, "tid
Aku yang berjalan di belakang Arga menutup pintu ruang tamu nyonya Li, sesaat kupandangi Ken yang masih tak mau melihatku ataupun Arga.Melihatnya yang seperti itu. Meski tak ingin mengakui, aku tahu Ken tak senang dengan apa yang sudah kulakukan untuk Arga, 'apa egonya terluka?'Klek!Pintu ruang tamu nyonya Li yang kuncinya masih menempel, kututup. Sambil menuruni anak-anak tangga, aku terus menatap punggung lebar lelaki yang membuatku bertanya, 'sungguhkah aku tak mengenalnya?'"Tuan," panggilku pada Arga yang sudah berdiri di tengah-tengah anak tangga.Ia memperhatikan diriku yang ragu, tanganku bahkan mengepal begitu saja. "Tolong, maafkan suami saya."Begitu pelan aku berucap, begitu takut rasanya jika suaraku yang ragu lolos ini, terdengar telinga manusia kecuali lelaki yang wajahnya berubah, tidak menyisakan senyum sama sekali. Aku terkejut saat tangan Arga yang diam, menjulur. Meraih tanganku yang kuat terkepal sampai rasanya kulitku robek karena kuku jariku menancap tajam.
"Nyonya, anda baik-baik saja?"Aku menatapi pemilik wajah dengan barisan gigi begitu rapi yang menyentuh lenganku. Wajahnya tidak ada dalam memoriku, tawanya tidak ada dalam ingatanku, tapi kenapa aku tak bisa mengenyahkan rasa jika aku mengenal Arga?Aku tahu wajah-wajah tawa dan tangis sodar-sodaraku. Aku tidak akan pernah melupakan mereka satupun.Meski kami dipisahkan setelah apa yang terjadi di rumah pertama kami, lalu memilih jalan masing-masing setelah dewasa, aku tidak mungkin melupakan wajah mereka.Sampai detik ini, aku bahkan masih mengingat jelas wajah orang yang mendatangi kami, anak-anak buangan yang tak diinginkan keluarganya sendiri.Wanita itu, hanya mengatakan empat kalimat yang membuatku diam membisu, airmataku bahkan menetes tanpa Isak. ("Sodara kalian sudah mati.")Aku tidak akan pernah melupakan kalimat yang diucapkan dalam satu tarikan nafas yang begitu berat itu.Tarikan nafas dengan wajah yang seolah memastikan kami mendengar dan tahu, bocah lelaki yang selal
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.