Entah mengapa, ini bukanlah diriku. Aku yang penakut dan tidak ingin bertemu makhluk-makhluk seperti itu tampak tenang, meskipun dia melarangku untuk mengambil mereka bertiga dengan ancaman yang dia katakan.
Hihihihi
Hihihihi
Aku hanya berdiri di sana, melihat pemandangan yang bagi setiap orang adalah pemandangan yang menakutkan untuk dilihat, dua orang yang tidak sadarkan diri dan seseorang yang sedang terduduk ketakutan di depanku. Juga banyaknya makhluk yang mengelilingi mereka dengan wajahnya yang menakutkan, mereka mengelilingi orang-orang tersebut sembari tertawa dan mengejek mereka dengan riangnya.
Juga terlihat sesosok wanita yang ketika pertama kali muncul membuatku mual dan muntah, karena menurut info Mang Darman. Ketika mayatnya di temukan di sungai, tercium bau busuk yang amat kuat dari mayat tersebut, sehingga efeknya bisa dirasakan ketika makhluk itu muncul pertama kali olehku pada saat itu.
Untuk orang biasa melihat pemandangan
Terima kasih sudah menjadi pembaca setiap WARUNG TENGAH MALAM jangan lupa vote dan komen supaya saya bisa terus semangat upload bab-bab terbaru saya sedang membuat cerita baru yang berjudul KUTUKAN LELUHUR yang kini ada di aplikasi GN. jangan lupa dibaca ya Terima kasih
Hihihi hihihi, “Eh, eh, si Aa warung hudang! (Eh, eh, si aa warung bangun! )” “Mana mana mana? ” “Itu, itu, wah karunya loba getih na, (kasihan banyak darahnya, ) sedot yu! ” “Eh ulah! Si aa warung mah lain dunungan urang, teu bisa asal nyedot getih, kan kudu perjanjian heula jeung jelema. Lamun edek nyieun perjanjian jeung urang syaratna kudu nyedot getih ti pamajikanna atau Anakna hihi. (Eh gak boleh! Si aa warung mah bukan tuan kita, tidak bisa asal nyedot darahnya, kan harus ada perjanjian dulu dengan manusia. Kalau mau melakukan perjanjian dengan kita syaratnya harus nyedot darah dari istri atau Anaknya hihi. )” Terdengar suara yang sangat berisik secara samar-samar, suara Anak-anak kecil yang seperti sedang mengelilingiku pada saat itu. Mereka tertawa dan berbicara satu sama lain yang membuatku tersadar secara perlahan. Aku secara perlahan membuka mata, dan seketika aku kaget. Sebuah wajah yang
Mentari pagi masih belum menampakan wajahnya di ufuk timur, namun suara bising dari kendaraan dan polusi udara yang keluar dari knalpot motor dan mobil sudah memadati jalanan pada pagi itu. Sibuknya para manusia mengalahkan suara kokok ayam, tanpa kenal lelah mereka sudah berangkat menuju tempat kerja mereka masing-masing meskipun gelapnya pagi masih menyelimuti. Telihat banyaknya manusia yang memadati pusat-pusat transportasi, kereta api, bus, angkot, hingga transportasi online tak luput dari kesibukan di pagi itu dari segala penjuru. Semuanya mengarah pada suatu tempat yang sama, tempat di mana menjadi mimpi para manusia yang hidup untuk bisa bekerja dan mencari rezeki di sana, yaitu Ibu Kota. Namun di satu sisi, sebuah keluarga sedang berduka di rumahnya yang mewah. Sebuah keluarga kecil itu kini tidak bisa lagi lengkap setelah kepala keluarga meninggalkan mereka untuk selamanya, mungkin kepala keluarga tersebut bekerja terlalu keras untuk kesejahteraan or
Santet, adalah salah satu keilmuan di tanah Jawa yang bisa mencelakakan manusia dari jarah jauh. Biasanya santet dilakukan oleh paranormal atau dukun yang mempunyai ilmu hitam dan digunakan atas permintaan seseorang yang mempunyai dendam tertentu atau sakit hati kepada orang lain. Santet adalah energi negatif yang mampu merusak kehidupan seseorang yang berupa penyakit, kehancuran rumah tangga hingga kematian. Biasanya mereka menggunakan foto, boneka, dupa, kembang tujuh rupa dan benda-benda lainnya, sebagai media pengiriman santet tersebut. Santet tidak jauh berbeda dengan ritual-ritual yang dilakukan di Gunung Sepuh, yang membedakan hanyalah tujuan dari apa yang mereka ingin lakukan. Gunung Sepuh sangat identik bagi mereka yang menginginkan kekayaan, namun santet adalah keilmuan bagi mereka yang bisa mencelakakan orang. Dua ritual tersebut sangat erat dengan perjanjian dengan para makhluk selain manusia, karena untuk mengirimkan penyakit atau suatu benda ke tubuh ko
Aku hanya terdiam melihat Eva bercerita tentang hidupnya. Aku kira manusia tidak akan sejahat itu, namun ternyata mereka bisa lebih jahat hanya karena balas dendam semata. “Jadi apa yang akan kalian lakukan sekarang?” Tanyaku. “Aku akan tinggal di Gunung Sepuh bersama Kania, aku berterima kasih kepada para manusia yang mengurus mayat itu. Meskipun mereka tidak tahu tentang identitas mayat tersebut, tapi mereka melakukan penguburan yang layak. ” “Dan aku akan berjanji meskipun di Gunung adalah tempat bagi mereka membantu manusia untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan segala ritualnya, namun aku tidak akan seperti itu. aku hanya ingin menetap di sana dengan Kania,” Kata sosok Eva sembari tersenyum. Secara tiba-tiba aku melihat Kania dan Eva perlahan-lahan mengilang. Tubuh mereka hilang secara perlahan menjadi debu yang tertiup angin, namun aku masih bisa melihat senyuman hangatnya yang perlahan-lahan memudar menjadi
Di beberapa tempat di selatan Jawa Barat, banyak orang yang seperti Mang Darman. Mereka berdagang segala kebutuhan yang para warga kampung butuhkan, biasanya mereka datang dan pergi menyusuri tiap kampung untuk menjajakan daganganya dengan cara berjalan kaki. Namun ada pula para pedagang yang memakai kendaraan bermotor seperti motor ataupun mobil bak terbuka, daganganya pun bermacam-macam. Ada makanan seperti tahu bulat, gorengan, kacang rebus, baso, sate, bahkan bubur ayam juga ada. Selain itu kebutuhan yang biasanya di cari warga, seperti perabotan dapur, sandal, mainan anak-anak, bahkan pakaian dalam wanita. Tentu saja keuntungan memakai kendaraan bermotor sangat banyak, selain dapat membawa barang dagangan lebih banyak juga tidak terlalu menguras tenaga juga dapat menjangkau lebih banyak tempat karena perjalanan lebih cepat di banding harus pemanggul dagangan ataupun memakai gerobak. Mereka biasanya datang dari kota terdekat, sengaja menyetok barang daganganya di
“Pak Asep ko tumben sudah pulang dari sawah? ” Kataku kepada Pak Asep, seorang petani yang berjalan melewati warung siang itu. “Iya Jang, sengaja si Ibu minta pulang duluan. Soalnya ada hajatan di Kampung sebelah, Katanya ada dangdut sama wayang golek,” Kata Pak Asep. “Hajatan siapa pak?” Kataku “Itu anaknya ketua Kampung, si Rani nikah sama orang Kota. Hajat gede-gedean Jang, siangnya pengajian, sore nya dangdut, malamnya wayang golek,” Katanya sembari bersemangat. “Ya sudah atuh ya, mau lanjut jalan, kasian si Ibu sudah nungguin," Katanya sembari melambaikan tangan. Aku yang sedang duduk di depan warung membalas Pak Asep itu dengan melambaikan tanganku, dia mempercepat langkah kakinya untuk segera pulang ke rumah, mengabaikan panas terik di siang itu yang menyentuh kulitnya. Tujuannya hanya satu, agar segera menemui istrinya dan berganti baju dengan baju yang bagus, juga mengajak anak-anaknya
“Mat, beneran jalanya ke sini? ” Kata Mang Nandi sembari memperhatikan jalan yang gelap di depannya. “Bener Mang, jalannya kesini. Menurut info sih memang jalanannya memutar kalau pake mobil, soalnya kalau pake jalan utama harus lewat gang, kalau lewat gang kan mobil gak bisa masuk, ” Kata Mamat meyakinkan Mang Nandi. “Tapi kok serem ya Mat jalanannya? ” Kata Mang Nandi. “Namanya juga di Kampung Mang, wajar kalau serem. Paling ntar tiba-tiba nongol pocong di depan hehe,” Kata Mamat sembari bercanda. “Huss, jangan bercanda ah. Nanti kalau muncul beneran gimana? ” Katanya sembari ketakutan. Mobil mereka melaju di jalanan yang gelap, jalanan yang berbatu dan berdebu. Juga kerikil-kerikil kecil yang sering kali membuat mobil mereka terhenti, dan sering kali Mamat harus turun dan mendorong mobilnya agar bisa melaju kembali. Jalanan yang mereka lalui memang menyeramkan di sisi kanan jalan membenta
Ting nang ning nung....Ting nang ning nung....Suara galeman yang merdu dari kebun terdengar hingga depan warung tempatku berdiri, juga cahaya-cahaya merah yang muncul dan terlihat dari sela-sela pepohonan di kebun tersebut kini semakin banyak. Sepertinya selain di Kampung Parigi, para makhluk yang berada di sekitar Kampung dan Gunung Sepuh juga berpesta pora di sana.Bukan tanpa alasan, sepertinya memang adalah hal yang disengaja. Biasanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat di Kampung-kampung untuk memindahkan para makhluk yang berdiam diri di suatu tempat ke tempat lain, ketika di tempat itu akan diadakan suatu hajatan atau acara yang melibatkan banyak orang.Masih banyak orang yang percaya, bahwa ketika hajatan atau acara besar di gelar. Itu bisa menganggu para makhluk yang sudah lama berdiam di sana, sehingga seringkali mereka akan menganggu jalannya acara.Banyak kejadian, ketika seseorang mengadakan hajatan di Kampung dan tidak melakukan
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men