[Fira! Apa-apaan kamu? Kamu mengadu sama Mas Cahyo, kan? Berani kamu sama aku?] Dengan santai, jemariku ini menari di atas keyboard dan menekan tombol send begitu pesan selesai diketik. [Segera kembalikan seluruh uang yang pernah kamu ambil dariku, Mas. Aku tunggu!] Aku pun beralih pada Mang Maman, lalu mengetik sebuah pesan padanya. Biar semua gamblang dan tak ada dusta di antar kita, eaaak! [Mang, kalau boleh tahu, berapa jumlah semuanya?] tanyaku, kebetulan Mang Maman temgah online. [Semuanya dua belas juta, Bu.] Melihat balasan Mang Maman, sontak membuatku ingin mencak-mencak. Jika tak sadar di mana sekarang aku berada, mungkin saat ini sudah kumaki-maki Mas Helmi meskipun kami tak sedang bersitatap. Kembali ukirim pesan pada kakakku itu, biar dia bertanggung jawab dari kesalahannya![Aku kasih waktu satu bulan untuk kamu kembalikan uangku, atau kamu aku laporkan ke polisi, Mas!] Tak ada lagi balasan karena tulisan online di bawah namanya pun sudah lenyap. Aku menghela napa
"Nggak papa, Nduk. Biar Ibu tebus kesalahan Ibu dulu. Meskipun bukan mahram, tapi untuk sekedar menemani dan menyuapi nggak papa, kan?" Aku dan Mas Lian tersenyum, begitupun dengan Mbak Imah. Akhir-akhir ini, ia semakin dekat dengan Ibu. Di jalan, aku dan Mas Lian menyempatkan diri untuk makan karena memang belum makan sedari siang. "Makan apa, Mas?" tanyaku. "Bakso enak kali, ya?" "Oke." Mobil melaju menyurusi jalanan, kemudian berbelok ke arah alun-alun dan berhenti di Bakso Pekih. Ini bakso terenak di Purwokerto, menurutku. Porsinya banyak, juga tetelannya bukan hanya lemak. Lah, jadi promosi, hehehe. Kami masuk berdesakkan dengan yang lain. Alhamdulillah, masih kebagian tempat. Di sini memang sangat ramai, jika sedang tak beruntung, kita harus mengantri di belakang yang sedang makan. Beda dari yang lain, kan? Jika yang lain ngantri di depan gerobak bakso, kami justru mengantri di belakang orang yang sedang makan. Tak sopan memang, tapi begitulah adanya. Jika tak begitu, ma
Aku tersadar di suatu ruangan yang pengap dengan posisi duduk. Kuedarkan pandangan, di mana ini? Kenapa semuanya asing? Mataku awas meniti setiap sudut ruangan. Sepertinya, ini adalah gudang tua yang sudah lama tak terurus. "Aw!" Pergelangan tanganku terasa sakit saat akan menarik tangan ini. Ah, s*al! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku? Aku terus berusaha mengingat, siapakah orang yang selama ini terlihat bersaing atau menunjukkan gelagat tak suka padaku? "Apa jangan-jangan, suaminya Priska?" Mataku membulat. Jika memang benar ini perbuatan suaminya Priska, matilah aku! Bisa-bisa viral dan Ambar tahu. Padahal niatku hanya bermain-main saja dengannya. "Tolong! Tolong!" Aku berteriak sekeras dan sesering mungkin hingga tenggorokan ini rasanya sakit. Namun nihil, tak kunjung terdengar suara apapun. Aku jadu merinding sendiri. "Tolong, lepaskan saya!" Akhirnya, aku terdiam. Terbayang lagi, jika sampai suaminya Priska membunuhku di sini. Bagaimana dengan Ambar? Naura? Sudah
Ia langsung panik dan membantuku untuk masuk ke dalam. Setelah selesai, Maman pamit undur diri. "Makasih, ya, Man," ucapku. "Sama-sama, Pak. Kebetulan saja, saya tadi memang mau ke juragan Pendi." "Juragan Pendi?" tanyaku. Karena setahuku, Juragan Pendi adalah pemilik perkebunan sayur. Sering kali kami bertemu, namun karena sifatnya yang slengean membuatku malas bergaul dengannya. "Iya, Pak. Mulai besok, saya kerja di sana," ucap Maman. "Loh, kamu nggak kerja di Fira lagi?" tanyaku memastikan. Maman menggeleng, tatapannya berubah sendu. Ada apa dengan perkebunan milik Fira? Tidak mungkin jika adikku itu memecat Maman, karena ia sudah bekerja semenjak tanam benih pertama. "Bapak tidak tahu?" Kali ini, giliran aku yang menggeleng. "Kebun Bu Fira sudah dijual." Rasanya mataku hendak keluar saat mendengar kabar ini. Apa? Dijual? Kenapa Fira tak berbicara padaku tentang hal ini? "Ya sudah, Pak, saya permisi dulu." Aku mengangguk, membiarkan Maman pergi dan meneruskan tujuannya
Aku segera berjalan ke luar sambil memegangi daster, maklum emak-emak kalau buru-buru pasti langsung menaikkan daster dan berjalan cepat. Mas Lian menghampiriku, raut wajahnya sudah tak enak. Entah mengapa, melihat sepasang kaki itu membuatku perasaanku tak enak. Sepasang kaki? Ya, karena badannya masih tertutup dengan pintu yang masih terbuka Disusul oleh dua pasang kaki lainnya. "Terima kasih ya, Pak!" Brak! Pintu itu ditutup dengan kencang. Mataku membulat, begitupun dengan Mas Lian. Perasaan tak enak kami pun terbukti, Mas Helmi dan keluarganya datang membawa tas serta koper. "Assalamu'alaikum," ucap Mas Helmi sambil tersenyum. "Wa'alaikum salam," jawabku. Mereka masuk, tanpa kupersilakan. Memang seperti itu, kebiasaan. Mendengar suara anak lelakinya, Bapak keluar dengan kursi rodanya. "Pak," sapa Mas Helmi pada Bapak sambil mencium tangan beliau, diikuti oleh Mbak Ambar dan juga Naura. Aku dan Mas Lian buru-buru duduk dan menarik lengan Mas Helmi. Apa maksudnya, dia d
Esok hari. Selesai menyapu, aku menyerbu tukang sayur bersama ibu-ibu yang lain. Seperti biasa, tidak ada ceritanya belanja tanpa ghibah dulu. Saat sedang asyik bercerita, Mbak Ambar tiba-tiba sudah ada di sampingku. "Masak rendang aja, Fir. Rendang buatanmu kan enak," ucapnya sambil menguap. Astaghfirullah, ini bau mulut orang, apa bau selokan? Kulihat ibu-ibu yang lain pun menutup hidung dan risih dengan kedatangan Mbak Ambar. Untungnya, setelah mengatakan itu ia segera masuk ke dalam rumah lagi. "Siapa itu, Fir?" tanya Bu Romlah. "Kakak ipar, Bu." "Kok kelakuannya gitu? Itu mulut pasti isinya sampah, bau banget," ucap Bu Romlah. Aku hanya menggaruk kepala, bingung mau menjawab apa. Wajar jika orang-orang sini tak kenal dengan Mbak Ambar karena mereka baru tiga kali ini berkunjung ke sini. Itupun di dalam rumah terus ketika berkunjung. Saat memasak, aku mendengar suara orang yang memanggil. Rupanya Bu Naima. Cih, mau apa dia ke sini? "Apa, Bu?" "Ambilin micin, Fir. Nih, ua
"Apa?" ulang Mbak Imah tak sabar. "Rumah itu mau kujual, Mbak.""Apa?!" ucapku dan Mbak Imah bersamaan. "Tapi, kenapa?" "Ya aku mau tinggal di kampung saja. Dekat dengan kalian. Nggak enak di sana, berasa nggak punya sodara. Tahu sendiri gimana keluarga Ibu." Aku dan Mbak Imah masih terkejut dengan ceritanya. Rumahnya dijual, lalu berniat menjadi benalu di sini? Oh, tidak akan kubiarkan, Fergusso! "Mbak, bukannya di rumah Mbak Imah ada kamar kosong? Sebaiknya, Mas Helmi ke sana saja, ya? Di sini kan sudah tak ada. Sementara rumah ini kecil."Mbak Imah tampak menggaruk kepalanya yang tertutup dengan hijab itu, lalu akhirnya mengangguk. "Tapi ingat, Hel, di rumahku tak ada yang gratis. Mau makan, nyapu dulu!" Mas Helmi tak berkutik, hingga akhirnya ia mengangguk. "Nanti, Adek bantuin cari kontrakan Mas. Di sini kan murah. Kemarin ini rumah Pak Jaedin dikontrakin. Nggak tahu sekarang ada penghuninya apa nggak." "Yang bayar siapa?" Aku memutar bola mata, jengah. "Ya Mas, lah! S
Bu Hindun dan Wiwin mendengarkannya. Heran, kenapa suka banget bergosip di warungku, sih? "Bu, jangan gosip di sini, dong!" "Pesan mie rebus satu, Fir!" "Ngokey!" Aku pun ke belakang sambil membawa sebungkus mie. Kalau sambil beli sih, gapapa, wkwkaak. Saat membawa mie ke depan, kulihat keluarga Mas Helmi sudah selesai berkemas dan hendak ke rumah Mbak Imah. "Nih, Bu. Saya mau ke dalam dulu," ucapku pada mereka. "Mas, sudah selesai?""Senang, kan, kamu, Fir? Aku dan Mas Helmi pergi dari sini? Mana Mbak Imah orangnya bawel," gerutu Mbak Imah."Udah sih, Mbak. Kan di sana juga sementara. Kalian nantinya bakal ngontrak." Mbak Ambar masih saja memajukan bibirnya, sementara aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kuambil dompet dan mengambil tiga lembar uang. "Nih, Mas, buat pegangan. Semoga kalian betah. Kalau mau main, main aja. Naura, kapan-kapan nginep di Tante, ya?" "Oke, Tan." Aku keluar dan menghampiri Mas Lian yang sedang menutup bengkel. "Mas, anterin mereka ke rumah Mbak