Kami tak ikut ke pemakaman Lia. Tapi kami kembali ke rumah sakit untuk memberi salam perpisahan padanya."Tan, maaf aku sama Bang Haris harus segera kembali ke Bogor. Tante yang sabar. Semoga Allah menerima segala amal perbuatan Lia," kataku pada Tante sembari memeluknya erat."Aamiiin. Terima kasih doanya, Kania. Tante insya Allah sudah ikhlas. Kamu dan Haris tolong bisa memaafkan kesalahan Lia, ya!""Iya, Tan. Lia nggak salah apa-apa, Tante. Kami pergi sekarang ya, Tan. Takut kemaleman nanti. Kyra dan Bibik menunggu di mobil.""Baik, Kania. Hati-hati di jalan, ya!"Kami saling melambaikan tangan. Insya Allah Tanteku kuat dalam menghadapi masalah ini.***Sepanjang perjalanan rasanya begitu sesak bagiku. Aku tak mood untuk makan atau melakukan hal lainnya selain melamun di samping Bang Haris."Kania, kamu nggak usah seperti itu. Lia pasti nggak suka lihat sahabatnya sedih seperti ini. Kamu harus belajar menerima, Kania. Setiap pergerakan pasti akan ada perpisahan." Bang Haris menaseh
"Iya, Kania. Aku sudah mengusirnya dari rumah. Selain selingkuh, dia juga menjadikan sertifikat rumah sebagai jaminan pinjamannya. Dan ternyata pinjaman lima puluh juta kemarin jadi berbunga. Bunganya sangat besar, sehingga aku harus membayar total seratus juta rupiah, Kania!""Astagfirullah sampai sebesar itu hutangnya?""Iya, Kania. Makanya aku mau menggadaikan tokoku dulu padamu untuk membayar hutang dan mengambil sertifikat rumahku, Kania. Setelah dapat sertifikat, aku akan menjualnya. Sepertiga bagian dari penjualan rumah akan ku berikan padamu. Bagaimana, Kania?""Baiklah, Boleh. Oya, Mas. Kamu sudah dengar belum? Ada yang memfitnah kami saat ini. Mereka mengatakan kalau air zam-zam dari kami palsu. Dan saat ini kami sedang menyelidikinya," kataku."Apa? Aku baru dengar loh! Pantas, aku dengar sih selentingan ada supliyer zam-zam palsu. Tak tau ternyata ini menimpamu, Kania." Mas Radit pun baru tau."Baiklah kalau gitu. Akan kami tetap selidiki, Mas.""Harus itu. Oke, terima kas
Aku masih memikirkan kata-kata Mamaku."Ada yang melamarmu. Kamu harus pulang!" ucapan Mama membuatku bergeming.Penekanan kata kamu harus pulang seolah aku tak boleh menolak kata-kata Mamaku. Aku memang baru selesai menjalankan masa Iddahku.Mengapa secepat ini? Padahal aku belum berminat untuk menikah lagi. Masih trauma dengan kelakuan Mas Radit setelah menikah lagi.Namun, Mama perhatian sekali, sehingga tak membiarkanku menunggu lama. Ia ingin aku segera menemukan pasangan hidup kembali.Semakin dipikirkan, aku semakin penasaran. Ah, sudahlah semoga aku bisa pulang ke rumah Papa dan Mama akhir pekan ini.Semakin ku berpikir lagi. Mungkin ini bagus, agar aku terhindar dari fitnah. Seperti anggapan Seli tentang hubunganku dengan Bang Haris. Dia menuduhku yang tidak-tidak. Padahal aku tau hubungan antar dua orang sebelum menikah itu jatuhnya haram. Sehingga, memiliki suami lagi bisa membuatku lebih terjaga.'Ya Allah, jika memang seseorang itu jodoh yang tepat untukku, maka dekatkanl
Hari ini, kami membuka cabang toko kembali di daerah Depok. Beberapa karyawan pusat sengaja didatangkan untuk memantau toko baru kami.Kami melakukan promosi di awal. Semua barang diberikan diskon antara 10 - 20 persen dalam satu pekan ini.Para karyawan siap melayani pelanggan dengan baik. Mereka yang datang ingin mendapatkan diskon dari barang yang kami jual.Sebelum membuka toko di hari pertama ini, kami melakukan breefing pagi."Semoga semua bisa melayani konsumen dengan baik dan ramah. Ingat ... selalu tersenyum ramah ketika melayani mereka!" kataku, sesaat sebelum membuka toko.Mereka mengangguk. Aku tersenyum puas."Terima kasih atas segala usaha kalian sehingga toko ini bisa di buka hari ini. Yuk, semangat semua!""Baik, Bu." katanya sembari mereka keluar dari ruanganku.Mereka bersiap, karena toko sudah bisa dibuka.Beberapa detik kemudian, banyak yang sudah datang. Mereka tertarik dengan diskon yang kami berikan.Setelah tutup, kami adakan evaluasi. Agar kami semakin maju ke
[Kania, kamu di mana?] Bang Haris mengirimkan pesan padaku.Apa dia datang ke rumahku? Lalu dia menghubungi setelah melihat rumah kosong. Arrrggggh, salah aku tak memberitahukannya kalau aku pulang ke Purwakarta. Aku lupa mengatakannya.Aku memutuskan untuk menerima pilihan orang tuaku, mereka biasanya punya firasat yang benar. Mudah-mudahan berkah untukku, menjadi anak yang penurut untuk saat ini.Namun, mengapa aku memikirkan dia? Tak sempat kuucap selamat tinggal untuknya. Mungkin dia berharap padaku, atau, aku yang terlalu kepedean? Entahlah.Segera ku balas pesan Bang Haris. Ia membuatku melamun, sungguh terlalu kau Bang. [Maaf, Bang Haris. Aku sedang tak di rumah. Sekarang sedang di Purwakarta. Ada apa, Bang?] Aku penasaran dengan maksudnya mengirimkan pesan padaku.[Oh gitu. Kok kamu nggak ajak-ajak aku pulang ke kampung halaman Papamu?] balas Bang Haris.[Maaf, Mas. Ini juga ngedadak. Aku diminta buru-buru pulang.] jawabku.[Ada apa sih sampai diminta buru-buru gitu?][Mmm ..
"Iya, Papa antar calonmu dan keluarganya ke hotel. Semoga mereka nggak nyasar ketika ke sini," sahut Papa."Memangnya mereka dari mana, Pa?" Penasaran juga dengan seseorang itu."Mereka dari kota asal kita, Bandung. Semoga kamu berjodoh dengannya. Papa doakan untuk kebaikanmu," kata Papa.'Orang Bandung? Siapa ya?' gumamku.***Tibalah waktu lamaran. Mobil calon suamiku sudah datang. Ada dua mobil yanh terparkir di depan rumah orang tuaku.Aku buru-buru masuk, tak mau terlihat oleh mereka karena malu. Di dalam kamar, aku berdoa semoga aku minimal bisa menyukai laki-laki itu. Karena agar aku semakin mantap untuk bersamanya nanti.Aku menyusui Kyra terlebih dahulu. Dia tertidur kembali sehingga aku bisa leluasa menemui tamu di luar "Kania, silahkan keluar. Semua sudah berkumpul," teriak Papa dari arah pintu."Iya, Yah. Sebentar." Aku merapikan baju dan kerudungku terlebih dahulu agar tetap rapi. Kali ini aku deg-deg saat akan keluar.Aku berjalan keluar kamar bersama Papa, lalu duduk d
Ya Allah, ada Mas Radit ke kantor mau apa ya? Dia tak menghubungiku terlebih dahulu lagi."Paling besok saya ke kantor, sekarang masih di Purwakarta, Al," kataku. "Bilang sama Pak Radit, nanti besok atau lusa ke sini lagi. Oke Al?" titahku.Sepertinya ada hal penting yang ingin dia ucapkan. Aku tak tau lagi kehidupan Mas Radit dan Seli sekarang. Benar-benar membuatku deg-degan.Saat bengong, Mama menghampiriku."Teteh, menurutmu bagaimana calon suamimu? Mama lihat kamu langsung berbinar ketika tau dia adalah Haris." Mama menggodaku."Emang kelihatan gitu, Ma?" Aku terkekeh. Malu mendengar perkataan Mama. Responku ternyata bisa ditelisiknya."Iya, keliatan banget, Nak! Tapi nggak apa-apa, berarti Mama sukses jodohin kamu dengan Haris. Semoga lancar hingga pernikahan nanti, ya!" ucap Mama."Aamiiin yaa Allah. Ma, besok aku harus kembali ke Bogor," kataku."Kok cepat sekali sih, Teh? Memangnya ada apa? Berarti Mama nyiapin pernikahan kamu sama Papa aja dong?" Mama cemberut karena aku mal
"Ada apa, Mas?" tanyaku ketika dia masuk."Aku mau menjual tokoku padamu, Kania," katanya."Memangnya kenapa sampai dijual?" "Seperti biasa Kania, kamu tau kan Seli sering berhutang. Tanpa ku tau, dia berhutang lagi di pinjaman online. Dan pinjaman itu atas namaku. Belum lagi tagihan pinjaman rentenir, masih datang ke rumah. Aku benar-benar akan kehilangan semua, Kania!""Sabar, Mas. Aku akan beli tokomu. Mudah-mudahan kamu bisa membayar pinjaman dengan baik," ucapku."Terima kasih atas pengertiannya, Kania. Kamu benar-benar seorang wanita yang baik. Aku menyesal telah menyia-nyiakan kamu," katanya dengan mata yang berkaca-kaca.Aku tak bisa menjawab, hanya senyum yang bisa kuberikan kali ini. Tiada guna penyesalan yang datang."Baiklah segera ku transfer ke rekeningmu, ya, Mas!""Ok, terima kasih banyak, Kania.""Oh ya, Seli sendiri kan sudah tak di rumahmu, ya?""Iya. Kan aku sudah mengusirnya. Sekarang dia hidup di mana entah aku tak tau, sebelumnya banyak melakukan pinjaman onlin
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas