"Uhuk! Uhuk!" Mawar pelaku pengunggahan video tersedak atas pertanyaan suamiku, membuat mertuaku menoleh padanya dengan tatapan curiga.
Tampaknya, mertuaku tidak tahu jika aksi penggosipan yang dia lakukan di depan keluarga besarnya direkam dan disebarkan Mawar di grup WA keluarga."Minum dulu," kataku dengan wajah dan suara dingin saat mengulurkan segelas air putih pada adik iparku.Mawar tampak terkejut sebelum meraih air dariku, lantas meneguknya TANPA berterima kasih. Bukan hal aneh, orang yang mudah mencela rata-rata diikuti dengan kebiasaan alergi untuk mengucapkan maaf dan terima kasih."Kamu sampai tersedak. Apa memang ada sesuatu yang terjadi di rumah Tante Santi? Ada masalah dengan acaranya?"Buru-buru mertuaku menyahut, "Tidak, tidak, semuanya berjalan lancar. Rasanya Mama sampai iri pada Santi.""Kenapa, Ma?""Kau tahu Aji, si Windi, calon istri Rico itu sangat luar biasa. Dia wanita karier yang sukses, berasal dari keluarga terhormat, sangat cantik, modis, pinter, dan GADIS. Mertuaku tersenyum sesaat sebelum mencebik dan melirik sinis padaku. "Tidak seperti istrimu."Aku tahu, maksud mertuaku menekankan kata 'gadis' itu. Memang, sejak pertama, Mama tidak setuju Mas Aji memilihku sebagai istrinya. Alasan utamanya ya, karena statusku sebagai seorang janda. Padahal, Mas Aji pun duda. Jadi, mengapa Mama masih saja mempersoalkan hal itu? Lagipula bukan mauku menjadi janda karena suami pertamaku meninggal dalam kecelakaan sebelum genap sebulan kami menikah."Mama jangan iri, menantu Mama ini juga nggak kalah hebat." Mas Aji merangkulku dengan senyum bangga."Hebat dari mana?! Kerjaannya molor dan males-malesan di kamar. Cantik tidak, pelit iya. Diajak ke acara tunangan Rico saja nggak mau!""Ma ... 'kan Mama yang melarangku untuk ikut.""Nah ini, bantahnya nomor satu. Apa-apa nggak dipikir dulu, langsung ngeyel saja. Lha kamu kira kenapa Mama larang kamu ikut?""Ya Mama nggak maulah di-bully semua orang karena bawa menantu seperti Mbak Retno.""Nah, ini adikmu jauh lebih pinter! Heran Mama, sudah lama jadi menantu di rumah ini nggak pinter-pinter juga. Bikin Mama dongkol saja setiap hari."Aku hanya mengatakan satu kalimat, mertuaku membalasnya dengan omelan. Ditambah dengan ucapan Mawar yang tidak ada hormat sama sekali pada kakak iparnya."Mama, jangan berbicara seperti itu. Tidak perlu membandingkan Retno dengan siapa pun. Aku cinta pada Retno yang seperti ini. Dan kamu Mawar, jaga ucapanmu! Ingat, Retno ini kakak iparmu. Menghinanya sama seperti menghina kakakmu sendiri.""Aji, kamu tuh kebiasaan belain Retno terus. Jadi ngelunjak dia di rumah ini. Kamu 'kan seharian di kantor. Kamu nggak tahu bagaimana sikap istrimu pada Mama dan Mawar selama kamu nggak ada di rumah. Kadang-kadang Mama tuh berpikir, rasa cintamu pada istrimu itu sudah menghapus rasa sayangmu pada Mama. Sakit rasanya, Aji."Mulailah mertuaku dengan dramanya, berpura-pura menangis sebagai 'korban' paling menderita. Jelas-jelas ucapannya lebih pantas jika aku yang mengatakannya.Di depan Mas Aji saja dia memakiku seperti itu, apalagi di belakang suamiku, di belakangku?Dadaku terasa sesak teringat video itu. Kupejamkan mata sesaat sembari mengatur napas agar lebih tenang."Maafkan aku, Ma. Bukan maksudku untuk menyakiti Mama."Aku menggertakkan gigi mendengar suamiku meminta maaf. Dia tidak bersalah! Memang seorang anak harus hormat dan berbakti kepada orang tuanya, terutama pada ibu, tetapi bukan berarti membenarkan dan memakluminya saat melakukan kesalahan.Ketika aku membuka mata, terlihat Mas Aji memeluk ibunya dengan wajah penuh penyesalan, sedangkan mertuaku tersenyum miring menatapku.Hatiku sudah tidak kuat menahan diri untuk menyembunyikan video keji itu. Aku pun berdiri dan meninggalkan meja makan."Retno! Retno! Sayang!" Mas Aji memanggilku. Sepertinya dia khawatir aku tersinggung atau sakit hati.Sementara itu, Mawar memulai peran yang selama ini dilakoni, menjadi KOMPOR. "Lihatlah Mas, nggak sopan banget. Mbak Retno pergi begitu saja tanpa pamit atau minta maaf. Itu dilakukan di depan Mas lho! Padahal Mama 'kan nangis gara-gara dia."Biarkan saja dia memanas-manasi Mas Aji untuk membenciku. Kita lihat, setelah aku kembali ke ruang makan membawa video itu, apa yang akan dikatakan Mawar? Juga mertuaku tersayang!Apa mereka masih bisa menjadikanku sebagai 'pendosa' di depan Mas Aji?Setelah sampai di kamar, aku langsung mengambil ponselku yang ada di atas nakas. Kulihat grup WA keluarga suamiku. Dan persis seperti dugaanku, video itu telah dihapus.Aku tertawa kecut. Mawar memang telah menghapusnya dari grup, tetapi tidak menghapusnya dari memori ponselku. Dengan video di tanganku didukung komentar-komentar jahat para anggota grup yang tidak dihapus, pembelaan macam apa yang akan dikatakan mertua dan iparku?Aku bergegas turun ke lantai satu, berjalan cepat menuju ruang makan. Terlihat, suamiku masih berdiri memeluk ibunya selagi Mawar terus mengoceh mengatakan entah."Retno ..." panggil Mas Aji tersenyum lega melihatku menuruni tangga.Aku tersenyum miris menapaki setiap anak tangga. Betapa kasihan suamiku memiliki ibu dan adik yang sangat ....Sebuah napas kabur dari mulutku. Tampaknya tidak ada lagi kata dalam kamus yang bisa mewakili kelakuan Mama dan Mawar."Aku senang kamu kembali, Sayang." Mas Aji memegang tanganku lembut. "Sekarang kamu minta maaf dulu ya pada Mama.""Padaku juga!" sambar Mawar sambil melipat kedua tangannya di depan dada."Tunggu dulu, Mas. Tadi kamu tanya, apa ada sesuatu yang terjadi dalam acara pertunangan Rico dan Windi.""Ya.""Sebelum aku meminta maaf pada Mama dan Mawar, sebaiknya kamu lihat dulu video dokumentasi acara itu yang diunggah MAWAR di grup WA keluargamu.""Jangan!" Wajah Mawar pucat ketika Mas Aji meraih ponselku. "Ma-maksudku, Mas Aji nggak usah lihat video itu. Nggak penting juga, itu hanya ....""Nggak papa, Mawar. Aku juga ingin lihat kehebohan yang terjadi di rumah Tante Santi. Sayang sekali aku tidak bisa hadir di acara itu tadi. Terima kasih ya kamu sudah merekam dan membagikannya di grup."Rasakan! Petiklah buah dari apa yang kau tanam. Kugeser pandanganku ke Mama. Wajahnya tidak kalah pucat dari Mawar. Meski mungkin dia tidak tahu video apa yang hendak disaksikan putranya, kecemasan di wajah Mawar sudah cukup membuatnya turut was-was juga."Lihat baik-baik Mas. Jangan lewatkan satu detik pun." Aku tersenyum sebelum duduk dan menyesap air putih. Entah sejak kapan air jernih menjadi semanis ini.Mas Aji menekan layar ponselku. Seketika itu pula kedua alisnya bertaut hingga hampir menyatu melihat dan mendengar sang ibu mengolok-olok istrinya seperti ... sampah di hadapan banyak orang, di depan keluarga besarnya.Sementara itu, M
Aku benar-benar seperti melihat sisi lain suamiku. Di balik sikapnya yang selalu ramah, lembut, dan penyayang, ternyata Mas Aji bisa menjadi sesangar ini. Dan semuanya demi ... aku."Aku minta maaf Mbak Retno.""Uhuk! Uhuk!" Aku sampai tersedak ludahku sendiri melihat Mawar mengulurkan tangannya padaku. Dia benar-benar menuruti perintah Mas Aji.Tentu saja Mawar takut suamiku tidak memberikan uang padanya. Secara, selama ini dia selalu meminta ini dan itu pada Mas Aji. Dan, nyaris selalu dituruti.Aku menyambut tangan adik iparku sambil mengingatkan, "Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan burukmu itu. Selain merugikan aku secara pribadi, tindakanmu itu juga mencoreng nama keluarga kita."Hening.Mungkin di balik bungkamnya Mawar dan Mama saat ini, mereka tengah menghujatku dalam hati. Terserah! Aku tidak peduli. Yang jelas, mereka harus diberi pelajaran berharga agar tidak seenaknya sendiri."Mawar, dengar apa yang dikatakan kakak iparmu?""Aku mengerti.""Bagus. Sekarang c
Mama berbalik dan menuruni tangga. Dia menghampiri Mas Aji masih dengan wajah merah padam. Dia pasti tidak terima atas ancaman suamiku. Terlihat sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan penuh dengan kebencian."Jadi ... kamu tega meninggalkan Mama dan Mawar demi janda ini?" Mama menunjuk diriku. Aku tahu, mertuaku tidak akan pernah merasa kalau semua kekacauan ini terjadi karena apa yang dia lakukan. Sebaliknya, dia pasti berpikir akulah biang masalahnya."Dia bukan janda, Ma. Aku suami sah Retno.""Terserah apa katamu. Bagi Mama dia tetap sama, wanita tidak tahu diri yang telah mengubahmu menjadi seperti ini! Kamu berani melawan bahkan berbicara dengan nada tinggi pada Mama karena wanita s*alan ini."Mas Aji tersenyum kecut. "Aku sangat menyesal. Dua tahun sudah aku meminta istriku bertahan di rumah ini, rumah di mana dia sama sekali tidak dihargai sebagai seorang menantu, sebagai kakak ipar, dan sebagai manusia."Kini Mas Aji menatap ibunya dengan mata menahan air. Jika seseora
Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat."Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku. Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya."Mas ...."Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu."Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu
Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari. "Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas.""Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum."Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti j
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai bersih-bersih rumah dan masak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut hari baru hingga saat subuh belum datang, kedua mataku sudah tidak bisa terpejam.Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika menata hidangan di atas meja makan. Terlebih saat membayangkan reaksi yang diberikan mertua dan iparku saat melihat makanan yang telah kupersiapkan dengan apik.Aku tahu, ini akan menjadi kejutan yang sangat menyenangkan. Maka, sebagai rasa sayangku pada Mama dan Mawar, sengaja pagi ini melengkapi semua dengan seduhan teh hijau. Sementara untuk Mas Aji, seperti biasa, secangkir kopi pahit telah siap untuknya. Pernah sekali aku bertanya pada suamiku perihal apa yang membuatnya lebih suka kopi pahit. Dan jawaban yang diberikan sangatlah klise, tapi tetap membuatku senang. Kata Mas Aji, itu karena rasa manisnya sudah cukup dengan melihat wajahku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu semua orang turun untuk sarapan bersama. Beberapa saat b
Ruangan menjadi hening atas sisa-sisa gema dari teriakan Mama. Apakah Mama akan membuka topengnya secepat ini? Apa Mama akan kembali menunjukkan sisi buruk yang mendominasi keseluruhan dari tabiatnya selama ini?"Maksud Mama, Aji ... Retno pasti lelah menyiapkan ini semua. Dia sudah bekerja keras sejak tadi. Jadi, kamu beli makan saja seperti biasanya ya. Jangan menyusahkan istrimu. Lagipula, tidak baik juga kalau nanti kamu berbicara dengan klien. Mereka akan ... terganggu dengan bau mulut akibat masakan menji-, em ... makanan lezat tapi beraroma sedikit menyengat ini."Aku tidak mengira kalau efek peperangan kecil tadi malam begitu besar, hingga Mama merasa sungkan untuk berbicara kasar padaku. Tidak mau mengendorkan serangan, aku pun membalas, "Tidak apa-apa, Ma, aku tidak capek. Aku akan mengambil rantang untuk bekal makan siang Mas Aji. Kalau untuk napas tidak sedap, aku sudah menyiapkan ini! Permen pengusir bau mulut. Jika masih belum cukup, aku akan membawakan sikat dan pasta
"Sumpah ya Ma, nyebelin banget wanita soal*n itu. Masa kita disuruh makan petai, jengkol, ih ...! Ikan teri, ikan asin, sama apa tadi sayur kolor?""Kelor.""Ya itu, namanya aja aneh apalagi rasanya coba? Semua itu 'kan makanan orang miskin Mama! Enggak banget pokoknya kalau lidahku harus turun kasta! Nyium baunya saja aku pengen muntah, nggak kebayang deh kalau sampe harus makan! Langsung pingsan mungkin aku!" Mawar menutup mulutnya seperti orang yang mau muntah.Tidak mau kalah sang ibu pun meluapkan amarahnya."Iya, kurang ajar emang itu si janda burik! Bisa-bisanya ngerjain kita sampai seperti ini! Pagi-pagi perut lapar, bukannya masak yang bener, malah menyajikan makanan kampungan begitu. Apa dia nggak mikir, pantes nggak menyajikan makanan seperti itu? Jelas-jelas sama sekali nggak layak. Dia nggak tahu apa kalau meja tempat naruh makanan itu harganya sangat mahal? Dia benar-benar menghancurkam nilai kemewahan meja makan kita, rumah kita, harga diri kita!""Belum lagi itu Ma, ju
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san