Mawar merapatkan gigi-giginya melihat Retno mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Pertunjukan menarik akan dimulai bersama dengan terbukanya pintu ruangan Aji. Akan tetapi, belum sampai menyentuh pintu, Retno telah menurunkan kembali tangannya.Mawar menjadi sangat gemas ketika Retno menggelengkan kepala. Rasanya, dia ingin sekali menendang pintu itu sekarang juga. ‘Kenapa lama sekali sih? Buka gitu aja lemot banget persis ortaknya! Dasar kampungan!’ Dia nyaris berteriak karena dongkol.“Lebih baik aku membukanya langsung. Mas Aji pasti akan kaget lihat aku tiba-tiba ada di ruangannya.”Mawar tersenyum lagi mendengar ucapan iparnya. ‘Manis sekali! Kita lihat, siapa yang akan lebih terkejut nanti. Mas Aji, atau ... kamu Mbak,’ imbuhnya dalam diam.Lengkungan di wajah Mawar semakin lebar saat Retno telah memegang gagang pintu. Terlebih ketika gagang itu ditekan dan didorong.Suara pintu yang terbuka menjadi bunyi paling indah yang pernah Mawar dengar selama ini. Dia segera merapat
Aji berlari ke tempat parkir setelah menerima telepon dari Mawar. Di kepalanya kini terbayang wajah Retno yang menangis melihatnya melakukan entah bersama Siska. ‘Kenapa ini bisa terjadi, Tuhan?’ Dia kembali mengulangi pertanyaan yang sulit dijelaskan meski Siska telah menceritakan apa yang terjadi. “Di mana Retno?” “Mbak Retno sudah pergi, Mas. Saat aku turun, dia sudah tidak ada.” Mawar menjelaskan dengan wajah panik. “Ya Tuhan, maksudmu dia menyetir sendiri?” “Ya, Mas. Mobil yang kubawa tidak ada. Mana Mbak Retno lagi hamil lagi. Itu masih belum seberapa, dia menyetir dalam keadaan marah. Ya ampun! Kamu tega banget Mas.” Aji menggeleng. “A-aku tidak tahu Mawar. Kita pulang sekarang. Semoga Retno baik-baik saja.” Aji mengemudikan mobilnya dengan tergesa. Sepanjang jalan Mawar terus mengomel, memojokkan Aji. Tentu saja hal itu membuat Aji merasa semakin bersalah. Meskipun dia tidak merasa melakukan hal yang melampaui batas, bekas lipstik, juga bau parfum Siska yang melekat di t
"Siapa yang telepon Aji?""Em, ini, temannya Retno." Aji yang biasa berkata jujur cukup kesulitan saat harus berbohong."Gimana katanya, Mas?"Aji mengingat apa yang dia katakan saat Retno menelepon untuk memikirkan jawaban yang cocok. "Dia itu ... tanya, aku sudah tahu atau belum Retno di mana.""Kok Mas jawabnya tidak?""Ya, ya 'kan Mas tidak tahu, Mawar.""Terus kenapa Mas nggak tanya ke dia, Mbak Retno sekarang di mana? Dari semua orang yang Mas telepon, hanya dia yang tidak Mas tanyai."Aji menelan ludah. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Di-dia ... dia Nanik, Mawar. Temannya Retno yang tadi sudah Mas hubungi. Dia telepon lagi barangkali Retno sudah ditemukan.""Oh ...."Aji menghela napas panjang atas rasa lega karena Mawar ataupun Mayang sepertinya tidak curiga padanyaDia pun berdiri, berniat untuk langsung pergi ke alamat yang baru saja dikirimkan sang istri."Lho kamu mau ke mana?""Aku tidak bisa duduk diam saja seperti ini Ma. Aku harus mencari Retno." Aji mulai lanc
"A-apa?" "Di malam saat Mawar kembali diantar Siska, aku sudah tahu semuanya. Setelah makan malam selesai, Mama pergi ke kamar Mawar dua kali. Pertama, menunjukkan perhatian sebagai seorang ibu seperti pada umumnya, dan yang kedua, untuk menyampaikan rencana licik Siska." "Rencana licik Siska?" Retno menatap suaminya. "Mas ingat kita pernah berencana untuk memasang CCTV?" Aji mengangguk cepat. "Lalu?" "Aku memasang CCTV yang dilengkapi dengan fitur two ways audio. Jadi, aku bisa mendengar semua yang mereka bicarakan dengan jelas." Retno mulai memaparkan rencana busuk Siska yang disampaikan sang mertua pada iparnya. Dia mengepalkan tangan mengingat betapa keji keluarga suaminya itu. Dia tahu sampai detik ini mereka belum bis menerima dirinya sebagai istri Aji, tetapi dia masih mengira jika Mayang dan Mawar memiliki sedikit nurani sebagai manusia. Aji terbelalak mendengar penjelasan istrinya. Punggungnya jatuh lemas ke sandaran sofa. Otot-ototnya seperti lepas karena rasa kesal, m
Untuk pertama kalinya, Aji merasa begitu damai. Entah mengapa selama ini resah di hatinya membuat napasnya kurang lega.Dia menatap Retno yang sedang meletakkan makanan di meja. Pria itu menyangga dagunya selagi bibirnya tidak berhenti tersenyum.“Ini sayur asem kesukaanmu, lengkap dengan sambal terasi, ikan asin, dadar jagung, dan tempe goreng.” Retno tertawa saat duduk di samping Aji. “Aku kadang merasa lucu kalau ingat makanan favoritmu versi lama. Ya Tuhan, sepertinya kamu memang sudah ketularan aku, Mas. Jadi kampungan. Selera makanmu berubah total Mas, jadi seperti seleraku.”“Aku tahu.”Retno menirukan sang suami, yakni meletakkan tangan kanannya di atas meja untuk menyangga dagu. “Kenapa kamu diam? Kangen Mama dan Mawar? Pengen pulang?”Aji menggeleng. “Entah ini dosa atau tidak, tapi aku merasa begini lebih baik. Selama kita menikah, aku belum pernah setenang ini Sayang. Hatiku terasa hangat. Padahal, sebentar saja aku pisah darimu, rasanya dadaku sesak. Aku seperti tidak tah
Seminggu telah berlalu dari kepergian Aji dalam mencari Retno, tetapi pria itu tidak kunjung pulang. Mayang dan Mawar semakin cemas karena Aji tidak memberikan kabar apa pun.Tidak hanya itu, rupanya Aji juga tidak datang ke kantor Siska untuk bekerja. Oleh sebab itu, Siska yang sudah tidak bisa menahan kekhawatiran pun akhirnya berkunjung ke rumah Mayang di sela-sela padatnya jadwal kerja.Kini ketiga wanita itu sama-sama memeluk resah atas ketidakjelasan di mana dan bagaimana keadaan Aji sekarang. "Terakhir kali kami bicara adalah saat Tante meneleponnya waktu itu, Sis. Saat itu entah kenapa Tante sudah merasa ada yang aneh. Ucapan Aji terdengar seperti orang yang ... tidak akan kembali. Entahlah tapi, itu seperti kata perpisahan." Mata Mayang kembali berkaca-kaca.Mata itu bahkan masih sembab lantaran nyaris setiap waktu dia menangisi Aji. Berkali-kali pula Mawar berusaha menenangkan ibunya. Hari demi hari berhasil Mayang lewati dengan penuh was-was karena adanya harapan, satu pag
Apa yang dikirimkan Aji dalam pesan di grup WA keluarga seperti petir di siang bolong. Tidak hanya mengejutkan Siska, ibu, dan adiknya, tetapi juga telah menyambar mereka hingga mereka mendapatkan serangan telak, terutama tentu saja untuk Siska yang telah berada di puncak harap.Siska mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Dia merasa seperti terkhianati oleh seseorang yang bahkan belum dia miliki. Rasa sakitnya bahkan tidak cukup untuk diwakili dengan kata sakit itu sendiri."Sekarang bagaimana, Tante?" Siska berbicara dengan nada yang dingin. Dia bahkan memberikan tatapan tajam kepada Mayang.Siska jelas berharap banyak. Setidaknya, sebagai ibu, dia berpikir Mayang bisa melakukan sesuatu yang akan membuat Aji sedikit melihat ke arahnya. Namun, setelah semua yang dia berikan, wanita paruh baya itu tidak melakukan apa pun dengan benar. Yang bisa dilakukan hanyalah berkata manis tanpa pembuktian akan terjadi.Mayang yang bisa merasakan kekecewaan besar dari Siska, tersenyum walaupun hatinya sa
Dada Siska berdebar kuat akibat maut yang nyaris saja menghampirinya. Untung saja kakinya dengan cepat menginjak rem sekuat tenaga. Jika tidak, pastilah mobilnya telah menabrak kendaraan lain karena menerobos lampu merah.Siska mengusap keringat di dahinya sebelum menoleh ke belakang. "Tante, Mawar, kalian tidak apa-apa?"Mayang dan Mawar diam dengan tangan memegangi dada. Wajah mereka tampak pucat seputih kertas. Ada banyak umpatan yang ingin mereka lontarkan untuk Siska, tetapi rasa tegang akibat kecelakaan yang hampir saja terjadi membuat mereka bergeming.Siska menghela napas panjang. Dia mengemudikan mobilnya dengan hati-hati setelah lampu hijau menyala.Beberapa saat Siska menyetir, dia menepi. "Mawar, bisakah kamu menggantikanku mengemudi? Saat ini hati dan pikiranku sangat kacau."Mawar menggangguk cepat. Dia berpindah ke depan, sedangkan Siska berpindah ke samping kemudi.Ketika mobil melaju, Siska meminta maaf. Lalu, wanita itu menangis. Dia terisak!Mayang berusaha menenang
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san