“Hei, siapa kalian!” seru Mbak Wulan. Alhamdulillah akhirnya dia datang.Lalu terdengar orang saling berkejaran“Fais, ada apa?” tanya Mbak Wulan lagi. Alhamdulillah suamiku juga sudah datang.Aku dan Susanti kembali mengembalikan posisi sofa dan meja di tempat semula dan bergegas membuka pintu.“Mas?” Aku langsung memeluk Mas Fais. Aduh, kenapa aku jadi gini ya, dih, lebai banget. Rutukku sendiri.“Cepat tolong mereka!” titah Mas Fais.Beberapa orang yang kutahu itu petugas medis membawa Mbak Gina.“Ada apa? Kenapa tidak ada yang menjawab pertanyaanku?” tanya Mbak Wulan.“Panjang Mbak ceritanya, tapi itu Mbak Gina terluka karena Mas Fawas,” jawab Susanti.Aku dan Susanti menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Mbak Wulan sepertinya tidak percaya, tapi bukti cukup kuat.“Kita lihat CCTV nanti,” sahut Mas Fais.“Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. Aku tidak tahu apa-apa setelah acara semalam aku tidur mungkin karena efek min obat batuk, jadi sama sekali tidak dengar apa pun. Kalau bib
🌸🌸🌸POV Kayla.“Kay, Emak kenapa?” tanya Bang Dafa tiba-tiba masuk ke kamar rawat emak. Padahal baru saja aku mau telepon dia.“Aku tidak tahu, Bang. Aku tadi baca WA dari nomor asing terus Mak teriak-teriak enggak jelas. Itu HP-nya langsung dibanting terus Emak jadi ngomong sendiri dan seperti ketakutan begitu,” jawabku mencoba serileks mungkin menjelaskan keadaan emak. Kalau aku gugup dan takut-takut pasti Abang Dafa akan mencurigaiku. Apalagi dia dokter kejiwaan.“Mak, kenapa? Ada masalah apa? Coba katakan padaku,” bujuk Bang Dafa.“Tidak! Mereka sudah mati. Aku tidak bersalah bukan aku yang bunuh mereka!” teriak emak saat ditanya Bang Dafa.“Mak, kenapa? Ini aku, anakmu!” Bang Dafa pun teriak histeris.“Tidaaaakk! Jangan dekat-dekat aku!” seru emak lagi. Emak berusaha mendorong Bang Dafa.Aku tentu saja menikmati pemandangan di depanku ini. Bagus kalau emak begini terus, maka aku pastikan dalam waktu dekat emak akan semakin menjadi gila dan akhirnya alam yang akan menyeleksiny
POV Kayla. "Bang, aku rasa yang diucapkan Emak ada benarnya juga. Jadi, siapa yang kaya mendadak di kampung kita bisa kita curigai sebagai pencurinya. Abang kan, tahu semua orang di kampung kita memiliki pandangan bermacam-macam pada emak dan juga bapak. Kalau orang luar kampung kemungkinan besar tidak deh, Bang. Kan, mereka takut sama kekuasaan bapak. Kalau orang kampung kita pasti beranggapan tidak akan dicurigai,” kataku asal menelaah semoga saja Bang Dafa percaya kalaupun dia tidak percaya setidaknya emak yang percaya. Bicaraku ini sudah seperti racun merasuk dalam jiwa, emak akan percaya-percaya saja dan kemudian membunuh enak secara perlahan namun pasti.“Sepertinya tidak begitu, Kay, teorinya, tapi ya, boleh juga pendapat kamu. Nanti aku akan bicarakan pada anak buahku untuk mereka menyelidiki di kampung kita juga,” jawab Bang Dafa.“Kalau menurut Emak juga gitu, Daf. Pasti orang-orang yang selama ini sirik dan iri dengki pada kita yang sudah menguras habis harta kita. Po
POV Kayla. “Emak, ih, kok, galak banget, sih!” kataku kesal. “Maaf Emak, tadi sedikit kesal sama orang. Ada apa, Kay?” tanya emak lagi. Kuarahkan kamera pada bapak yang sedang terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya. “Lihat tuh, Mak, Bapak lagu tidur, kan?” ucapku. “Ya, ampun. Bapak separah itu?” tanya Mak terkejut. “Iya, lah, Mak. Kan, tadi aku sudah bilang. Emak sih, enggak percaya,” jawabku pura-pura merajuk. “Kalau gitu kamu saja yang bawa Emak ke sana. Begitu Bapak bangun Emak harus bicara empat mata dengannya." “Iya, Mak. Aku ke sana, ya?” Kumatikan vicall dan segera kembali lagi. Andai saja aku tidak ingat misi yang sedang kujalani aku tidak sudi bolak-balik ke sana ke mari jadi antek emak mertuaku. Baru saja aku menggeser bangkuku bapak bangun. Oke, baiklah aku akan lakukan ini padanya. Segera kuambil kertas dari dalam tasku lalu menggulungnya seperti bentuk terompet dan segera sembunyi di bawah ranjang bapak. “Hai, juragan? Ingat aku? Sobri yang dulu kamu
“Ha ha ... baru begitu saja kamu, sudah ketakutan. Apa kamu lupa bagaimana takutnya kami dulu? Kini saatnya pembalasan. Tunggulah kematianmu,” ucap abangku lagi. “Heh, kamu siapa! Tidak usah macam-macam, ya! Pasti kamu salah sasaran, salah sambung! Aku peringatkan, ya, jangan coba-coba untuk mengganggu emak mertuaku lagi!” teriakku pura-pura membela emak. Kumatikan telepon tepat saat Suster datang. “Ada apa, Mbak?” tanyanya. “Selang infus Emak mertuaku lepas Sus, tolong dibenerin,” pintaku. “Loh, kok, bisa begini?” Aku menggeleng tidak tahu. Sebenarnya aku pun bisa memasangkannya sendiri, tapi aku tidak lakukan itu. Aku tidak sudi membantu nenek peyot ini lagi. “Nah, sudah aman. Bu, tolong ya, selang infusnya jangan dilepas lagi. Ini berbahaya apalagi kalau sampai tidak ketahuan begini.” Emak mengangguk. Telepon kembali berdering. Emak melarang ku mengangkatnyabahkan emak sampai melempar bantal ke arahku. “Mak, kok, marahnya padaku, sih? Aku ini kan, sedang berusaha melindungi
POV Kayla. “Tidak bisa, Mak, takut dimarah Suster dan Dokter,” jawabku. “Emak janji tidak akan melukai diri Emak lagi, Kay.” “Beneran, Mak?” tanyaku memastikan. “Iya, Kay, benar. Emak tidak akan melukai diri Emak sendiri.” Akhirnya kulepaskan ikatan tangan dan kaki emak. Aku memapahnya ke kursi roda dan membawanya ke ruangan di mana bapak mertuaku berada. Kabarnya semalam jam 19.45 WIB bapak sudah selesai operasi. Kemungkinan siang ini pun bapak sudah sadarkan diri. “Kay, ayo, buruan dorong kursi rodanya,” pinta emak. “Pelan-pelan saja, Mak, sambil lihat bunga-bunga itu yang bermekaran dengan begitu Emak jadi merasa bahagia,” jawabku. “Emak takut ketahuan suster dan dokter, Kay.” “Enggak usah takut, Mak. Mereka kerja di rumah sakit milik Emak harusnya mereka itu hormat pada Mak,” kataku mengompori. Sesampainya di ruang rawat bapak, emak langsung menangis histeris. Ya, elah, mati aja belum sudah ditangisi. “Mak, kenapa nangis, Bapak baik-baik saja itu lihat masih bernafas,
Happy reading everyone 💕 🌸🌸🌸 "Maaf ya, lama nunggunya?” kataku pada Susanti dan Mbak Wulan. Kami terlambat 5 menit. “Inggik pipi wijir kik pingintin biri, Pisti hibis rimintis-rimintisin,” jawab Susanti. Mbak Wulan menahan tawa mendengar ucapan Susanti. “Bukan begitu, San, tadi Mas Fais minta itu, emb!” Mulutku dibekap Mas Fais. “Eh, maaf ini istriku lagi oleng belum sarapan,” ucap Mas Fais seraya menggiringku masuk mobil. “Mas, apaan sih, aku susah napas tahu!” protesku. “Maaf, Sayang, aku takut kamu keceplosan akunya jadi malu,” ucap Mas Fais. “Keceplosan apaan?” tanyaku bingung. “Sudahlah tidak usah dibahas. Kita fokus ke titik masalah kita saja.” “Iya, Mas. Kalau boleh jujur sebenarnya aku lelah sekali ingin istirahat. Beberapa hari ini aku kurang istirahat ini ditambah lagi masalah Mas Fawas. Kapan ya, aku hidup tanpa masalah?” keluhku. Jujur ini pertama kalinya aku mengeluh dan ini pun pada suamiku sendiri. “Sabar ya, Sayang. Aku tahu bagaimana peliknya hidupmu
. “Sama, Mas pun begitu, Dinda, kasihan dengan mereka, tapi ya, mau gimana lagi. Mau tidak mau mereka harus terima dan menjalaninya karena kehidupan itu terus berlangsung apa pun keadaanya. Mereka akan jadi anak kuat jika ditempa berbagai ujian sejak dini.” “Iya, Mas, betul. Semoga kelak anak-anak kita bisa mendapatkan full kasih sayang ya, Mas, biar tidak kasihan seperti anak-anaknya Mas Fais.” “Iya, Dinda ... aamiin.” “Mas, waktu itu supirmu pernah cerita ke aku memang Mas Fawas pernah tanya sesuatu pada pak sopir, tapi karena sopirmu tidak tahu jawabannya Mas Fawas marah dan ditonjok. Itu di depanku loh, Mas. Satu lagi kalau tidak salah dengar Mas Fawas tidak mau dipanggil dengan sebutan Mas. Dia minta dipanggil dengan sebutan Tuan.” “Astaghfirullah ... iyakah, Dinda? Kenapa Pak sopir tidak bilang padaku, ya? Kamu juga kenapa tidak langsung cerita padaku?” “Waktu itu aku panik Mas, jadi ya, benar-benar lupa apalagi menjelang pernikahan kita yang serba dadakan.” “Sepertinya
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p