POV Fais. “Maksudnya gimana, Mas? Kan, memang lagi bahas pernikahan Fais. Bulek sama Fais ke sini bermaksud mengundang kita. Kalau pembahasan itu jadi bikin Mas Fawas merasa dicuekin ya, maaf. Sini mana yang sakit biar aku sembuhin,” sahut Wulan. Dia pun mengelus-elus dada Mas Fawas. “Sudah kubilang tidak ada yang sakit. Aku sakit hati, mendengar obrolan kalian semua. Apa kalian tidak tahu bahwa aku pun menginginkan Mbak Fatki! Aku ingin dia yang jadi istriku, aku ingin dia yang menjadi ibu untuk anak-anakku!” ucap Mas Fawas lantang sampai dadanya naik turun karena saking marahnya. Bude, pakde, Wulan saling berpandangan pasti mereka bingung dan juga tidak enak pada kami. “Maksudnya gimana sih, Mas? Jangan bercanda, deh!” tegur Wulan. “Aku tidak bercanda, Dik aku serius. Aku cinta dengan Mbak Fatki dan aku sudah katakan itu pada Fais. Aku mau Fais menjodohkan aku dengan dia, tapi yang ada lihatlah malah dia menikungku dari belakang! Dia mengambil apa yang aku sukai!” seru Mas Fawa
POV Fais. “Bukan, Nak, bukan begitu! Fais, sudah lebih dulu dengan wanita itu. Kamu tidak boleh melakukan ini. Bapak tidak suka.” “Suka atau tidak itulah kenyataannya, Pak! Dia sudah merebut wanitaku!” teriak Mas Fawas lagi. Mamah dan Bulek hanya bisa menangis menyaksikan kami begini. “Ck, sudahlah, Mas. Aku tahu yang sebenarnya bahkan dari Mas Fawas masih dengan Mbak Sintia, Fais itu sudah berniat menyunting Mbak Fatki. Jangan kekanak-kanakan, Mas. Malu tahu!” sahut Wulan. “Kamu tahu apa? Kamu itu adikku, harusnya yang kamu bela itu aku bukan Fais!” bentak Mas Fawas. “Jelaslah, aku bela yang benar. Kamu memang kakakku, tapi otakmu ini konslet. Kalau aku tahu isi surat itu permintaan bodoh seperti itu tentu saja aku tidak akan memberikannya pada Fais," ujar Wulan kesal. Dia meneguk jus jeruk di depannya sampai tandas. “Pantas saja, ya, selama ini aku perhatikan kamu selalu saja menghindari Fais. Semua kerjaan kamu limpahin ke Fais. Enggak tahunya masalah sebenarnya begini. Iih,
POV Fais. “Eh, iya, kah? Wah, selamat ya, Mbak. Maaf ini aku tidak tahu,” ucap Wulan, dia melirik tajam pada Mas Fawas. “Tidak apa-apa Mbak kalau tidak tahu mungkin memang belum diberi tahu.” “Ya, sudah kalau gitu Mbak Fatki. Aku masih ada kerjaan lagi. Sekali lagi aku minta maaf ya, Mbak. Assalamualaikum ....” “Wa’alaikumsalam.” Hening. Mas Fawas pun diam seribu bahasa lalu dia pergi ke kamarnya dengan membanting pintunya sangat kuat. “Ah, terserah saja. Lihat tuh, Bu, kelakuan anak Ibu. Kalau Ibu masih saja belain dia itu namanya zholim!” ucap Wulan pada bude. “Ibu hanya bingung, Nak,” jawab bude. “Maafkan aku ya, Mbak, tadi sudah marah-marah padamu,” ucap mamah. “Aku yang minta maaf, Dik. Aku akan nasihati Fawas. Aku kira selama ini dia diam karena memang menahan sakit atau rindu pada mendiang istrinya, ternyata dia memang memendam dendam pada Fais. Nak Fais, maafkan Budemu ini. Lusa Bude akan ikut melamar pujaan hatimu itu. Kamu atau Fawas yang menikah dengan Mbak Fatki
“Apa Dok, hasil positif? Bagaimana bisa? Sedang tiga bulan yang lalu hasil tes negatif!” protes Mas Nanang. Kami saat ini berada di ruangan dokter yang dulu memeriksaku. “Itulah kenyataannya, Pak. Mau atau tidak hasil lab ini akurat,” jawab dokter cantik di depanku masih dengan senyuman manisnya. “Ini pasti salah, Dok. Kita tes lagi!” pinta Mas Nanang. Dokter menggeleng tanda menolak protesnya Mas Nanang. Aku sudah menangis histeris. Otakku oleng. Aku tidak bisa lagi menahan kesedihanku. Terserah orang di luar sana mau menilaiku seperti apa karena bising mendengar teriakan tangisku. Aku marah, aku kecewa, aku sedih. Bagaimana bisa seperti ini? Mas Fais, kutatap dia yang diam seribu bahasa. Dia tidak seperti biasanya, jadi terkesan lebih dingin. Apa Mas Fais sekarang benci padaku? Ya, Allah, kenapa hidupku penuh duri begini? Tidak bisakah aku bahagia barang sebentar saja? Aku salah apa ya, Allah? Bukankah selama ini aku sudah berusaha menjadi manusia yang baik dan taat pada perin
“Kita hadapi bersama, Dik. Mas tahu kamu bersih. Jangan bersikap begini, Mas jadi makin sedih. Ayo, Dik, istighfar. Demi Ibu, demi Masmu ini. Kamu masih punya kita, Dik, jangan takut,” ucap Mas Nanang lagi. Perlahan namun pasti kutatap dokter di depanku ini. Beliau tersenyum lagi seraya menganggukkan kepalanya. “Mari duduk lagi. Saya akan jelaskan pada Ibu,” ucapnya. “Tidak perlu, Dok. Aku sudah tahu jawabannya. Jangan lagi dokter memberiku harapan palsu. Aku tidak sanggup lagi mendengarkan apa pun yang keluar dari mulut dokter,” tolakku. Kini aku tertawa sambil menangis. “Ya, Allah, Dik, eling! Istighfar!” bentak Mas Nanang seraya memukul-mukul pipiku.” “Aku sadar, Mas. Bahkan sangat sadar. Itu sebabnya aku tahu diri. Apa Mas juga mau berusaha membujukku seperti dokter ini? Memberi harapan palsu padaku? Cukup, Mas. Aku sudah tidak mau lagi dengar apa pun. Ayo, kita pergi, Mas. Aku tidak mau di sini!” ajakku pada Mas Nanang. “Iya, ayo, kita pergi, tapi dengan syarat dengarkan dul
“Bu, ya, Allah, untunglah tadi hanya mimpi,” ucapku. “Makanya kalau mau tidur baca doa dulu. Sudah jangan nangis lagi, malu kalau sampai terdengar orang lain,” jawab ibu. Aku mengiyakan. Mungkin aku terlalu stres jadi terbawa sampai ke alam mimpi. Jiwa lelahku seolah aku lepaskan saat mimpi tadi yang seperti sekali nyata. Mas Fais, pantas saja dia hanya diam seribu bahasa tak tahunya itu hanyalah mimpi. Semalam aku tidak bisa tidur sepertinya karena efek minum kopi dan juga deg-degan menyambut hari ini. Hari di mana Mas Fais berjanji akan datang membawa keluarganya untuk melamarku. Kulihat Susanti pun masih tidur pulas di sampingku. Anak ini jangankan kawan tidurnya teriak-teriak karena mimpi, hujan badai pun tidak akan terganggu. Untung ada ibu, meski tidur di luar masih dengar teriakanku. Insting seorang ibu memang tidak pernah salah. “Ibu, apa aku teriaknya terlalu kencang sampai Ibu dengar dan semalam ini bangunin aku?” tanyaku penasaran. Mataku masih sangat ngantuk. “Iya, I
Aku harus kuat mental menghadapi Bulian dari mereka semua. Aku tahu ini akan terjadi karena orang lain itu ya, memang bisanya mengomentari hidup orang lain tanpa tahu cerita sebenarnya. Ibu pun sebelumnya sudah memberitahu bahwa ini pasti akan terjadi dan mengingatkanku untuk tidak terpancing emosi. “Ya, jelas ini yang terakhir, Wik, masa kamu enggak tahu. Ini kan, calonnya orang kaya raya sayang jugalah kalau sampai tidak jadi lagi,” sahut Wak Ipon. “Eh, iyakah? Sekaya apa, sih? Palingan enggak lebih kaya dari Dokter Dafa anak si juragan. Kamu juga aneh sih, Fatki, enggak mau sama Dafa padahal dia itu kan, ngejar-ngejar kamu. Eh, tapi dia sudah nikah. Kamu tahu tidak? Pestanya besar-besaran dapat Bidan pula. Pokoknya mereka pasangan serasi. Bagus sih, enggak sama kamu tukang jahit, tapi dapat Bidan yang tentunya jauh lebih baik dari kamu,” sahut Bulek Wiwik lagi. Aku sejujurnya kaget sekali mendengar cerita dari beliau. Berarti Dokter Risa tidak jadi istrinya Mas Dafa. Lantas dia
“Sudah, San, jangan diladeni,” sahutku. Selesai makan aku mandi pakai rempah-rempah wewangian yang kubeli dari aplikasi online shop. Wanginya merelaksasi pikiranku, meski aku masih terpikirkan mimpi semalam. Aku tidak akan menceritakan mimpiku pada siapa pun. Itu mimpi buruk kalau aku ceritakan takut jadi kenyataan. Besok kalau aku sudah balik ke kota aku akan ajak Mas Nanang untuk pergi cek lab lagi. “Duh, cantiknya. Ini kebaya kapan Mbak belinya?” tanya Susanti. Saat aku mengenakan model kebaya melayu. “Ini kebaya Mbak waktu gadis, San. Enggak tahu sekarang ngetren lagi, makanya Mbak pakai lagi." Acara yang dinanti pun akhirnya datang juga. Tepat pukul 2 siang sesuai waktu yang dijanjikan Mas Fais rombongan keluarga besarnya datang. Ada beberapa mobil berjajar di halaman para tetangga. Mobil mewah milik keluarga Mas Fais. Ada juga truk pembawa peralatan rumah tangga yang langsung diturunkan dan di taruh di halaman rumah. Kulkas 2 pintu mirip lemari bajuku, sofa turki, kursi ja
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p