POV Fais. Kemudian ibunya Mbak Fatki menceritakan semuanya tentang Dafa yang datang ke ruko marah-marah, mengumpat dan juga sampai tega meludahi Mbak Fatki. Mendengarnya saja aku sangat geram. Andai aku di sana sudah hancur kepalanya olehku. âAku turut prihatin Mbak. Memang kita tidak bisa memaksakan semua orang suka dan bersikap baik dengan kita, tapi setidaknya kita sudah berusaha untuk jadi orang baik. Dokter Dafa begitu pasti karena dia sangat cinta dan benci jadi satu hingga tidak bisa mengontrol diri. Mbak Fatki, jika nanti masa idahmu telah usai. Maukah kamu menjadi istriku? Aku akan menjagamu sepenuh hatiku.â Entah dapat keberanian dari mana aku mengatakan ini di hadapan Mbak Fatki dan ibunya sekaligus. Mereka berdua saling berpandangan. Pasti mereka juga heran aku bisa senekat ini. Aku tidak mau keduluan orang lain dan aku tidak mau ada penghalang cintaku lagi. Mumpung tidak ada Zahra juga. Kalau ada dia pasti aku nanti dibulinya. Anak itu memang benar-benar meresahkan. Pi
POV Fais. âAku tahu, nih, pasti Fais minta cepat-cepat pulang, tapi enggak dibolehin sama dokter. Kenapa? Takut disuntik?â Seketika ruangan ini jadi ramai mereka semua menertawakan aku kecuali Mbak Fatki, dia hanya senyum saja. Ah, bikin aku makin gemes. âJadi, Ayah takut disuntik, Tan?â tanya Biru. Wulan mengangguk dengan bahagia. âPadahal enggak sakit,â ujar Biru lagi. âJadi, sudah boleh pulang kan, Mah?â tanyaku. âIya, boleh, nanti sore,â jawab mamah seraya merapikan rambutku. âAlhamdulillah ... jadi, jawabannya apa Mbak Fatki?â tanyaku lagi. Kini semuanya memandang ke arah Mbak Fatki. Dia terlihat tidak nyaman dan malu, pipinya merona lagi. âEmang, kamu, tanya apaan, Is?â Wulan kepo. âAku tanya sama Mbak Fatki, maukah menjadi istriku selepas masa iddah nanti?â âHah, gentle juga, kamu, Is. Apa jawabanmu, Mbak? Penasaran nih, mumpung ada kita semua di sini. Bolehlah kita semua jadi saksi cinta kalian. Kalau malu anggap saja tidak ada orang di sini. Anggap kami yang ada di s
đ¸đ¸đ¸ Hari ini aku diajak ibu jalan-jalan pagi. Udara di pedesaan sangat jauh sekali dengan di kota. Hamparan sawah yang hijau, bukit-bukit yang ditanami sayuran hijau, juga baunya yang sangat khas. Bau alam. Apalagi kalau pagi begini masih berkabut sungguh menambah syahdunya pagi hari membuat hati menjadi damai. Yaap. Aku ikut ibu pulang kampung setelah hampir 1 tahun lamanya aku tidak pulang kampung. Hari ini pun bertepatan dengan selesainya masa iddahku. Tidak ada yang sepesial hanya saja aku merasa sangat senang dan merasa sudah bebas beraktifitas. Ibu memang sengaja mengajak pulang kampung saat masa iddahku selesai agar aku bebas berkunjung ke rumah sanak saudara. Di sini masih sangat agamis sekali, jadi kalau mereka tahu aku masih dalam masa Iddah, tapi kelayapan ke mana-mana, maka akan ditegur. Sebenarnya memang tidak boleh kalau tidak ada urusan yang benar-benar urgent dan itu harus didampingi oleh mahramnya. Aku ke mana pun makanya tidak berani sendiri selalu dengan ibu
âBagus si, itu Mbak, namanya Mas Fais bukan lelaki gampangan. Dia mau jaga Mbak Fatki baik-baik. Coba kalau laki-laki lain di luaran sana. Pasti sudah tiap menit kirim pesan sayang-sayangan terus, apalagi tawarannya sudah diterima. Enggak beda jauh sih, sama Mas Fawas, dia tahu kan, kalau Mbak masa Iddah eeehh ... gencar melakukan pendekatan. Apaan kali, kalau dia mau nikung saudaranya sendiri itu namanya enggak gantle. Jahat, raja tega, dan egois,â terang Susanti. âKita duduk sini, yuk, San! Indah banget itu mataharinya. Aku jadi ingat Reni kalau di desa begini, San,â ajakku pada Santi. âDi sana masih di desa banget ya, Mbak?â âBanget, San. Listrik saja masih tempat-tempat penting saja yang pakai. Di sana lebih indah. Semoga saja Reni lahirannya lancar. Anaknya sehat tidak tertular sakit ibunya.â âAamiin ... sudah saatnya ya, Mbak?â âKemarin dia kirim pesan katanya sudah di rumah ibunya dan mau lahiran di sana. Lahiran SC sesuai instruksi dokter.â âNanti kalau Mbak nikah, Reni d
âDuh, mimpi apa aku, dapat WA dari pangeran ganteng!â teriak Susanti girang. âSiapa, San? Hayo, jangan pacar-pacaran ah, enggak suka Mbak.â âYee, kok gini pesannya. Huh!â Susanti memberikan ponselnya padaku. [Assalamualaikum Mbak Susanti, maaf ganggu waktunya. Apa Mbak Fatki sedang bersama kamu? Tolong bilang padanya untuk angkat teleponku.â Aku tersenyum membaca WA itu. Rupanya telepon barusan dari Mas Fais. Aku kira dari Mas Fawas, makanya aku malas jawab. âSenyum-senyum ... bilang terima kasih dulu sama aku, Mbak.â âTerima kasih Susanti, cantik.â Berdebar aku menunggu telepon dari Mas Fais. Duh, kok, jadi seperti abege gini, ya?â âBalas dulu, San. Iya, gitu?â titahku. âEh, iya, lupa aku, Mbak.â [Iya. Mas, eh, waâalaikumsalam ... ini Mbak Fatki ada di sampingku. Dia sedang berdebar-debar menunggu telepon dari kamu, Mas.] Jawab Susanti pakai Voicenot. Ih, dasar Susanti ini bikin malu aja. âSan, kamu ih, enggak gitu juga kali. Malu tahu!â âHalaaah jaim, tapi beneran kan, M
âOoh, gitu ... ya, nanti insya Allah aku sampaikan.â Aku seperti tidak puas saja mendengar jawaban Mas Fais. Kok, aku jadi terkesan berharap banget pembelaan dari dia. âMbak? Kok, diam?â âEm, iya, Mas. Ya, sudah ya, aku mau jalan pulang. Sudah siang. Sudah lumayan panas di sini.â âSebentar dulu, Mbak. Ada yang ingin aku sampaikan juga.â âApa, Mas?â âJadi, Mas Fawas melakukan itu memang bukan suatu kebetulan saja Mbak. Mas Fawas memang jatuh hati pada Mbak Fatki. Itu yang dia katakan padaku saat aku membuka surat darinya. Waktu aku sakit itu Mbak. Aku rasa Mbak Fatki ingat.â âOh, iya, Mas, aku ingat,â jawabku. Pantas saja waktu itu Mas Fais agak berbeda sikapnya ternyata hatinya sedang tidak nyaman. âItulah isi suratnya, Mbak. Dia meminta aku untuk menjodohkan Mbak Fatki dengannya. Aku dilema Mbak. Aku tidak bisa lakukan itu. Bagaimana bisa aku menjodohkan orang yang aku sayang dengan kakakku sendiri? Maka, dari itu aku seperti hilang arah, bingung harus berbuat apa. Maaf kalau s
âSusanti, kamu jahil banget, ya!â âLucu, kan, Mbak. Tahu enggak ini video sudah aku kirimkan ke Mas Fais. Tadi waktu kalian sedang teleponan.â âApa! Ya, Allah Susanti, kamu, ya! Mau kupecat kamu!â teriakku padanya yang sudah lari. Aku mau mengejar pun percuma. Dia gesit sekali sudah jauh di depanku sana. Pantas saja tadi Mas Fais terdengar sedang tertawa. Apa dia tadi tertawa saat lihat video itu, ya? Duh, malunya aku ketahuan kan, kalau aku senyum-senyum saat terima telepon dia. Tin-Tin! Tin! Ini mobil aneh sekali sih, perasaan aku sudah jalan minggir loh, kok, masih saja main klakson begitu. Apa baru bisa bawa mobil, ya?â Tin! Aku biarkan saja. Toh, aku sudah minggir. âHeh, kalau ada mobil lewat, kamu itu minggir bukan malah asyik main HP!â Bahuku di dorong sampai aku hampir terjungkal. HP-ku pun sampai jatuh. Astaghfirullah ... Risa? Kok, dia ada di sini? Bukankah dia di penjara? Aku kaget sekali ternyata orang yang marah-marah denganku ini adalah Risa. Dia sudah rapi deng
POV Fais. Selepas pulang dari kampus aku langsung meluncur ke rumah budeku. Hajjah Halimah. Aku harus bertemu dengan Mas Fawas. Dia harus benar-benar aku tegaskan. Cukup kesabaranku selama ini. Aku sudah berusaha untuk berdamai. Bagaimana tidak karena aku tidak mau mengabulkan permintaannya jadi segala pekerjaan dilimpahkan padaku. Selalu marah dan seolah aku selalu salah. Aku sudah berusaha sabar aku anggap itu semua bahwa perasaan hatinya sedang tidak enak dan tidak nyaman. Aku menganggap itu semua karena Mas Fawas baru sembuh dari sakit dan baru pulih dari kritis. Itu sebabnya tingkah dia makin aneh dan menjengkelkan. Klien kami saja sampai mengeluhkan sikapnya. Entah apa maksudnya Mas Fawas bersikap seperti itu toh kalau pun dia marah padaku harusnya dia bisa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa pun saat urusan pekerjaan. Masalah pribadi tidak bisa dibawa dalam pekerjaan. Padahal itulah yang selalu dia bilang padaku dulu. Makanya aku sekuat tenaga bersikap baik-baik saja.
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.âAbang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. âKamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!â usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu âkan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.âCepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!â usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.âLepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!â bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.âKamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!â Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.âDasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!â teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja âtoh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. âWah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!â kata Kak Siwi lagi. âKalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,â jawabku. Kak Siwi bengong.âDasar nggak waras! LAWANG!â umpat Kak Siwi.âKok, orang gila ngatain gila, sih!â kataku lagi.âDiam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!ââEnggak takut! Lakuin aja kalau bisa,â jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.âMak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. âHalo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,â sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.âEh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?â kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.âApa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!â protesku.âAku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!â jawabnya.âOh ... iya? Yakin?â jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.âAww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!â jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.âDuh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!â ucapku.âEmph! Emph!â Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.âKenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. âOo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!ââDokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!ââNamanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!ââAmit-amit naâuzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.ââSekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!ââIya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!ââPelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!ââIya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!ââIya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!ââJangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!ââPendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!ââMakanya itu harus belajar adab juga.ââDokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. âKurang ajar kamu, ya, Kayla!â Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.âAww! Sakit-sakit! Lepaskan!â teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.âMbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!â seru para suster.âRasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,â makiku pada Risa.âKamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!â Risa masih saja playing victim.âOoh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!â kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.âAww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!â teri
POV Kayla. âKayla, tolong panggil suster untuk membantuku!â pinta Bang Daffa.âMales, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!â tolakku sinis.âAstaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!â pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.âNah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!â seruku.âKayla, cepat bantu sini! Tolong ini!â pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.âApaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,â jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.âDasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. âPak, hei jangan mati dulu!â seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.âPaaakk!â Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.âPak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?âKulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p