Aku jelaskan pada semuanya yang ada di sini tentang kondisi Intan.Ibu pun setuju kalau aku menyusul ke rumah sakit. Aku dan ibu. Susanti tidak ikut dia, harus mulai mengerjakan jahitan kami.Klek! Mas Fais ke luar dari kamar mandi.Mata kami tertuju pada dia seorang. Kami semua tertawa terpingkal-pingkal, bahkan aku sampai keluar air mata melihat Mas Fais pakai kaos oblongku. Dia bukannya salah tingkah malah pede aja tanpa tersenyum ataupun bicara.“Eghem! Mbak Fatki, terima kasih sudah meminjamiku kaos ini.” Aku mengangguk seraya menahan tawa.“Ya, sudah kalau gitu, kami permisi pulang,” ujar Mas Fais lagi.“Eh ... pulang-pulang. Nanti dulu. Kita antar Mbak Fatki ke rumah sakit dulu. Adik iparnya katanya sakitnya bertambah parah, Mas,” ucap Zahra.“Intan, maksudnya?” tanya Mas Fais. Kami serempak mengangguk.“Baik, kalau gitu dengan senang hati.”“Kita salat dulu, Mas, sudah azan Zuhur tuh,” pinta Zahra.“Tapi, Mas Fais gimana? Pakai baju perempuan gitu?” tanyaku panik.“Tenang, Mba
Assalamu’alaikum selamat pagi semua ... Yuk, bantu follow akunku! 😍🌸🌸🌸POV Fais.Astaghfirullah!” seru Zahra saat mendapati mertuaku lebih tepatnya calon mantan mertua alias orang tua Risa sudah duduk manis di ruang keluarga.Di depan memang tidak ada mobilnya maka dari itu kami kaget ketika mendapati mereka sedang bersantai ria dan tertawa bersama mamah. Seolah tidak terjadi apa pun tadi siang.“Kamu kenapa, Zah? Kok, kaget gitu?” tanya mamah saat kami menyalami beliau.“Lihat set*n,” bisik Zahra dan aku terkekeh.“Di mana?” jawab mamah, ya, Allah, mamah percaya juga dengan ucapannya Zahra.“Di depan, Mamah,” bisik Zahra lagi.”“Astaghfirullah ... Zahra! Kalau ngomong hati-hati ah, enggak boleh gitu enggk baik!” bentak mamah. Zahara dan aku terkekeh lagi.Kemudian kami bergantian menyalami orang tua Risa.“Baru pulang kalian, Nak, seneng deh, Ibu, kalau lihat kakak adik gini akur banget. Saling sayang gitu,” ucap ibunya Risa.“Iya, seperti yang Ibu lihat,” jawab Zahra. Dia dudu
“Menuduh? Ck, Bapak dan Ibu jangan tutup mata dan pura-pura tidak tahu, deh! Memang begitulah kelakuan Mbak Risa. Mana ada istri Soleha biarin suaminya terkatu-katung tanpa kejelasan status padahal dikasih nafkah lahir tiap bulan. Apalah kurangnya Mamasku ini. Segala-galanya dia punya dan sudah bersikap baik selayaknya suami.” Zahra pun tidak tinggal diam suaranya melengking hingga suaminya menghampiri kami.“Sayang? Kamu sudah pulang, yuk, masuk!” ajak suami Zahra.“Iya, Mas, tunggu! Aku mau belain kakakku dulu. Pak, Buk, sudah cukup ya, selama ini kesabaran kami. Pokoknya aku tidak rela dan tidak ridho dunia akhirat atas perlakuan kalian terhadap kakakku,” ucap Zahra lagi. Lalu pamit masuk ke kamar.“Nak, apa itu benar?” tanya Mamah. Aku mengangguk.“Mah, aku tadi tidak sengaja mau bertamu ke rumah Mbak Fatki, itu karena Zahra yang mengajak dan ternyata feeling dia benar. Mamah mau tahu? Di sana orang tua Risa sedang memaki Mbak Fatki yang tidak-tidak. Padahal sudah ditegaskan berka
“Cemburu? Ya, itu dulu saat Risa mengakui bahwa dia jatuh cinta dengan laki-laki lain selain aku suaminya. Bapak bisa bayangkan sendiri bagaimana syok dan sakitnya hatiku waktu itu? Jika Bapak laki-laki bergelar suami yang punya rasa cinta pada istrinya pasti Bapak pun akan merasakan apa yang aku rasakan. Itu dulu, Pak. Sekarang tidak lagi, aku sudah membebaskan Risa. Aku sudah menemukan wanita lain yang aku cintai. Jangan salahkan aku karena aku hanya berusaha mengobati lukaku. Jika, Bapak tidak percaya dengan pengakuanku bisa ditanyakan sendiri pada Risa ataupun Sekar, ataupun Dafa. Dokter Dafa, itu kekasih Risa saat ini bahkan dari 4 tahun yang lalu. Bukankah dalam Islam agama kita, berpacaran sudah disebut zina? Zina dalam agama kita bukan hanya berhubungan badan layaknya suami istri? Ada zina tangan, zina mata, zina hati? Aku yakin Bapak lebih tahu tentang ini dari pada aku.”“Tenang, Nak, jaga emosimu,” ucap mamah seraya mengelus-ngelus dadaku.“Kita buktikan ya, Pak, aku akan t
“Segala sesuatu jika dipaksakan memang tidak baik, Pak. Kita sudahi semuanya. Besan tenang saja ikatan persaudaraan kita tetap terjalin, meski kita sudah tidak jadi besan lagi,” ucap Mamah.“Em, Pak, Bu, kalau Mbak Risa sudah tidak mau dengan Mas Fais ya, jangan dipaksa. Aku siap kok, jadi pengantinnya Mas Fais. Aku siap jadi pengganti Mbak Risa,” sahut Sekar.“Oo, Cah gendeng kamu! Ngomong opo, tho! Ra jelas!” sahut ibunya. Aku sendiri cukup terkejut dengan pengakuan Sekar. Apa dia selama ini bersikap baik padaku karena ada tujuannya?Mamah, ah, tatapannya padaku sulit diartikan. Mamah pun pasti terkejut sekali dengan keinginan Sekar.Sedang Zahra tertawa terbahak-bahak di ruang TV. Loh, apa dia nguping pembicaraan kami? Bukankah dia tadi pamit masuk kamar bersama suaminya? Anak itu enggak sopan ketawa sampai kedengaran sini.“Sekar! Jangan buat Bapak tambah pusing! Apaan kamu itu! Enggak jelas!”“A—ku beneran loh, Pak, aku mau jadi istrinya Mas Fais setelah nanti Mbak Risa resmi ber
“Bu, siapa yang datang, ya, sudah malam begini?” tanyaku pada ibu yang kebetulan ibu pun belum tidur. Saat ini sudah jam 11 malam aku dan ibu baru kembali dari rumah sakit tadi selepas isya karena harus menunggu Paman Tohir dan pakdenya Intan datang dari kantor polisi.“Ibu pun tidak tahu, jangan kamu buka dulu kita lihat siapa? Takutnya rombongan rentenir itu.”“Kita cek, dulu Mbak,” sahut Susanti.Bel di bawah tidak berhenti-henti takutnya memang benar-benar perampok. Aku sudah siap siaga dengan ponselku kalau sekiranya memang penjahat langsung telepon polisi.“Siapa?” tanya Susanti sedikit berteriak.“Reni!”“Reni, siapa?” tanyaku memastikan. Bisa jadi, kan, penjahatnya tahu orang-orang yang aku kenal.“Reni istri tercinta dan istri tersayangnya Mas Arman,” jawabnya lagi. Susanti cekikikan mendengar pengakuan Reni.“Ada apa ya, Mbak, dia malam-malam ke sini, takutnya bikin rusuh kita, loh?”“Entah, San, aku pun tidak tahu, kali aja memang penting. Kamu dengar kan, suara dia serak
“Bukan! Bukan cees. Ceritanya panjang, Fatki, kalau untuk saat ini aku tidak bisa cerita. Aku malu,” jawab Reni membingungkan.“Kalau kamu tidak mau jawab, ya, sudah tidak apa-apa, tapi kamu pergi dari sini. Pulang sana!” Usirku.“Jangan, Fatki. Jangan usir aku. Kalau bukan minta tolong sama kamu lantas sama siapa lagi.” Reni duduknya seperti tidak nyaman. Dia gelisah seperti duduk di atas bara tidak tenang sama sekali. Apa dia begitu takut diusir?“Makanya cepat katakan jangan banyak basa-basi. Aku tahu kamu manusia seperti apa, Ren. Oleh sebab itu aku tidak percaya lagi sama kamu,” jawabku kesal.“A—ku sakit, Fatki. Sakitku tidak bisa aku ceritakan pada siapa pun. Aku malu,” jawabnya ambigu.“Pergi! Pulang sana!” bentakku.Begitu dibentak Reni kembali menangis dia menatapku dalam-dalam dan tatapannya itu sendu. Mungkinkah kali ini Reni tidak sedang main-main atau mencoba mengelabuiku?“Tapi janji ya, kalian tidak akan menertawakanku?” Aku dan Susanti mengangguk.“Janji?”“Iya ... y
“Aku tidak bisa tenang, San. Aku rasanya tidak sanggup lagi. Kenapa aku selalu dalam posisi yang tidak menguntungkan. Salahku apa? Aku tidak bisa berbuat apa-apa andai benar tertular. Aku sudah putus asa, San.”“Mbak, ya, Allah ... istighfar, Mbak. Jangan menyerah begitu. Kita hadapi sama-sama," ujar Susanti.“Kamu besok harus cek lab, Ren. Biar tahu kamu sakit HIV-AIDS atau tidak,” saranku.“Tidak mau. Aku takut kalau hasilnya benar. Nanti aku gimana? Masa depanku gimana?” ujarnya lagi.“Masa depan kamu bilang? Sekarang pun kamu sudah tidak punya masa depan! Bukan hanya kamu! Aku pun terancam!” bentakku.“Tidak, pokoknya aku tidak mau cek lab. Aku mau nekat berobat tradisional saja,” jawab Reni bersikeras dengan pilihannya.“Kalau kamu enggak mau cek lab, malah makin parah nanti,” sahut Susanti.“Aku tidak punya uangnya lagi. Sudah habis tinggal 200 ribu rupiah dan ini akan aku pergunakan untuk ongkos pulang kampung.”“Kamu mau pulang kampung?” tanyaku.“Iya, aku ingin berobat di ka
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p