Dia sedang menjelaskan sesuatu yang ada di layar monitor karena aku seorang penjahit, jadi aku tidak paham. Suaranya lembut terdengar dari microphone. Aku memandang Mas Fais sekali lagi, lalu melihat dokter Risa, cantik dan gagah, mereka cocok sekali, tapi kenapa Mas Fais mau menikah lagi? Sungguh aku tidak paham.Dokter Risa, sekilas melihat arah kami sebentar. Pasti dia heran kenapa suaminya datang ke sini bersama dua orang asing.“Karena kalian sudah tahu siapa istriku, ayo, kita keluar! Kita tunggu di luar saja.”Tanpa membantah ucapan Mas Fais, kami bergegas mengikuti langkah kakinya keluar dari ruangan ini.Benar saja tak lama kemudian dokter Risa keluar menemui Mas Fais.“Mas ada apa ke sini?” tanya Dokter Risa. Sungguh di luar dugaanku, tadi suaranya begitu lembut dan juga enak didengar, tapi ini kok berbeda bahkan terkesan jutek.Menyapa Mas Fais dengan cara jutek dan seperti ogah-ogahan, padahal kan, mereka suami istri. Seharusnya ketika suami istri bertemu akan saling
“Aku dan Risa dua orang asing yang disatukan dalam sebuah pernikahan,” ucap Mas Fais lagi.“Memang Mas Fais enggak nolak?” tanyaku hati-hati.“Awalnya menolak, tapi, setelah tahu Risa aku jatuh hati padanya. Gadis sederhana dari keluarga biasa saja. Mereka masih kerabat jauh Mamah. Risa yang mempunyai cita-cita mulia. Maka, aku yakinkan padanya jika menikah denganku akan aku sekolahkan sesuai kemauan dia. Risa tetap menolak dia bilang tidak cinta padaku, tapi entah kenapa di bulan ke dua perkenalan kami tiba-tiba dia setuju dengan perjodohan itu akhirnya kami menikah. Kalian tahu apa yang terjadi pada pernikahan kami? Risa banyak menuntut ini dan itu, tapi karena aku pikir dia istriku yang wajib aku bahagiakan, maka aku penuhi semua permintaannya. Di tahun pertama pernikahan kami Alhamdulillah kami dikaruniai seorang bayi mungil yang cantik. Allah berkehendak lain, Risa yang masih labil tidak mau mengurus bayinya dan terus menerus menyalahkanku atas kehadiran bayi itu. Dia bilang bayi
Mas Fais tidak mau membuka hati pada wanita lain dan tulus pada Dokter Risa itu membuktikan bahwa di dunia masih ada laki-laki yang baik. Padahal kalau menurutku Mas Fais bisa mencari yang lebih dari dokter Risa pun bisa. Masa, iya, di kampus atau di perusahaan dia tidak ada wanita yang lebih menarik dari Dokter Risa.Hebat sih, bisa bertahan dengan situasi yang menurutku sangat membingungkan. Kalau bukan Mas Fais pasti tidak akan ada lagi. Harta berlimpah tinggal tunjuk wanita mana yang dia mau.Kalau itu Mas Arman, halah, pasti sudah selusin kali istrinya. Tidak mampu saja berani main serong tidak hanya dengan satu wanita saja apalagi kalau kaya raya. Astaghfirullah ... kenapa aku jadi mikirin Mas Arman gini. Membanding-bandingkan mereka berdua.“Mbak Fatki, proses perceraiannya sudah sampai mana?” tanya Mas Fais.Kalau ditanya soal perceraian hatiku kembali sakit. Seperti luka yang belum kering disiram lagi dengan air garam. Sakit sekali.“Sudah mau mediasi, lusa, Mas,” jawabku sek
“Iya, benar itu, Mas, kata Mbak Fatki, duluan saja enggak apa-apa, tapi bayar dulu. He he .. peace!” sahut Susanti seraya mengacungkan dua jarinya.“Iya, enggak apa-apa kita makan aja dulu, aku juga lapar sekali,” jawab Mas Fais.Saat Mas Fais sedang makan dan sepertinya sangat tergesa-gesa, ponselnya berdering.“Wa’alaikumsalam ....”“....”“Apa? Iya, Mah, nanti aku nyusul ke sana. Aku makan siang dulu, assalamualaikum ....”“Kalau buru-buru banget enggak apa-apa, Mas, duluan saja,” kataku lagi. Mas Fais seperti menimbang-nimbang lalu mengangguk.“Maaf ya, Mbak, aku duluan ini benar-benar urgent. Barusan Mamah kasih tahu kalau mantan calon istri Mas Fawas bikin ulah di rumah Bude Halimah,” ucap Mas Fais seraya mengelap mulutnya.“Ya, Allah, semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mantan calon istri Mas Fawas,” ucapku tulus.“kurang tahu juga, sih, Mbak, tapi kata Mamah dia mau nekat bunuh diri di rumah Mas Fawas."“Astaghfirullahl’adiim .... nekat banget sih, orangnya. Kok, bisa Kas
🌸🌸🌸“Sudah siap, Fatki?” tanya kakakku, Mas Nanang, saat aku menghampirinya.“Siap. Insya Allah!” tegasku.“Kalian hati-hati, ya? Nanang, jaga adikmu baik-baik, semoga Allah SWT melindungi kalian berdua dari marabahaya. Fii amanilah,” ucap ibu.“Aamiin ....” Kucium tangan ibu, lalu pamit berangkat.“Hati-hati ya, Mbak, aku nitip es dawet!” teriak Susanti. Aku melambaikan tangan pada mereka berdua.Ya, hari ini adalah mediasi pertamaku. Aku sangat bersemangat semoga berjalan lancar dan semuanya segera terselesaikan dengan baik tanpa ribet apalagi drama berkepanjangan.Jarak Pengadilan Agama Tanjung Karang dengan rukoku lumayan jauh, 30 menit perjalanan jika tidak macet. Itu sebabnya aku berangkat lebih pagi.Aku berboncengan dengan Mas Nanang. Dia selalu menguatkanku dan menyuruhku untuk berzikir sepanjang jalan.Sejujurnya, meski aku sangat bersemangat, tapi hatiku diselimuti rasa was-was dan juga takut. Mungkin karena ini adalah hal pertama yang sangat bersejarah dalam hidupku.P
“Makanya Arman, jadi laki-laki itu harus pandai bersyukur. Setidaknya jika kita belum bisa membahagiakan istri dengan berlimpah harta, kita tidak menyakiti hatinya apalagi sampai memberinya madu,” ujar Mas Nanang lagi.Mas Arman diam saja. Entah karena sudah kenyang atau memang karena tersinggung dengan ucapan Mas Nanang“Mas, kami duluan, ya? Tenang saja ini yang traktir Mas Nanang,” pamitku seraya membayar makanan kami di kasir.“Arman itu lucu ya, laki-laki model begitu kok, bisa-bisanya punya istri lebih dari satu. Lah wong, beli makanan untuk dirinya sendiri saja tidak mampu begitu,” ucap Mas Nanang.“Entah deh, Mas. Aku pun tidak paham. Makanya itu lebih baik aku mundur saja. Mas Nanang dukung aku, kan?”“Iya, dukunglah, kamu kan, adikku. Mas ini selalu mendukung apa pun yang akan kamu lakukan selagi itu untuk ke baikan.”“Terima kasih banyak, ya, Mas. Aku jadi terharu. Aku beruntung sekali dikasih kakak sebaik Mas Nanang.”“Hem ... beneran bersyukur?”“Iya, dong, Mas!"Tepat j
Setelah dirasa cukup karena setelah kami pun ada lagi yang mau mediasi. Kami diberi tahu bahwa 3 hari lagi mediasi ke dua akan dilakukan, kami ke luar ruangan.Mas Nanang menyambutku dengan senyuman khasnya.“Gimana lancar, Dik?” Aku mengangguk.Mas Arman lesu, dia lewat d depan kami begitu saja saja tanpa menyapa kami. Aku tahu pasti dia kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.“Apa dia bersikukuh tidak mau cerai, Dik? Jadi, lesu begitu dan tiba-tiba tidak kenal kita.”“Benar, Mas, dia memang tidak mau bercerai.”“Ya, sudah kita tunggu putusan hakim. Jika ini ini yang terbaik untuk kamu, pasti akan dimudahkan dan dilancarkan, tentunya kamu juga bisa lepas dari Arman.”“Aamiin, Mas. Semoga saja. Ya, sudah yuk, kita pulang! Aku masih banyak kerjaan. Jahitanku banyak banget, Mas. Nanti juga akan ada orang yang mau beli tanahku,” ajakku pada Mas Nanang.Sampaikan parkiran ternyata Mas Arman masih bengong sambil merokok. Aku tahu dia tidak siap dengan ini semua, tapi apalah daya dia? Kare
POV Risa.“Bagaimana, Beb, apa kamu sudah bicarakan semuanya dengan suamimu?” tanya Dafa padaku. Dia sedang mengantarkan aku belanja sekalian kami nonton. Rasanya sudah lama juga tidak jalan berdua. Kami sama-sama sibuk kerja.“Sudah, jangan khawatir itu, aku sudah bicara berkali-kali."“Kalau kamu tidak bisa bertindak tegas kita sudahi saja hubungan kita yang tidak sehat dan tidak jelas ini. Aku tidak bisa bermain-main lagi. Usiaku sudah matang. Orang tuaku sudah ingin sekali aku menikah apalagi mereka sudah semakin renta,” ucap Dafa lagi. Menyebalkan.“Mas, aku sedang proses perceraian. Aku pastikan jika tiba waktunya nanti aku dan kamu bersatu, statusku sudah jelas. Kemarin kata Sekar, Mas Fais sudah datang ke rumah meminta izin untuk menikah lagi pada ibuku. Ya, aku merasa sangat diuntungkan, proses perceraian semakin mudah.”“Benar begitu? Jangan hanya memberi angin surga saja. Aku mencintaimu tak peduli bagaimana latar belakangmu, tapi tolong segera selesaikan jika tidak maka a
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p