Sudah hampir sepuluh menit lamanya Marco dan Catherine menatap Arlene mengaduk-ngaduk spaghetti yang sudah dingin. Terlihat gadis bermata biru itu hanya diam seolah tak menyadari keberadaan mereka saat ini seakan tempat ini hanya ada dirinya saja. “Seharusnya aku tidak membuatkan makan siang untukmu, Arlene,” komentar Marco.“Kau tidak perlu mendengarkan perkataan Walt kemarin, dia memang seperti itu, Walt memang terlihat tidak suka pada orang baru tetapi semakin lama kau disini kau akan tahu jika Walt adalah pria yang lembut dan tidak seperti yang kau bayangkan, dia paling baik diantara kita semua setelah Maximiliam, mereka mempunyai hati malaikat.”“Itulah mengapa Josie terlihat lebih sering bersama Walt ketimbang dirimu, Cath…” sambung Marco.Arlene dengan pandangan lurus ke depan, menatap gedung tinggi tempat dimana dirinya bekerja sebagai seorang sekretaris CEO yang begitu cuek. Sejak pagi tadi, ia merasakan bahwa Liam tidak berbicara padanya membuat Arlene sedikit panik menginga
“Kau bilang hari ini kau memiliki urusan penting, lantas mengapa kau berada di perusahaan Liam?” Shelley memutar bola matanya malas seraya berkata. “Mom, pertemuanku pukul 2, sekarang waktu makan siang, aku ingin menemui Liam untuk makan bersama.”“Kabari jika kau sudah selesai makan siang.”Shelley memutuskan sambungan telepon itu lalu beralih mengambil tas dan paperbag berisi masakan yang sengaja ia bawa lebih untuk makan siang bersama Liam, prianya. Cukup lama Shelley berada di dalam mobil, ia pun segera keluar dan berjalan masuk ke dalam perusahaan tersebut. Sosok Shelley datang kesini sudah sering dan hampir seluruh karyawan tahu dirinya karena ayah tirinya bekerjasama dengan perusahaan ini jadi Liam tidak bisa menolak kedatangannya, itu terlihat menyenangkan. Angka terus naik hingga suara dentingan lift terdengar dan pintu terbuka, Shelley keluar dan tersenyum manis kepada dua resepsionis yang menyapanya.“Mr. Addison memiliki pertemuan penting di ruangannya, Miss. Court. Jadi m
“Hey! Apa yang kau lakukan?!”Arlene tersentak kaget dan hampir terjatuh saat Liam memaksa masuk ke dalam. Pria itu terdiam memperhatikan wajahnya dan ia segera memalingkan ke arah lain tetapi Liam lebih dulu menahan rahangnya agar ia menatap pria itu kembali. Netra birunya menangkap lebam di dekat mata dan bekas luka di bibir, Arlene langsung menjauhkan tangan Liam dari wajahnya. “Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau tahu apartmentku?”Tatapan Liam yang begitu intens membuat Arlene mencoba terlihat tenang dan mengangkat sedikit kepalanya agar menatap pria itu. “Aku terjatuh, jangan berpikiran aneh, sir. Jawab aku kenapa kau disini malam-malam? Pekerjaanku sudah selesai, jadi kau tidak perlu repot-repot datang kesini. Kau bisa menelponku.” “Aku ingin bicara.”Kedua alisnya terangkat ketika menyadari bossnya sedang menggendong bayi bermanik biru itu. Arlene mendekat dan mengambil Cassie dari gendongan Liam. “Apa dia baik-baik saja?” tanya Arlene khawatir sembari mengusap punggun
Sudah dua jam Arlene masih terus sibuk mengatur file, berkas-berkas dan juga mengatur ulang jadwal pertemuan penting yang harus ia berikan kepada Liam serta menjawab semua telepon yang tidak ada hentinya. Manik birunya melirik telepon yang berdering, kemudian menoleh ke ruangan Liam yang ternyata pelakunya adalah boss nya sendiri.Arlene menghembuskan napasnya sebelum menjawab telepon itu.“Yes, sir?”“Aku ingin kau bawakan bahan untuk rapat siang ini dan jadwalku.”Arlene terdiam. “Miss. Seyfried?” “Ah… aku sedang menyelesaikannya dan akan aku—”“Sedang menyelesaikannya? Kau bilang sedang?” Terdengar helaan napas dari sana. “Oke, buatkan kopi untukku dan bawa semuanya ke dalam, sekarang.”“Aku harus—” Lagi dan lagi, Arlene mengepalkan tangannya kuat kesal dengan sikap boss nya sendiri. Pria itu kembali mematikkan telepon sebelum Arlene selesai berbicara.Setelah Arlene mendapatkan dokumen itu, ia beranjak dari tempat seraya mengumpat dalam hati, mencaci dan memaki Liam dengan kasar.
Impian terbesar Arlene saat ini adalah memiliki keluarga yang lengkap. Menghabiskan waktu bersantai bersama keluarga di rumah, menonton televisi, makan malam bersama keluarga adalah sebuah impian yang tidak akan terjadi lagi. Tepat sore ini, Arlene berkunjung ke sebuah rumah sakit jiwa untuk mengunjungi Hunt Seyfried di sana bersama sepupunya, Kaia. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah sakit menuju resepsionis, mereka sudah mengenal Arlene dan Kaia karena mereka berdua sering datang kesini untuk menjenguk ayahnya.“Selamat datang, Miss. Seyfried...” sapa Mary, petugas rumah sakit jiwa itu.“Terima kasih, Mary.”Wanita itu adalah Mary, salah satu petugas di rumah sakit yang membantu ayahnya Arlene selama disini. Mary sangat membantu Arlene, wanita itu tidak pernah absen untuk memberitahu Arlene tentang kesehatan ayahnya bahkan Mary termasuk salah satu orang yang mengetahui kisah hidupnya selama beberapa tahun belakangan. Sejak saat itu, hubungannya dengan Mary begitu dekat ketika wanita
“Kanada, siapkan jet pribadiku, pukul 9.”Liam mengangguk singkat setelah mendapatkan jawaban dari seberang telepon. Besok ia akan pergi untuk perjalanan bisnis pagi hari, kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti mendengar suara bel penthouse berbunyi, ia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pikirnya siapa yang ingin bertamu di jam seperti ini? Liam membuka pintu itu, wajahnya berubah dingin seketika.“Nanti aku telpon lagi.” Liam memutuskan sambungan telepon itu dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.“Liam...”“Ada keperluan apa?”“Kau baru kembali dari perusahaan?”“Ada keperluan apa kau kesini?” tanya Liam lagi. Ia tidak menyukai orang yang basa-basi kepadanya dan gadis ini sekarang mencoba untuk terlihat akrab dengannya. Liam melirik alroji di lengan kirinya, jam sudah menunjukkan makan malam bahkan lewat satu jam.“Aku ingin meminta maaf apa yang telah aku perbuat kemarin, aku tidak tahu dan semua terjadi diluar pik
Arlene membuka matanya mendengar suara pintu terbuka. Ia menegakkan tubuh melihat Liam baru masuk ke dalam walk in closet untuk mengenakan pakaian. Manik birunya melihat punggung lebar itu kemudian berdehem pelan. Liam yang menyadari itu, menoleh melihat raut wajah Arlene yang tegang bahkan gadis itu memundurkan tubuhnya seraya menaikkan selimut. Liam bingung, ada yang salah dengan dirinya sampai gadis itu takut melihat Liam memakai pakaian? Liam mengambil jas dan segera memakainya. Kemudian ia melangkah keluar dari walk in closet mendekati ranjang untuk mengambil jam tangan yang ia letakkan di atas nakas semalam untuk mengecek keadaan Arlene saat gadis itu tertidur.“Kemana kau akan pergi?” tanyanya.“Kanada,” jawab Liam tanpa menatap Arlene seraya memakai jam.Arlene mengerutkan keningnya. “Kanada? Untuk apa kau—” ucapannya tertahan begitu mendengar suara tangisan Cassie. Arlene beranjak turun dari ranjang dan berjalan keluar menuju ke kamar Cassie. Perlahan ia membuka pintu kamar, m
Ontario, Kanada10:15 AM.“Americano satu,” ucap Arlene kemudian diangguki pelayan tersebut.“Kau tidak ingin seafood untuk makan siang?” tanya Liam penasaran.“Aku alergi.”Mereka sudah menghabiskan satu malam di hotel begitu sampai. Pagi ini, Liam menyesap kopi hitam kafetaria di Kanada. Ini kali pertamanya berada di tempat seperti ini bersama sekretaris dan Cassie karena banyak pasang mata melihat ke arah mereka tepatnya memperhatikan Liam, sejujurnya Liam tidak menyukai keramaian seperti ini, keberadaannya disini hanyalah paksaan dari Arlene karena gadis itu tak ingin makan di restoran hotel. Belakangan ini ia sedikit aneh dengan sikap gadis itu yang tiba-tiba berbicara lembut padanya setelah pesawat mendarat.Tanpa gadis itu sadari, sedari tadi Liam memperhatikannya dengan serius. Melihat dari cara Arlene membantu Liam untuk merawat Cassie, gadis itu sangat tulus merawatnya bahkan Cassie terlihat begitu nyaman ketika bersama Arlene ketimbang dirinya. Bahkan gadis itu melupakan sar
Jam sudah menunjukkan pukul hampir makan malam, Liam masih berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana untuk menunggu jam makan malam di yacht milik keluarga Addison setelah ia menidurkan putrinya di kamar Alexander, ia berdiri dimana tempat ini pertama kali ia melihat Arlene terjatuh dari kapal yang terparkir tepat di samping kapal pesiar miliknya dan kapal itu masih tetap disana disaat sang pemilik sudah berada di jeruji besi. Waktu terus berputar dan tepat hari ini, ia diberi sebuah kesempatan untuk berkumpul dengan semua sahabat juga keluarganya, termasuk keluarga baru Arlene. Kejadian itu sudah berlalu begitu cepat, mata Liam terus menelusuri setiap bagian-bagian penting itu. Ketika ia melompat ke dalam laut dan menarik tubuh Arlene ke dalam pelukannya lalu membawa tubuh itu ke yacht miliknya—jika malam itu ia tidak cepat menolong Arlene, mungkin saja gadis itu tidak bersamanya hingga detik ini. Rasanya begitu menyakitkan ketika mengingatnya, begitu sulit jika mencob
Beberapa bulan berlalu, ada begitu banyak hal yang telah terlewatkan dan juga banyak hal yang membuatnya sangat sibuk sejak hari kecelakaan itu. Liam dan rekan kerja sekaligus sahabatnya Walt terus mecoba agar semuanya berjalan dengan sangat mulus, ia harus memanggil dokter setiap bulannya, Arlene yang kembali trauma dengan kejadian masa lalu juga saat kecelakaan itu dan berita dukanya, Josie kehilangan bayi pertama mereka.Dan hari ini, tepat sore ini, Liam keluar dari mobilnya lalu melangkah masuk ke dalam mansion dengan setelan jas yang masih melekat di tubuh kekarnya baru saja pulang dari perusahaan. Kaki yang dilapisi sepatu pantofel itu mendorong pintu dan mendapati beberapa sahabatnya sedang menunggu di ruang billiard sambil meminum alcohol buatan Arlene. Ya, Arlene. Liam tersenyum tipis melihat gadis itu membuatkan beberapa gelas alcohol untuk Dave juga Mark yang duduk di konter. Liam mengedipkan sebelah matanya ketika sosok gadis yang ia pandang sejak tadi melihatnya begitu j
Hi, Maximiliam. Ini aku, Arlene. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah suatu kesalahan besar dan aku mengerti jika kau tidak bisa memaafkanku karena telah menutupi tentang siapa Cassie. Aku ingat ketika malam itu kau menatapku, aku pergi saat kau belum membuka matamu dan aku tak mengatakan apapun seperti yang kau katakan padaku ‘Something happened to us tonight, you can’t leave without saying any goodbye.’ Aku sangat mengingatnya. Aku tidak pernah melupakan bagaimana setiap kali kau menyentuhku malam itu, saat kau berbisik di telingaku, tidak akan pernah aku lupakan karena aku merasakan hal berbeda dari sebelumnya. Pagi itu aku terlalu takut untuk menatapmu setelah aku mengalami malam yang sangat buruk sebelum kita bertemu. Morgan, pria yang sangat aku benci kembali dalam keadaan mabuk, dia melakukan hal itu kembali padaku tetapi aku berhasil kabur dan menjatuhkan diriku dari kapal itu, berharap aku tidak lagi ada di hadapan semua orang termasuk ayah dan sepupuku tapi takdir
Arlene duduk di lantai menghadap tubuh Cassie yang berbaring di atas ranjang. Tangannya terangkat menyentuh hidung mancung itu dengan lembut, ia terus memandang sosok bayi perempuan yang terpejam dengan tenang di atas ranjang dengan pakaian tidurnya. Sudah dua jam sejak ia datang, Arlene terus berada di sisi Cassie, menidurinya, memberinya susu juga kecupan tidur siang untuknya. “Orang yang terikat takdir pasti akan bertemu kembali.” Arlene menoleh ke belakang, Walt bersandar di pintu dengan kedua tangan berada di saku celana. Pria itu mengenakan setelan jas kerja berwarna abu-abu, sejak kapan pria itu datang? Arlene kembali menghadap Cassie saat Walt masuk. Pria itu duduk di sisi ranjang, sampingnya. Jari telunjuk Walt terulur menyentuh tangan kecil Cassie, bayi itu menggenggamnya dalam satu genggaman erat. “Kau ingat perkataanku malam dimana kau melihatku pertama kali?” tanyanya. Arlene mengangguk. “Kau menuliskan nomormu di lenganku dan aku tidak menelponmu ta
7 Months AgoJosie melangkah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menghampiri Walt yang sedang membuat sarapan pagi untuk mereka. Senyuman cantik terlihat dari bibirnya lalu memeluk pria itu dari belakang dan mengecup bahu lebarnya—Walt tersenyum lalu menuangkan telur di atas piring setelah wanita itu melepaskan pelukan dan duduk di hadapannya.“Apa kau berangkat lebih pagi hari ini?” tanya Walt seraya melepaskan apronnya lalu duduk untuk sarapan.Josie mengangguk. “Hari ini aku ada meeting penting, bagaimana denganmu?”“Tidak ada.”“Apa Liam sudah menemukan gadis itu?”Walt menggeleng. “Sejak aku memberikan nomor telponku padanya, aku tidak pernah mendapatkan panggilan dari gadis itu. Josie, kau tahu, keadaannya pagi itu benar-benar kacau. Aku sangat menghawatirkannya.”“Kenapa kau tidak menahannya untuk berbicara?”“Aku melakukannya tapi gadis itu pergi lebih dulu. Aku tidak tahu seberapa banyak luka di tubuhnya, aku hanya melihat bekas luka di bagian kepala dan beberapa tanda—
Mark membulatkan kedua matanya melihat mobil menabrak pohon besar, ia langsung menghentikan mobil dan keluar. Asap mulai bermunculan dari mesin mobil, ia terdiam beberapa saat, tubuhnya membeku seketika saat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Mark menggeleng. “Oh, God! No, Arlene… Josie...” Mark melangkah mundur, ia segera membuka pintu mobil dan mengambil ponsel menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulance. “Damn it! Bisakah kalian datang lebih cepat?” tanya Mark. “She’s alive! Dia menatapku, dia berbicara,” kata Mark, ia melihat bibir Arlene terbuka, ia tak tahu apa yang gadis itu bicarakan. Mark menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar hingga matanya berair. Ia menjelaskan dimana titiknya berada kemudian memutuskan sambungan telepon itu—Mark melempar ponselnya ke dalam mobil kemudian berlari mendekati mobil dan membuka pintu melihat Arlene dan Josie sudah tidak sadarkan diri di dalam. Arlene sudah tidak sadarkan
Hari demi hari telah berlalu dan tepat mala mini baru saja menggelap beberapa jam yang lalu saat Liam datang ke mansion, tempat tinggal yang baru ia beli dengan pemandangan pohon-pohon di setiap sisi mansion—terlihat sepi, hanya ada beberapa mansion disini, dengan jarak yang jauh. Mansion ini sudah layak di tempati sejak lama hanya saja memerlukan beberapa perbaikan di taman.Arlene sudah membaik walaupun membutuhkan waktu untuk melihatnya pulih dari keterpurukannya setelah kematian Hunt. Marcia hanya datang sekali dan Shelley, gadis itu merawat Arlene seperti seorang kakak. Shelley menyesal, dia selalu meminta maaf padanya tapi Liam meminta gadis itu untuk melakukannya pada Arlene.Malam ini adalah hari surat itu, tepat malam natal, pukul delapan malam Liam berdiri di depan cermin besar mempelihatkan dirinya dengan setelan jas hitam, dua kancing kemeja yang dibiarkan terbuka di bagian atas agar tidak memperlihatkan kesan terlalu formal. Ia berbalik, membuk
Dad, rasanya seperti aku ingin hidup dalam mimpi saja. Aku melihatmu dalam mimpiku semalam, kau memberikanku rasa cinta yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Kau sembuh, kau tinggal, kau berada di sofamu, kau memandang kami—aku, Cassie dan Liam sedang duduk di lantai berada di rumah yang sangat layak, karena Liam, Liam yang membawa kami, merasakan rumah lagi. Liam adalah rumahku, rumah baruku, hidup baruku, mimpi indahku, yang membuat seakan masalaluku hilang begitu saja. Aku melihat kau dan Liam saling membalas senyum, aku juga tersenyum tapi tidak bertahan lama karena aku melihatmu memudar, aku melihatmu menghilang dalam pandanganku seakan tugasmu telah usai untuk merawatku, untuk menjagaku dan menemukan sosok pria lain yang akan mengisi kekosongan hidupku. Aku tahu aku sangat telat untuk hal ini. Dad, kau tahu? Liam melamarku, dia menginginkanku, dia ingin aku ada dalam sisa hidupnya, dia ingin menua denganku, tapi aku belum menjawabnya, aku takut, aku
Liam melangkah keluar dari ruang meeting bersama Jamie, sekretaris barunya. Ini adalah kali pertama Liam mendapatkan sekretaris pria karena sebelumnya selalu wanita—apa Arlene cemburu? Ia mengambil ponselnya di atas meja kerja, ada begitu banyak panggilan telepon dari Walt, Arlene, Kaia dan juga—Josie? Bahkan secara bersamaan? Ketika hendak menelpon Walt ia dikejutkan dengan seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk lebih dulu.Liam mengangkat kepalanya. “Apa kau tidak mempunyai sopan santun, Ms. Olivia?”Wanita itu tak mendengar ucapannya, ia menutup pintu ruangan dan berjalan cepat ke arahnya. “Apa yang kau—”“Oh God! akhirnya aku menemukan boss-ku. Mr. Addison. Maaf jika aku mengatakan ini padamu—”“Katakan apa yang terjadi?” potong Liam.“Mr. Whitman mengatakan padaku pagi tadi dia pulang lebih dulu karena Mr. Seyfried meninggal pukul 9:37 jadi beliau tak bisa b