Walt bersandar di kursi menatap layar komputer dengan begitu banyak pekerjaan yang berada di sana. Ia terdiam sejenak seraya memegang lehernya yang terasa berat lalu bangkit dari kursi dan bergegas keluar dari ruang kerja membawa beberapa berkas di tangan untuk ia berikan pada boss-nya, Maximiliam Addison. “Hey, Walt!”Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil, ia menoleh ke belakang, mendapati seorang wanita bermanik cokelat menghampirinya lengkap dengan senyuman cantik terlihat di bibir. Keningnya berkerut melihat pakaian wanita itu yang berbeda dengan apa yang dia pakai pagi tadi.“Ada apa denganmu?” tanya Walt penasaran.“Tidak ada, bersiaplah, kita akan pergi,” jawab Catherine membuat Walt kembali terdiam lalu manik cokelatnya melirik ke samping melihat ruang kerja milik Josie terlihat sepi seperti belum tersentuh oleh pemiliknya. Apakah Josie belum juga datang sejak pagi tadi? Bagaimana bisa? Sejak wanita itu bekerja di perusahaan ini, Josie tidak pernah seperti ini sebelum
“Railee! Apa kau sudah gila? Kenapa kau tidak mengatakan padaku lebih dulu?”Suara dentuman music dan teriakan terdengar begitu keras memekakkan telinga, kerlap-kerlip lampu disegala arah, aroma minuman alkohol dan asap rokok sudah menjadi satu paket di tempat berkumpulnya para peminum. Diantara semua itu, ada satu wanita berusia dua puluh empat tahun yang tidak berhenti berbicara sejak dua puluh menit yang lalu, siapa lagi kalau bukan sepupunya, Kaia Seyfried.Sudah biasa bagi Arlene mendengarkan kemurkaan sepupunya itu seperti saat ini ketika mereka sedang bekerja. “Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya,” ucap Arlene seraya memasukkan es batu ke dalam gelas tetapi Kaia merebut dengan cepat.“Ya, aku tahu, tapi kau tidak bisa mengambil keputusan bodoh, Railee.”Arlene tersenyum, mengambil kembali gelas itu dari tangan Kaia. “Kita bahas ini saat jam pulang, disini sangat ramai dan layani orang, okay?” Arlene melembutkan suaranya, menenangkan Kaia dari kemurkaannya seraya menuangka
Addison Corporation2:25 PM.Catherine mengerutkan keningnya saat mobil hitam yang ia duduki bersama Liam berhenti di depan perusahaan, ada seorang wanita berdiri di depan pintu masuk mencoba untuk masuk tetapi dua penjaga menahannya. Catherine memastikan kembali apa yang ia lihat tidak salah dan ternyata wanita itu kembali, sontak ia langsung memanggil Liam yang saat ini masih menatap laptop di pangkuannya.“Sir... aku rasa itu Josie.”Ucapan Catherine Dench membuat Liam menghentikan pekerjaannya, menoleh keluar kaca mobil. Ia melihat Josie, mantan sekretaris yang sudah ia pecat tiga bulan yang lalu kembali datang kembali.“Apa aku harus mengusirnya?” tanya Catherine.Liam menutup laptopnya lalu menegakkan tubuh seraya menggeleng singkat. “Tidak perlu,” jawab Liam seraya memasukkan laptop ke dalam tas kemudian keluar dari mobil setelah dibukakan pintu oleh supirnya.Catherine segera keluar mengikuti Liam, bersamaan dengan itu Josie menoleh ke belakang ketika dua penjaga itu menundukka
Senyumnya pudar ketika seorang pria bertubuh tegap membalikkan tubuhnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya bertemu langsung dengan manik biru laut itu.Arlene tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat ini, secara bersamaan ia juga terpesona dengan ketampanan pria itu. Setelan jas yang sangat pas di tubuh kekarnya dan ia baru menyadari betapa sempurnanya pria itu setelah tidak bertemu untuk waktu yang lama. Ia dan Kaia datang kesini dipaksa oleh pria itu karena awalnya Dave hanya meminta untuk foto koleksinya karena pria itu juga memotret Kaia tetapi beberapa lama kemudian, pria itu meminta Arlene dan Kaia untuk datang karena ada kejutan untuk dirinya yaitu Dave memajang fotonya di pameran, seharusnya malam ini ia ingin memarahi Dave karena telah memajang fotonya tetapi semuanya punah melihat sosok yang sudah ia janjikan untuk tidak akan bertemu lagi.Sudah satu tahun berlalu dimana kejadian yang benar-benar tak terduga, Arlene menyerahkan tubuhnya pada seorang pria
Tidak ada lumatan hanya kecupan, kedua mata Arlene terpejam karena takut, ia merasakan sengatan penyesalan malam ini—tidak seharusnya ia datang kesini, tapi takdir yang membuat Arlene bertemu dengan dua pria yang sudah tak ia temui selama satu tahun lebih secara bersamaan di tempat dan jam yang sama. Tidak ada balasan dari ciuman itu dan ia tak berharap jika Liam membalasnya. Rasa takutnya kembali muncul ketika kedua matanya menatap pemiik netra biru itu. “Berpura-pura lah menjadi kekasihku, hanya malam ini saja, aku janji—”Tubuhnya membeku, pria itu melumat bibirnya membuat kedua kakinya lemas saat pria itu menarik pinggangnya hingga tubuh mereka saling bertemu. Arlene terpejam membalas ciuman itu dengan lembut. “Brengsek!”Arlene tersentak kaget tiba-tiba ciuman itu terlepas, ia menutup mulut dengan mata yang membulat sempurna melihat Morgan langsung menghantam rahang Liam dengan keras hingga pria itu hampir saja tersungkur ke bawah jika tidak ada mobil lain disana. Tidak ada pemba
Mulutnya membisu, tubuhnya seakan lumpuh sementara di dalam ruangan temaram yang hanya dihiasi barang barang yang tertutup kain putih dan bau vanilla yang menjadi aroma kesukaannya sudah menjadi aroma yang sangat ia benci.Sesuatu yang bahkan membuatnya tidak tahu cara untuk mengeluarkan air mata lagi saat ini. Lelah, kedua manik birunya hanya bisa menatap langit langit kamar dan menyadari bahwa dirinya berada ditempat asing dan tubuhnya berkeringat. Menangis tanpa suara, satu alasan pasti, ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan dua orang yang sangat ia benci saat ini. Salah satu alasan mengapa dirinya berada ditempat ini adalah sepupunya, Kaia Seyfried. Tetapi dirinya terlalu bodoh untuk hal ini, yang ternyata hanyalah sebuah kebohongan yang dilakukan mereka demi bertemu dengannya. Dua orang terpaut usia yang jauh tetapi satu darah berada didalam dirinya dan satu kalimat yang selalu ia ingat saat mendengar suara berat dan serak itu adalah.“Let me be your nightmare every night.”Arle
“Selamat siang, Mr. Addison.”Arlene melangkah keluar dari lift seraya focus pada ponselnya dan tiba-tiba saja layar dimunculkan dengan telepon masuk. “Kenapa nomor ini selalu menelponku?” gumamnya seraya mematikan panggilan itu. Jam sudah menunjukkan waktu makan siang dan tentunya ia bebas siang ini karena Alexander Addison tidak ada sejak tiga jam yang lalu dan mendapatkan waktu istirahat lebih awal. Ia memasukkan ponsel ke saku rok lalu mendorong pintu kafetaria—Manik birunya melihat seorang wanita mengangkat tangannya tinggi. Arlene tersenyum seraya menyeret kakinya menghampiri meja itu dan duduk di hadapan wanita cantik.“Aku sudah memesankan makan siang untukmu.”“God, thanks, Catherine...” Catherine adalah orang pertama yang berteman dengannya sekaligus wanita yang mengajarkan bagaimana bekerja disini. Pertemuan mereka diawali ketika ia memasuki hari pertama bekerja, saat itu Catherine mengantarkan dirinya ke ruangan sekretaris atas permintaan Alexander.“Hari ini Mr. Alexander
Terdengar suara pintu apartment terbuka. Kaia menoleh, sepupu cantiknya baru saja pulang dengan raut wajah yang seharusnya tampak senang alih-alih terlihat cemberut membuat Kaia bingung. Melihat Arlene seperti itu, ia pun membawa jus jambu yang baru saja ia buat ke ruang tamu.“Hey, ada apa denganmu? Bukan seharusnya kau senang bekerja di perusahaan besar itu?” Kaia bertanya sembari meletakkan gelas berisi jus jambu di hadapan Arlene dan mengambil tempat duduk di samping gadis itu seraya mengangkaat kedua kakinyaa ke atas sofa sambil menyesap jus.Arlene menggeleng, ia meletakkan tasnya di atas meja kemudian bersandar seraya menatap langit-langit ruang tamu. Bekerja membuat dirinya sial, melakukan kebodohan yang sangat memalukan. Kaia menyandarkan lengan kirinya disofa seraya menyesap jusnya dan menatap sepupunya itu sedang melamun. Tidak biasanya gadis ini terdiam setelah pulang bekerja, biasanya gadis itu selalu mengoceh dan bercerita apa yang dia alami saat bekerja tapi sekarang? Di
Jam sudah menunjukkan pukul hampir makan malam, Liam masih berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana untuk menunggu jam makan malam di yacht milik keluarga Addison setelah ia menidurkan putrinya di kamar Alexander, ia berdiri dimana tempat ini pertama kali ia melihat Arlene terjatuh dari kapal yang terparkir tepat di samping kapal pesiar miliknya dan kapal itu masih tetap disana disaat sang pemilik sudah berada di jeruji besi. Waktu terus berputar dan tepat hari ini, ia diberi sebuah kesempatan untuk berkumpul dengan semua sahabat juga keluarganya, termasuk keluarga baru Arlene. Kejadian itu sudah berlalu begitu cepat, mata Liam terus menelusuri setiap bagian-bagian penting itu. Ketika ia melompat ke dalam laut dan menarik tubuh Arlene ke dalam pelukannya lalu membawa tubuh itu ke yacht miliknya—jika malam itu ia tidak cepat menolong Arlene, mungkin saja gadis itu tidak bersamanya hingga detik ini. Rasanya begitu menyakitkan ketika mengingatnya, begitu sulit jika mencob
Beberapa bulan berlalu, ada begitu banyak hal yang telah terlewatkan dan juga banyak hal yang membuatnya sangat sibuk sejak hari kecelakaan itu. Liam dan rekan kerja sekaligus sahabatnya Walt terus mecoba agar semuanya berjalan dengan sangat mulus, ia harus memanggil dokter setiap bulannya, Arlene yang kembali trauma dengan kejadian masa lalu juga saat kecelakaan itu dan berita dukanya, Josie kehilangan bayi pertama mereka.Dan hari ini, tepat sore ini, Liam keluar dari mobilnya lalu melangkah masuk ke dalam mansion dengan setelan jas yang masih melekat di tubuh kekarnya baru saja pulang dari perusahaan. Kaki yang dilapisi sepatu pantofel itu mendorong pintu dan mendapati beberapa sahabatnya sedang menunggu di ruang billiard sambil meminum alcohol buatan Arlene. Ya, Arlene. Liam tersenyum tipis melihat gadis itu membuatkan beberapa gelas alcohol untuk Dave juga Mark yang duduk di konter. Liam mengedipkan sebelah matanya ketika sosok gadis yang ia pandang sejak tadi melihatnya begitu j
Hi, Maximiliam. Ini aku, Arlene. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah suatu kesalahan besar dan aku mengerti jika kau tidak bisa memaafkanku karena telah menutupi tentang siapa Cassie. Aku ingat ketika malam itu kau menatapku, aku pergi saat kau belum membuka matamu dan aku tak mengatakan apapun seperti yang kau katakan padaku ‘Something happened to us tonight, you can’t leave without saying any goodbye.’ Aku sangat mengingatnya. Aku tidak pernah melupakan bagaimana setiap kali kau menyentuhku malam itu, saat kau berbisik di telingaku, tidak akan pernah aku lupakan karena aku merasakan hal berbeda dari sebelumnya. Pagi itu aku terlalu takut untuk menatapmu setelah aku mengalami malam yang sangat buruk sebelum kita bertemu. Morgan, pria yang sangat aku benci kembali dalam keadaan mabuk, dia melakukan hal itu kembali padaku tetapi aku berhasil kabur dan menjatuhkan diriku dari kapal itu, berharap aku tidak lagi ada di hadapan semua orang termasuk ayah dan sepupuku tapi takdir
Arlene duduk di lantai menghadap tubuh Cassie yang berbaring di atas ranjang. Tangannya terangkat menyentuh hidung mancung itu dengan lembut, ia terus memandang sosok bayi perempuan yang terpejam dengan tenang di atas ranjang dengan pakaian tidurnya. Sudah dua jam sejak ia datang, Arlene terus berada di sisi Cassie, menidurinya, memberinya susu juga kecupan tidur siang untuknya. “Orang yang terikat takdir pasti akan bertemu kembali.” Arlene menoleh ke belakang, Walt bersandar di pintu dengan kedua tangan berada di saku celana. Pria itu mengenakan setelan jas kerja berwarna abu-abu, sejak kapan pria itu datang? Arlene kembali menghadap Cassie saat Walt masuk. Pria itu duduk di sisi ranjang, sampingnya. Jari telunjuk Walt terulur menyentuh tangan kecil Cassie, bayi itu menggenggamnya dalam satu genggaman erat. “Kau ingat perkataanku malam dimana kau melihatku pertama kali?” tanyanya. Arlene mengangguk. “Kau menuliskan nomormu di lenganku dan aku tidak menelponmu ta
7 Months AgoJosie melangkah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menghampiri Walt yang sedang membuat sarapan pagi untuk mereka. Senyuman cantik terlihat dari bibirnya lalu memeluk pria itu dari belakang dan mengecup bahu lebarnya—Walt tersenyum lalu menuangkan telur di atas piring setelah wanita itu melepaskan pelukan dan duduk di hadapannya.“Apa kau berangkat lebih pagi hari ini?” tanya Walt seraya melepaskan apronnya lalu duduk untuk sarapan.Josie mengangguk. “Hari ini aku ada meeting penting, bagaimana denganmu?”“Tidak ada.”“Apa Liam sudah menemukan gadis itu?”Walt menggeleng. “Sejak aku memberikan nomor telponku padanya, aku tidak pernah mendapatkan panggilan dari gadis itu. Josie, kau tahu, keadaannya pagi itu benar-benar kacau. Aku sangat menghawatirkannya.”“Kenapa kau tidak menahannya untuk berbicara?”“Aku melakukannya tapi gadis itu pergi lebih dulu. Aku tidak tahu seberapa banyak luka di tubuhnya, aku hanya melihat bekas luka di bagian kepala dan beberapa tanda—
Mark membulatkan kedua matanya melihat mobil menabrak pohon besar, ia langsung menghentikan mobil dan keluar. Asap mulai bermunculan dari mesin mobil, ia terdiam beberapa saat, tubuhnya membeku seketika saat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Mark menggeleng. “Oh, God! No, Arlene… Josie...” Mark melangkah mundur, ia segera membuka pintu mobil dan mengambil ponsel menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulance. “Damn it! Bisakah kalian datang lebih cepat?” tanya Mark. “She’s alive! Dia menatapku, dia berbicara,” kata Mark, ia melihat bibir Arlene terbuka, ia tak tahu apa yang gadis itu bicarakan. Mark menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar hingga matanya berair. Ia menjelaskan dimana titiknya berada kemudian memutuskan sambungan telepon itu—Mark melempar ponselnya ke dalam mobil kemudian berlari mendekati mobil dan membuka pintu melihat Arlene dan Josie sudah tidak sadarkan diri di dalam. Arlene sudah tidak sadarkan
Hari demi hari telah berlalu dan tepat mala mini baru saja menggelap beberapa jam yang lalu saat Liam datang ke mansion, tempat tinggal yang baru ia beli dengan pemandangan pohon-pohon di setiap sisi mansion—terlihat sepi, hanya ada beberapa mansion disini, dengan jarak yang jauh. Mansion ini sudah layak di tempati sejak lama hanya saja memerlukan beberapa perbaikan di taman.Arlene sudah membaik walaupun membutuhkan waktu untuk melihatnya pulih dari keterpurukannya setelah kematian Hunt. Marcia hanya datang sekali dan Shelley, gadis itu merawat Arlene seperti seorang kakak. Shelley menyesal, dia selalu meminta maaf padanya tapi Liam meminta gadis itu untuk melakukannya pada Arlene.Malam ini adalah hari surat itu, tepat malam natal, pukul delapan malam Liam berdiri di depan cermin besar mempelihatkan dirinya dengan setelan jas hitam, dua kancing kemeja yang dibiarkan terbuka di bagian atas agar tidak memperlihatkan kesan terlalu formal. Ia berbalik, membuk
Dad, rasanya seperti aku ingin hidup dalam mimpi saja. Aku melihatmu dalam mimpiku semalam, kau memberikanku rasa cinta yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Kau sembuh, kau tinggal, kau berada di sofamu, kau memandang kami—aku, Cassie dan Liam sedang duduk di lantai berada di rumah yang sangat layak, karena Liam, Liam yang membawa kami, merasakan rumah lagi. Liam adalah rumahku, rumah baruku, hidup baruku, mimpi indahku, yang membuat seakan masalaluku hilang begitu saja. Aku melihat kau dan Liam saling membalas senyum, aku juga tersenyum tapi tidak bertahan lama karena aku melihatmu memudar, aku melihatmu menghilang dalam pandanganku seakan tugasmu telah usai untuk merawatku, untuk menjagaku dan menemukan sosok pria lain yang akan mengisi kekosongan hidupku. Aku tahu aku sangat telat untuk hal ini. Dad, kau tahu? Liam melamarku, dia menginginkanku, dia ingin aku ada dalam sisa hidupnya, dia ingin menua denganku, tapi aku belum menjawabnya, aku takut, aku
Liam melangkah keluar dari ruang meeting bersama Jamie, sekretaris barunya. Ini adalah kali pertama Liam mendapatkan sekretaris pria karena sebelumnya selalu wanita—apa Arlene cemburu? Ia mengambil ponselnya di atas meja kerja, ada begitu banyak panggilan telepon dari Walt, Arlene, Kaia dan juga—Josie? Bahkan secara bersamaan? Ketika hendak menelpon Walt ia dikejutkan dengan seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk lebih dulu.Liam mengangkat kepalanya. “Apa kau tidak mempunyai sopan santun, Ms. Olivia?”Wanita itu tak mendengar ucapannya, ia menutup pintu ruangan dan berjalan cepat ke arahnya. “Apa yang kau—”“Oh God! akhirnya aku menemukan boss-ku. Mr. Addison. Maaf jika aku mengatakan ini padamu—”“Katakan apa yang terjadi?” potong Liam.“Mr. Whitman mengatakan padaku pagi tadi dia pulang lebih dulu karena Mr. Seyfried meninggal pukul 9:37 jadi beliau tak bisa b