Eden paham betul apa keinginan Anna sehingga gadis itu tak akan menolak. Eden mengajak Anna ke sebuah bar yang terkenal di kota. Suasananya tenang dan damai. Perpaduan musik klasik dan cahaya temaram semakin menambah sendu suasana di dalam bar. Cocok sekali bagi siapapun yang ingin melepaskan stress di sana. Bebas dari hiruk pikuk atau musik yang memekakkan telinga. Anna mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut bar. Dia langsung suka sama seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu pertama kalinya dia mengungjungi tempat seperti itu.Mereka duduk berdampingan dengan kedua gelas minuman beralkohol sudah tersaji di depan mereka. Tak lupa juga mereka mengambil foto sebelum minum. Tersenyum layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Kemudian mereka memeriksa hasil foto yang baru saja diambil oleh Eden. “Hei! Aku terlihat aneh di sini. Ambil yang benar. Sekali lagi,” pinta Anna. Dia tampak lebih antusias dibandingkan Eden. “Tidak, kau keli
Untuk kedua kalinya Anna dibuat membeku tak mampu berkutik karena jawaban Eden. Namun dia segera menyangkal, menolak untuk percaya. “Hei! Mana ada, ada ada saja, sepertinya kau yang mabuk.” “Aku serius dan aku tidak mabuk.” Eden mengangkat gelasnya yang masih berisi soda. “Eh, atau aku yang mabuk ya,” kata Anna mengalihkan pandangan. Deru nafasnya tak karuan setelah mengetahui bahwa Eden serius. Aliran darahnya seolah berpacu cepat ke jantung. Membuat Anna bisa mendengar detak jantungnya sendiri. “Kau sudah mau pulang?” Eden meraih lengan Anna dengan cepat, menghentikan Anna yang spontan berdiri. “Toilet, aku mau ke toilet sebentar.” Perlahan Eden melepaskan lengan Anna. Membiarkan gadis itu melenggang ke arah kemar mandi. Eden memperhatikan Anna dari belakang. Hampir saja dia berlari secepat kilat saat Anna tak sengaja menabrak kursi di meja sebelah. Anna dengan capat bilang kalau dia baik-baik saja dan mempercep
Semenjak pagi perut Anna terasa tidak enak, dia merasa mules. Dia sudah berulang kali bolak-balik kamar mandi. Bahkan kini perutnya terasa tegang. “Kau tak apa?” Sherin mengetuk pintu kamar mandi. Dia sudah bersiap untuk berangkat bekerja. Lebih tepatnya dia ingin pergi berbelanja. Tapi urung dilakukannya setelah melihat Anna yang bolak balik kamar mandi. “Hm.. Aku..baik..baik saja. Kau pergi saja..” Anna berusaha keras menjawab pertanyaan Sherin. “Kau yakin baik-baik saja?” “Hm. Sepertinya aku salah makan semalam,” “Baiklah. Kalau begitu aku berangkat dulu ya, aku meletakkan obat sakit perut di atas meja. Jangan lupa diminum.” Anna bisa mendengar pintu ditutup dari luar. Dia masih betah duduk di kamar mandi dengan kedua tangan yang menangkup perutnya. Dengan begitu rasa sakit di perutnya menjadi berkurang walau hanya sedikit. Dia mencoba mengingat-ngingat apa yang dimakannya semalam. Ya. Hanya minuman itu. Sepert
“Aku tidak mau.” Eden memaksa Anna turun dari mobil. Mereka tiba di depan restoran bergaya prancis tak jauh dari kantor Eden. Sebelumnya Eden sudah menjelaskan kalau akan ada acara penting, pertemuan antara pimpinan perusahaan keluarga Eden di restoran itu. Dan tentu saja Nyonya Arini turut hadir. “Sekali ini saja. Aku mohon sekali ini saja. Aku akan memastikan kalau ini adalah yang terakhir kalinya aku meminta padamu seperti ini.” Eden meminta dengan putus asa mengabaikan Anna yang asik bersiteru dengan ketegangan di perutnya. Namun cara Eden yang memohon padanya selalu berhasil menarik perhatian gadis berpotongan rambut pendek itu. Akhirnya dia berhasil menarik tangan Anna keluar dari mobil. Hingga mereka tiba di bibir tangga hendak menaiki dua buah anak tangga menuju teras restoran. Anna berusaha menepis tangan Eden. “Berhentilah merusak acara ibumu. Kau bahkan tak tahu apa yang terjadi hari ini…” Astaga! Anna terdiam seje
Akhirnya Anna bisa bernafas lega. Segala bebannya terlepas seolah dia tak lagi punya masalah di dunia ini. Sebelah tangannya menyentuh perutnya. Hampir saja terjadi bencana buruk jika dia tak segera ke kamar mandi. Anna berkaca sebentar sambil mencuci tangan lalu berjalan ke arah pintu. Gerak tangan Anna yang hendak memutar kenop pintu terhenti. Dia mendengar percakapan antara Eden dan Kevin di balik pintu. Anna melepaskan gagang pintu dengan pelan lalu menempelkan telinga ke pintu, dia menguping. “Apa?” Eden terkekeh ringan, kemudian melepaskan tangannya dari kerah baju Kevin. “Dasar tak tahu malu. Kau masih bisa bicara seperti itu? Kau pikir kenapa Anna tak mau keluar dari kamar mandi dari tadi, huh? Itu karena kau berdiri di sini semejak tadi.” Eden mendorong bahu Kevin dengan ujung jari telunjuknya. Kevin mendengus. “Jangan berlagak seolah kau itu pahlawan. Kau belum tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” “Tutup mulutmu. Kau pikir dia sama den
“Apa katamu? Aku?” Sebelah alis Eden terangkat. Dia mencerna tuduhan Anna padanya. Deru nafasnya mulai tak teratur mengikuti Anna yang mulai terisak. “Ya. Aku langsung berlari ketika kau menelepon, aku langsung datang jika kau menyuruhku datang, Aku melakukan semua yang kau suruh tanpa membantah. Ya Benar. Aku yang membuatmu menjadi pria brengsek bukan? Maka dari itu, mulai sekarang aku juga harus mencampakkanmu juga bukan? Karena kau pria brengsek yang tak jauh berbeda dari mereka. Bahkan kaulah yang paling buruk.” Eden mendengus. Dia berusaha menahan emosinya agar tidak meledak di hadapan gadis yang sudah berhasil menyelinap masuk ke hatinya bahkan tanpa gadis itu sadari. Nada bicara Eden masih teratur dan terdengar tenang. “Kau sudah selesai bicara? Orang-orang akan berpikiran kalau kita sepasang kekasih sungguhan yang sedang bertengkar.” “Kau bahkan menyeretku ke dalam perseturanmu dan ibumu. Aku sudah cukup lelah terus berbohong seperti ini. Ma
Eden hanya bisa menatap punggung Anna saat berjalan menjauh. Ingin hatinya untuk segera berlari untuk mengejar gadis itu, namun langkah kakinya terasa berat. Ada perasaan semacam tak pantas yang terbersit di hatinya saat itu. Setelah semua yang telah dilakukannya pada Anna. Anna belum mabuk saat meninggalkan meja, Eden hanya berharap kekhawatirannya akan sia-sia karena Anna pasti bisa pulang dengan selamat. Toh tempat mereka minum tidak jauh dari apartemen milik Anna. Botol terakhir telah kosong. Kepalanya mulai terasa berat. Namun dia merasa masih belum mabuk. Eden ingin sekali mabuk setidaknya beban pikirannya akan hilang walau hanya semalam. Eden meninggalkan beberapa lembar uang kertas di meja lantas mulai berjalan gontai keluar. Pijakannya tidak pasti dan sedikit terhuyung huyung, tapi badannya masih bisa berdiri dan berjalan menuju minimarket terdekat. Salah seorang pelayan toko memberinya sebotol obat pengar agar dirinya bisa sege
Anna menoleh. Sepasang matanya memindai penampilan Eden yang begitu kacaud an berantakan. Malam itu pertama kalinya Anna melihat sisi itu dari Eden. Seberapa kacau pikirannya sampai seperti ini, pikir Anna dalam hati. Dia kembali menatap Eden yang berbaring dengan mata terpejam.Anna mengambil selimut hendak menutupi tubuh Eden. Namun gerak tangannya terhenti ketika suara serak Eden mengatakan sesuatu dengan pelan. “Aku merasa bersalah.” Eden bergumam pelan. “Maafkan aku,” lanjutnya lagi. “Untuk apa?” Anna duduk di lantai, di sisi sofa tempat Eden berbaring. Dia membiarkan tangan Eden yang memegang ujung lengan bajunya. “Semuanya.” Eden menghela nafas. “Aku benar-benar minta maaf.” Anna melepaskan tangan Eden. “Aku tidak bisa menerima permintaan maafmu.” Anna malah menjawab perkataan Eden dengan tenang. Bukannya karena kesal atau marah pada pria itu, tapi karena Anna juga merasa bersalah pada Eden. Hanya saja dia tidak menampakkannya sam
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”
Langkah kaki Anna terasa berat namun badannya enggan untuk berbalik. Ada perasaan takut yang bersarang di dalam hati kecilnya. Bercampur dengan rasa marah yang hendak meledak kapan saja jika menatap wajah pria yang masih setiap berdiri di belakangnya itu. Namun gadis yang mengenakan skirt itu terlonjak kaget saat pria paruh baya itu sudah tiba dihadapannya. Pupilnya bergetar tapi masih belum berani menatap wajah pria itu. “Maaf kau salah orang,” katanya pelan hendak pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal banyak hal yang ingin dikatakannya. “Tidak.” Jawaban pria itu kembali berhasil menghentikan langkahnya. “Kau putriku, Anna,” panggil pria itu lagi. Tanpa sadar air mata Anna sudah menetes membasahi pipi. Sebenarnya dia tak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkannya dan juga ibunya. Dia tak ingin lagi berurusan dengan orang tak bertanggung jawab ini. Tapi demi Eden dan juga keluargany
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil