Nayla memilih dress selutut berwarna putih dengan hiasan renda-renda di bagian dada sebagai outfit-nya pagi itu. Setelah berpakaian rapi, ia pun duduk di depan meja rias dan mulai memoles wajahnya. Ia ingin terlihat cantik di depan Revan. Terakhir, ia menyisir rambutnya yang panjang dan bergelombang. Dulu Revan paling suka melihatnya dengan rambut terurai.
“Kamu mau ke mana, Nay?” tanya Pak Hasan saat melihat putrinya keluar kamar dengan memakai pakaian rapi dan mencangklong sling bag di pundaknya.
Kebetulan Pak Hasan tengah duduk di sofa ruang keluarga sambil membaca koran pagi. Di atas meja yang ada di hadapannya, terdapat secangkir kopi hitam yang masih mengepul dan sepiring pisang goreng sebagai pendampingnya.
“Emh ... Nayla ... Nayla mau ke taman, Ayah. Mau mencari udara segar,” sahut Nayla dengan sedikit gugup. Untung saja otaknya cepat menemukan jawaban yang masuk akal untuk merespon pertanyaan ayahnya. Mudah-mudahan beliau t
Pesawat Citilink Indonesia yang dinaiki Abyan dan Airin, mendarat dengan sukses di Bandara Internasional Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada pukul 8.10 pagi. Abyan sengaja memilih penerbangan pukul 07.00 dari Jakarta karena ia ingin segera bertemu dengan Nayla, wanita yang telah menghantui pikirannya sepanjang malam. Ia bahkan tidak bisa terlelap barang semenit saja.Setelah melakukan check-out dan mengambil bagasi, mereka pun segera keluar dan menaiki taksi yang telah Abyan pesan melalui mesin Kios-K Reservasi, yaitu mesin pemesanan taksi yang bisa dilakukan penumpang secara mandiri untuk berbagai tujuan di Yogyakarta.Untung saja pagi itu jalanan Kota Gudeg tidak begitu padat, sehingga dalam waktu setengah jam saja, taksi mereka sudah sampai di depan rumah Bu Saida dan Pak Hasan.Saat melihat taksi yang berhenti di depan rumahnya, Pak Hasan pun melipat koran yang tengah ia baca, lalu meletakkannya di atas meja. Pria paruh baya itu bangkit dari sofa dan berjalan ter
“Hadirmu laksana air hujan yang jatuh di atas tanah kering. Menghapuskan dahaga dan memberiku kesejukan ....”-Nayla Arinza-***Akhirnya setelah sekian purnama, aku bisa merasakan kembali hangatnya pelukanmu, Van. Pelukan yang nyaman dan amat menenangkan.Dengan ragu Nayla mengangkat kedua belah tangannya, lantas melingkarkannya ke pinggang Revan. Laki-laki yang hingga detik ini masih sangat ia cintai dengan segenap jiwa.Revan pun mendaratkan kecupan lembutnya di kening Nayla. Ia tidak peduli kalau wanita dalam dekapannya itu masih berstatus milik orang lain. Perasaan yang bergemuruh di dalam dada, mampu mengalahkan segalanya.Lima menit berlalu. Tangis Nayla pun mulai mereda. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Revan, lalu mendongakkan kepala. Menatap raut tampan yang terpampang di depan mata. Begitu pula dengan Revan. Manik gelapnya menyapu setiap inci wajah cantik di hadapannya.Ketika sepasang netra saling bertauta
“Baru saja benih-benih kebahagiaan itu tumbuh dan bersemi kembali dalam dada. Namun, begitu menapakkan kaki di rumah, kenyataan seolah menamparku dan membuatku sadar ... bahwa aku adalah seorang ibu. Bahwa aku adalah wanita yang masih terikat.”-Nayla Arinza-***Nayla bergegas menyeberangi jalan raya saat lampu lalu lintas menyala merah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah cepat menuju Resto Ayam Kampung milik kedua orang tuanya. Rasa lapar mulai menggelitik perutnya. Nasi gudeg buatan ibunya pun sudah terbayang di pelupuk mata. Betapa ia ingin segera menyantapnya.“Assalamu’alaikum,” ucap wanita itu begitu menginjakkan kaki di restoran. Senyuman indah terulas di bibirnya yang bergincu merah muda. Memancarkan aura kebahagiaan, layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta.“Wa’alaikumussalam.” Semua orang yang ada di dalam pun menjawab salamnya dan menoleh ke arah pintu masuk.
Deg! Jantung Nayla kembali berdesir. Matanya terbelalak seketika. Ia sontak menghentikan langkahnya dan memutar badan.Dilihatnya kelopak mata Abyan masih tertutup sempurna. Dengkuran halus pun masih terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Nayla menghela napas lega. Rupanya pria itu baru saja mengigau seperti yang biasa dilakukannya.Tapi tunggu dulu! Apa dia tadi menyebut namaku? Bukan nama Mbak Aleya? Atau aku yang salah dengar?Nayla tampak berpikir. Karena penasaran, ia pun berjalan mendekati Abyan. Berharap agar pria itu mengigau sekali lagi untuk memastikan nama siapa yang disebutnya.Dari jarak yang sangat dekat, diam-diam Nayla memperhatikan wajah suaminya yang sedang terlelap. Sepasang alis hitam nan tebal bertengger rapi di atas kedua matanya yang terpejam, hidung yang super mancung bak artis India, rahang yang kuat nan tegas, serta jambang dan kumis tipis yang tumbuh di sekitar bibir, membuat pria itu terkesan macho dan berwibawa. Sungguh
“Aku mau makan kalau kau yang menyuapiku.”“Apa?” Ucapan Abyan sontak membuat Nayla terkejut.“Kalau kamu tidak mau menyuapiku, aku tidak mau makan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak kuat duduk.”Nayla terdiam. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Abyan saat ini. Kenapa tiba-tiba dia berubah manja seperti bayi? Seperti bukan dirinya saja.“Emh ... baiklah. Aku akan menyuapimu.” Nayla tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, ia kembali duduk di bibir ranjang dan mulai menyuapi ‘bayi besar’ itu.Abyan meraih satu bantal lagi untuk menyangga kepalanya agar lebih tinggi. Ia langsung membuka mulut lebar-lebar saat Nayla mulai menyuapinya. Lantas ia mengunyah makanannya sembari menatap Nayla tanpa berkedip. Hingga membuat wanita di hadapannya itu menjadi salah tingkah.Suasana di kamar itu pun menjadi sangat canggung dan kikuk. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Nayla hanya bisa menund
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, Abyan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia benar-benar kecewa karena Nayla tidak mau menerima permintaan maafnya. Bahkan sejak bangun tadi, wanita itu hanya mendiamkannya. Mungkin saja Nayla lebih mencintai laki-laki itu daripada dirinya.Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku sudah sadar saat melihatnya berpelukan mesra dengan laki-laki itu. Seharusnya aku sudah sadar sejak ia menanggalkan cincin pernikahan kami. Untuk apa lagi aku di sini? sungut Abyan dalam hati.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nayla saat melihat pria itu keluar dari kamar sambil menarik kopernya.“Aku mau pulang ke Jakarta. Kalau kamu tidak mau ikut denganku, aku akan pulang bersama Airin,” tegas Abyan tanpa menatap wajah Nayla.“Pulang? Kenapa secepat ini, Mas? Nayla tampak kaget.“Airin, ayo kita pulang, Sayang!” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Abyan malah mengajak bicara putriny
Malam hari, setelah menidurkan Airin di kamarnya, Nayla pun membuka ponselnya. Seharian tadi ia tidak sempat mengecek benda pipih hitam itu karena ia selalu bersama dengan Abyan dan kedua mertuanya. Begitu melihat layar, Nayla terkejut karena menerima banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Revan. Nayla pun segera meneleponnya kembali.“Halo, Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku dan tidak menjawab panggilanku?” tanya Revan dengan panik sebaik saja panggilan tersambung.“Maaf, Van. Saat ini aku sudah ada di Jakarta. Tadi pagi Mas Abyan ngotot ngajak Airin pulang. Aku terpaksa ikut. Aku enggak tega membiarkan Airin nangis-nangis memanggilku.”“Kenapa kau tidak memberi tahuku? Setidaknya kirimlah pesan.”“Aku takut, Van. Seharian tadi Mas Abyan selalu ada di dekatku. Kedua mertuaku juga tiba-tiba datang. Aku enggak sempat membuka ponsel.”“Lalu kapan kau akan memberi
“Ehem.”Nayla dan Revan sontak menoleh ke belakang saat mendengar suara deheman yang cukup keras.Begitu melihat wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya, Nayla terperanjat kaget. Jantungnya berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga.“M-Mas ... Abyan?” gumam Nayla dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.Revan juga ikut terkejut saat mengetahui kalau pria yang berdiri di hadapannya itu adalah Abyan, suami Nayla. Ia dan Nayla terlihat seperti dua orang pencuri yang sedang tertangkap basah.Di luar dugaan, Abyan ternyata tidak marah, murka, ataupun mengamuk. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Pria yang memakai setelan jas hitam itu bahkan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sukar dimengerti.“Nayla, aku tidak menyangka kamu datang ke pameran ini juga. Kalau aku tahu kamu mau datang ke sini, aku akan mengajakmu sekalian,” ungkap Abyan. Lalu
Semua masalah sudah terselesaikan dengan baik. Abyan menghela napas lega. Hatinya diliputi dengan kebahagiaan yang tak terkira. Karena pada akhirnya, Nayla lebih memilih dirinya daripada Revan. Walaupun Nayla tidak mengatakan apa-apa, tetapi Abyan tahu kalau sebenarnya wanita itu sangat mencintainya. Setelah Revan pergi, Nayla menggendong Airin dan membawanya naik ke lantai atas untuk menidurkannya. “Mama, Om yang tadi itu siapa, Ma? Apa dia orang jahat yang udah bikin Mama nangis?” tanya Airin dengan polosnya. “Bukan, Sayang. Om tadi enggak jahat. Dia baik hati seperti malaikat,” sahut Nayla sambil berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. “Terus, kenapa Mama nangis?” “Karena Mama sayang sekali sama Airin.” Nayla pun mendaratkan kecupan lembut di pipi kanan putrinya. “Airin juga sayang sama Mama.” Gadis kecil itu pun memeluk leher ibunya dengan manja. “Makasih, Sayang. Sekarang kita bobok ya. Airin mau dibacain dongeng ap
Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hati Nayla semakin dirundung resah dan gelisah, karena sampai sekarang Revan tidak mau menjawab teleponnya maupun membalas pesannya. Nayla takut kalau laki-laki itu akan nekat datang ke rumah dan membongkar semuanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abyan kalau mengetahui soal hubungan mereka.Tok tok tok!Nayla tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Airin. Ia pun menoleh ke arah pintu yang kebetulan sedang terbuka lebar.“Ada apa, Mbok?” tanya Nayla saat melihat sosok Mbok Sum berdiri di ambang pintu.“Anu, Nyah. Nyonya disuruh turun sama Tuan. Katanya ada tamu.”Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Jangan-jangan tamu yang Mbok Sum maksud adalah Revan.“Siapa Mbok tamunya? Laki-laki atau perempuan?” tanya Nayla ingin memastikan.“Laki-laki, Nyah. Masih muda.”Tidak salah lagi.
“Ehem.”Nayla dan Revan sontak menoleh ke belakang saat mendengar suara deheman yang cukup keras.Begitu melihat wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya, Nayla terperanjat kaget. Jantungnya berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga.“M-Mas ... Abyan?” gumam Nayla dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.Revan juga ikut terkejut saat mengetahui kalau pria yang berdiri di hadapannya itu adalah Abyan, suami Nayla. Ia dan Nayla terlihat seperti dua orang pencuri yang sedang tertangkap basah.Di luar dugaan, Abyan ternyata tidak marah, murka, ataupun mengamuk. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Pria yang memakai setelan jas hitam itu bahkan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sukar dimengerti.“Nayla, aku tidak menyangka kamu datang ke pameran ini juga. Kalau aku tahu kamu mau datang ke sini, aku akan mengajakmu sekalian,” ungkap Abyan. Lalu
Malam hari, setelah menidurkan Airin di kamarnya, Nayla pun membuka ponselnya. Seharian tadi ia tidak sempat mengecek benda pipih hitam itu karena ia selalu bersama dengan Abyan dan kedua mertuanya. Begitu melihat layar, Nayla terkejut karena menerima banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Revan. Nayla pun segera meneleponnya kembali.“Halo, Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku dan tidak menjawab panggilanku?” tanya Revan dengan panik sebaik saja panggilan tersambung.“Maaf, Van. Saat ini aku sudah ada di Jakarta. Tadi pagi Mas Abyan ngotot ngajak Airin pulang. Aku terpaksa ikut. Aku enggak tega membiarkan Airin nangis-nangis memanggilku.”“Kenapa kau tidak memberi tahuku? Setidaknya kirimlah pesan.”“Aku takut, Van. Seharian tadi Mas Abyan selalu ada di dekatku. Kedua mertuaku juga tiba-tiba datang. Aku enggak sempat membuka ponsel.”“Lalu kapan kau akan memberi
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, Abyan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia benar-benar kecewa karena Nayla tidak mau menerima permintaan maafnya. Bahkan sejak bangun tadi, wanita itu hanya mendiamkannya. Mungkin saja Nayla lebih mencintai laki-laki itu daripada dirinya.Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku sudah sadar saat melihatnya berpelukan mesra dengan laki-laki itu. Seharusnya aku sudah sadar sejak ia menanggalkan cincin pernikahan kami. Untuk apa lagi aku di sini? sungut Abyan dalam hati.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nayla saat melihat pria itu keluar dari kamar sambil menarik kopernya.“Aku mau pulang ke Jakarta. Kalau kamu tidak mau ikut denganku, aku akan pulang bersama Airin,” tegas Abyan tanpa menatap wajah Nayla.“Pulang? Kenapa secepat ini, Mas? Nayla tampak kaget.“Airin, ayo kita pulang, Sayang!” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Abyan malah mengajak bicara putriny
“Aku mau makan kalau kau yang menyuapiku.”“Apa?” Ucapan Abyan sontak membuat Nayla terkejut.“Kalau kamu tidak mau menyuapiku, aku tidak mau makan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak kuat duduk.”Nayla terdiam. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Abyan saat ini. Kenapa tiba-tiba dia berubah manja seperti bayi? Seperti bukan dirinya saja.“Emh ... baiklah. Aku akan menyuapimu.” Nayla tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, ia kembali duduk di bibir ranjang dan mulai menyuapi ‘bayi besar’ itu.Abyan meraih satu bantal lagi untuk menyangga kepalanya agar lebih tinggi. Ia langsung membuka mulut lebar-lebar saat Nayla mulai menyuapinya. Lantas ia mengunyah makanannya sembari menatap Nayla tanpa berkedip. Hingga membuat wanita di hadapannya itu menjadi salah tingkah.Suasana di kamar itu pun menjadi sangat canggung dan kikuk. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Nayla hanya bisa menund
Deg! Jantung Nayla kembali berdesir. Matanya terbelalak seketika. Ia sontak menghentikan langkahnya dan memutar badan.Dilihatnya kelopak mata Abyan masih tertutup sempurna. Dengkuran halus pun masih terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Nayla menghela napas lega. Rupanya pria itu baru saja mengigau seperti yang biasa dilakukannya.Tapi tunggu dulu! Apa dia tadi menyebut namaku? Bukan nama Mbak Aleya? Atau aku yang salah dengar?Nayla tampak berpikir. Karena penasaran, ia pun berjalan mendekati Abyan. Berharap agar pria itu mengigau sekali lagi untuk memastikan nama siapa yang disebutnya.Dari jarak yang sangat dekat, diam-diam Nayla memperhatikan wajah suaminya yang sedang terlelap. Sepasang alis hitam nan tebal bertengger rapi di atas kedua matanya yang terpejam, hidung yang super mancung bak artis India, rahang yang kuat nan tegas, serta jambang dan kumis tipis yang tumbuh di sekitar bibir, membuat pria itu terkesan macho dan berwibawa. Sungguh
“Baru saja benih-benih kebahagiaan itu tumbuh dan bersemi kembali dalam dada. Namun, begitu menapakkan kaki di rumah, kenyataan seolah menamparku dan membuatku sadar ... bahwa aku adalah seorang ibu. Bahwa aku adalah wanita yang masih terikat.”-Nayla Arinza-***Nayla bergegas menyeberangi jalan raya saat lampu lalu lintas menyala merah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah cepat menuju Resto Ayam Kampung milik kedua orang tuanya. Rasa lapar mulai menggelitik perutnya. Nasi gudeg buatan ibunya pun sudah terbayang di pelupuk mata. Betapa ia ingin segera menyantapnya.“Assalamu’alaikum,” ucap wanita itu begitu menginjakkan kaki di restoran. Senyuman indah terulas di bibirnya yang bergincu merah muda. Memancarkan aura kebahagiaan, layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta.“Wa’alaikumussalam.” Semua orang yang ada di dalam pun menjawab salamnya dan menoleh ke arah pintu masuk.
“Hadirmu laksana air hujan yang jatuh di atas tanah kering. Menghapuskan dahaga dan memberiku kesejukan ....”-Nayla Arinza-***Akhirnya setelah sekian purnama, aku bisa merasakan kembali hangatnya pelukanmu, Van. Pelukan yang nyaman dan amat menenangkan.Dengan ragu Nayla mengangkat kedua belah tangannya, lantas melingkarkannya ke pinggang Revan. Laki-laki yang hingga detik ini masih sangat ia cintai dengan segenap jiwa.Revan pun mendaratkan kecupan lembutnya di kening Nayla. Ia tidak peduli kalau wanita dalam dekapannya itu masih berstatus milik orang lain. Perasaan yang bergemuruh di dalam dada, mampu mengalahkan segalanya.Lima menit berlalu. Tangis Nayla pun mulai mereda. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Revan, lalu mendongakkan kepala. Menatap raut tampan yang terpampang di depan mata. Begitu pula dengan Revan. Manik gelapnya menyapu setiap inci wajah cantik di hadapannya.Ketika sepasang netra saling bertauta