Saking ngantuknya kemarin malah updatenya loncat part. Ini yaa part 98
Dan disini lah dia sekarang. Warung nasi padang kesukaan Bagas. Disaat lapar pun Nina masih memikirkan untuk membelikan makanan kesukaan pria itu. Tapi... HAH! Sekarang Bagas terciduk sedang makan bersama gadis lain. Parahnya gadis itu adalah Intan. Nina menatap dua sosok itu tanpa berkedip. Ada rasa nyeri yang tak bisa dijelaskan menusuk relung jantungnya. Sekali mungkin masih bisa menjadi kesalahpahaman. Tapi dua kali? Nah, tidak mampu mengindahkan pikiran Nina yang berkecamuk menjadi curiga. Nina merasa terguncang. "Nin, tahan emosi. Jangan marah ya, gue nggak mau lo viral," Bisik Sasa. Sasa mengguncang tubuh Nina yang lama terpaku. Seperti patung museum tak berjiwa. Temannya ini sedang dalam emosi yang--mungkin sebentar lagi akan meledak. Akan lebih baik mereka mencari tempat lain. Nina bergeming menatap dengan nanar prianya yang kini terlibat obrolan intens dengan Intan. Ada luka menganga yang tanpa sadar terbuka sendirinya. Nina pikir sudah cukup ia lari, ia tidak lagi
Sasa tahu ia sudah membuat keputusan yang akan membunuh dirinya sendiri. Tapi rasa lapar menghilangkan akal sehatnya. Kalau sedikit saja paling tidak 1% dari akal sehatnya masih ada, ia pasti tidak mengajak Nina untuk duduk bersama Bagas dan wanita itu lebih baik ia memilih adu jotos dengan selingkuhan Bagas (masih dugaan). Keadaan hening melanda mereka berempat cukup lama. Tak ada satu pun yang ingin membuka suara. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piringan kaca. Bagas yang gelisah, Sasa yang lapar, Nina yang jengkel, dan Intan yang memilih tidak peduli. Ia harus melakukan sesuatu. "Engg--ayam popnya enak ya, Nin? Mau nambah lagi nggak?" Bersamaan dengan itu, Intan baru saja akan mengambil ayam pop terakhir. Intan berkedip beberapa kali, entah karena merasa malu atau menatap sebal Sasa yang seakan tidak memberikan kesempatan Intan mengambil lauk kesukaannya. Tangannya yang tadinya sudah menggenggam ujung ayam pun akhirnya mengurungkan diri dengan canggung. Baik Nina d
Bagas tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan kegundahan yang luar biasa. Mungkin bertahun-tahun lalu, saat memergoki Intan berselingkuh dengan Zaki. Tapi semesta seakan kurang puas, Bagas kembali berhadapan dengan gelenyar yang mulai merambat, menyebarkan rasa takut yang hebat. Bagas tidak pernah ragu melangkah masuk ke dalam bangunan klasik khas jawa di depannya. Mendadak kakinya kebas, tangannya membeku, ia mengetuk kepalanya beradu dengan setir. Ia harus segera melakukannya. Kenapa harus takut? Bagas kan tidak selingkuh. Bagas takut Nina tidak akan percaya lagi. Ibarat kaca yang sudah pecah tidak bisa diperbaiki. Belum lagi Intan terlihat tidak bisa diajak kompromi. Perempuan itu memilih tidak peduli karena bukan urusannya. Padahal Bagas sudah membantunya. Itulah Bagas. Si people pleaser. Tidak mampu menolak orang lain. Akhirnya ia kesusahan sendiri. Bagas memutuskan untuk mematikan mobil dan keluar. Ia tidak bisa terus menunda. Lagipula jika Nina tahu, akan lebih mudah
"Terus Intan gimana jadinya, Mas?""Ya diusir sama Anggit dari rumah."Nina diam-diam tersenyum simpul. Bagus Anggit! Aku padamu! Tapi, brrr Nina ketakutan. Anggit punya pengaruh besar di rumah Bagas hingga mampu mengusir Intan yang telah dikenalnya bertahun-tahun. Membayangkannya saja ngeri. Apa jadinya Nina nanti? Apakah ia akan menjadi Nina penyet saat bertamu?Bagas mnyadari raut kekasihnya yang gentar. Ia terkekeh, "Nggak usah takut. Dia nggak semengerikan itu kok. Kemarin mereka berdua emang lagi konflik aja. Anggit kebawa emosi.""Anggit marahnya serem main usir-usir. Kalau aku bisa ditendang ke luar angkasa kali ya?"Bagas mengernyit tidak suka, "Jangan dong. Nanti aku sama siapa kalau belahan jiwaku menghilang?"Mulai lagi..."Ngomong-ngomong, suaminya Intan itu kerjanya apa sih? Terus kata kamu Intan pindah ke Bali. Kok jadi tinggal di Jakarta?" Nina mengalihkan obrolan. Semata untuk menyembunyikan pipinya yang bersemu."Dari kabar yang aku dengar sih dia pindah ke Bali. Ter
Nina sedang mengaduk adonan menggunakan mixer. Sambil sedkit demi sedikit memasukkan tepung. Nina mengaduk dengan semangat. Sudah lama ia tidak membuat bolu. Dulu, saat ibunya masih muda, ibunya membuat banyak bolu untuk di jual di restaurant. Bolu dengan berbagai vsrian rasa dan topping. Setelah ibu stroke ringan, bapak melarang ibu beraktivitas berat, termasuk membuat bolu. Meskipun begitu, Nina dan kawan-kawan sempat tetap menjadikan bolu sebagai menu dessert. Tapi rasanya berbeda. Enak sekedar enak. Tidak selegit buatan ibu. "Tante seneng deh akhirnya punya temen di dapur. Soalnya Anggit sama Bagas nggak bisa masak. Boro-boro masak kue, Anggit masak air aja gosong." Nina terkikik geli, "Mas Bagas jago bikin mie nyemek kok, tante. Selama ikut FYL, kalau lagi nggak masak atau males pesen makanan, kita semua pasti milih makan mie nyemek buatan Mas Bagas." "Alah, jago bikin mie nyemek tok, Nin. Itu juga gara-gara tante ngomelin dia karena yang dimasak mie mulu. Terus besoknya bilan
Setelah memesan caramel frapuccino, Nina memilih kursi dekat jendela. Dirinya tak sabar menunggu seseorang yang sudah lama tidak ia temui. Sambil sesekali berbalas pesan dengan Bagas. Sudut bibir itu terkadang terangkat, lalu seketika menampilkan raut cemberut. Berubah-ubah sesuai isi pesan yang dikirim. "Ninaaa!" Teriak Kanaya sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi. Memusatkan perhatian orang-orang padanya. Para pengunjung cafe yang tadinya tidak menyadari kehadiran Nina sontak menjadi ramai. Seperti melihat selebritis terkenal. Bisik-bisik mulai terdengar kala salah dua cast terkenal FYL duduk di meja yang sama. Bedanya Kanaya mendapat banyak hujatan karena memilih Sean. Tapi berbanding balik dengan rejeki yang mengalir di tangannya. "Bu model sibuk banget sampai susah diajak ketemuan," Goda Nina. "Aduh, maaf. Aku akhir-akhir ini sibuk syuting Baru kelar semalem banget." "Ya ampun, harusnya kamu istirahat aja, Ka." "Nggak apa-apa, Nin. Habis ini aku bakalan hibernasi samp
Ikbaale~~'Oit.'SeanGanendra'Hadir!'Ikbaale~~'Lo lagi lo lagi yang muncul.''Berasa chatan berdua sama yayang ae.'SeanGanendra'Emang cuman gw yang aktif disini. Sisanya AFK.'Ikbaale~~'Nggak asik ya Bang Adam sama Ezra. Mainnya leave group gara-gara kit ati.'Arsenio Bagas'SPAM.'Ikbaale~~'Kapan nikah? @ArsenioBagas'SeanGanendra'🤭🤭🤭🤭'Karenina Subagyo'Tahun depan!'Arsenio Bagas'Serius yang 🥹🥹🥹''Otw, daftar KUA.'Karenina Subagyo'Tapi boong.'Ikbaale~~'Palpalepalpale.''Canda, Gassss.'ChelseaAF'Hai semuaaaa!!!!'Arsenio Bagas'Tega banget sih ngeprank gitu.'Kanaya Bahar.'Hayolooo...'Ikbaale~~'Silahkan pertengkarannya lanjutkan di forum pribadi. Soalnya grup ini khusus buat bahas soal reuni.'Nakeshaaamanda'Ka Ikbal gabut ya makanya mau reuni.'Ikbaale~~'Jan asal ngomong lo, Sha. Gini-gini gue orang sibuk. Hari-hari motret cewe cewe seksi nih!'ChelseaAF'Emng paling bener dulu tuh aku nolak Kak Ikbal.'Nakeshaamanda'Mesum bgt.'Arsenio Bagas'Mending lo
Nina memperhatikan penampilannya sekali lagi di cermin. Flowy dress simple berwarna putih nude, berbahan tule dengan aksen brokat dan ruffle diatasnya. Tak lupa clutch berwarna sederhana. Rambutnya ia tata dengan model messy hairbun. Menyisakan sedikit rambutnya untuk menjuntai ke leher jenjangnya. Tak lupa sepasang anting berlian ia sematkan di telinga. Selesai. Tepat setelah ia selesai merias diri, mobil hitam Bagas datang. Ia segera mengambil tas dan high heelsnya lalu berlari ke bawah. Tak lupa pamit dengan bapak dan ibu. Paper bag berisi hadiah telah siap di sofa ruang tamu. Bagas keluar dari mobil untuk berpamitan dengan bapak dan ibu Nina. Bagas terlibat obrolan kecil dengan bapak, sesekali keduanya tertawa. Entah apa yang sedang dibahas kedua lelaki beda zaman itu. Bagas terlihat menawan dengan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambut comma hair yang sedang musim. Dipadukan dengan celana kain hitam dan pantofel. Sempurna. Keduanya sangat cocok sampai Nina mendadak s
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila