POV AuthorMaura meninggal. Itulah yang pertama kali Aksa dengar dari telepon sahabatnya ketika dia baru saja terbangun dari tidur akibat kelelahan setelah pergumulan bersama Jingga tadi siang ketika dia masih di bawah kendali obat perangsang.Panggilan dari Riko sudah terputus, tetapi tubuh Aksa masih terasa kaku, rasa kantuknya hilang begitu saja setelah mendengar info itu. Perlahan tapi pasti pikirannya melayang pada Maura. Pagi tadi, Aksa masih mengingat jelas bagaimana perbuatan Maura yang hampir saja mau membuatnya khilaf. Pria itu mendorong Maura karena hampir memanfaatkan kelemahannya dan tanpa memperdulikan Maura yang meraung, Aksa gegas pergi meninggalkan apartemen. Namun, walau Maura meninggal jelas ini bukan murni salahnya. Riko bilang Maura meninggal karena percobaan bunuh diri, dia memakan obat berlebihan dan menyayat nadinya sendiri.Lalu, yang tak Aksa nengerti. Kenapa Maura berbuat nekat seperti itu? Apakah karena telah ditolak Aksa, Maura jadi begini?Aksa menyugar
POV JinggaAku tidak tahu apa yang terjadi padaku jika Mas Aksa tidak menyelamatkanku tepat waktu. Mungkin saat ini bukan hanya harga diriku yang hilang tapi ragaku juga.Takut, gemetar dan trauma. Mungkin tiga kata inilah yang mampu menunjukan kondisiku sekarang. Setelah aku tiba-tiba dibawa ke gang sempit yang minim penerangan dan hampir diperkosa, aku bahkan tak mampu lagi bergerak dan berbicara dengan benar. Rasanya sekujur tubuhku lemas dan aku tidak bisa lagi berpikir karena otakku kosong. Hanya air mata saja yang bisa aku keluarkan sebagai ekspresi begitu syoknya aku dengan apa yang kualami. Beruntung, Mas Aksa paham betul dengan apa yang terjadi padaku. Dengan sigapnya dia lalu membawaku ke tempat aman tentunya setelah melumpuhkan si penjahat dan melaporkannya ke pihak yang berwajib.Sejujurnya, percobaan perkosaan ini bukan pertama kalinya aku alami. Dulu pamanku yang bejat di kampung pernah mencoba melakukan yang sama untungnya aku berteriak sehingga perbuatan biadab itu bi
Sekian menit berlalu tanpa arti, keheningan masih setia menyelimuti kami. Aku dan Mas Aksa seakan sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa ada yang berani memulai bicara. Terhitung, dari selama kami duduk berhadapan, aku hanya melihat lelaki itu sibuk memutar-mutar bolpoin di tangannya dengan gelisah. Menyaksikan kondisi awkward ini sekarang aku paham, kenapa Bu Zela membiarkan kami bicara empat mata. Ternyata alasannya adalah karena Mas Aksa ini tipe yang tertutup dan tidak mudah membuka rahasianya pada orang lain. Apalagi yang akan aku dan Mas Aksa bicarakan ini bisa dibilang masalah rumah tangga kami gak mungkin Bu Zela ingin ikut campur. Namun, kalau dia diam terus begini semalaman gimana? Bisa mati kutu aku. Agh, aku tak tahan lagi. Mataku sudah berat dan kepalaku pening, mungkin lebih baik kusudahi saja acara bongkar-membongkar rahasia daripada tengah malam begini kami malah terlibat suasana canggung kayak gini. Bisa jadi Mas Aksa memang berat mengungkapkannya. Aku hanya perlu
Pagi ini aku merutuki diri karena bangun kesiangan. Semua ini akibat aku yang salah set alarm, seingatku aku sudah menyetelnya dengan benar semalam tapi ternyata karena ngantuk aku malah set di jam 6.00 pagi bukan jam 4.00.Astaghfirullah! Apakah mungkin ini dikarenakan efek gak jadi 'ena-ena' sama Mas Aksa tadi malam? Sehingga buat men-setting alarm saja kurang fokus? Ah, Jingga sadarlah! Aku mendesah berat sambil berjalan keluar kamar dengan menenteng tas kuliahku.Jujur, harus kuakui sampai detik ini aku masih kecewa karena kena prank Mas Aksa. Usai mengobrol dan ciuman panas yang terjadi antara kami, otakku yang gesrek ini sempat mengira kalau aku dan Mas Aksa bisa langsung menikmati ibadah syurga untuk kedua kalinya tapi ternyata Mas Aksa malah memintaku tidur. Alasannya sih bijak, katanya dia takut aku sakit dan terlambat masuk kelas pagi ini. Ya, iya sih kalau lihat alasannya itu benar banget tapi kalau liat hasratku yang terpendam kayaknya itu ganggu banget.Dahlah. Pasrah.
Aku sudah sering mendengar kalau jurusan farmasi ini banyak sekali dosen yang berprofesi dokter. Makanya gak heran kalau kadang kuliah di-cancel gara-gara sang dokter ada operasi atau apalah. Nah, tapi aku gak menyangka kalau salah satu di antara dosenku adalah suamiku sendiri.Syok? Of course! Bahkan sampai sekarang aku masih berharap kalau apa yang kualami ini mimpi. Pantas saja waktu dulu Mas Aksa maksa aku buat melanjutkan kuliah ternyata ini jawabannya."Hash!"Aku menyeka buliran keringat yang turun ke dahi. Sesuai janjiku pada dosen baru yang killer dan juga suamiku, siang ini sesudah kelas selesai aku bergegas menuju ke ruangannya.Sungguh, entah mengapa kali ini aku merasa sangat canggung untuk datang ke ruangan Mas Aksa tapi demi nilai dan sidang, aku terpaksa melakukannya.Ingat, Jingga profesional!Sampai di depan pintu ruangan Mas Aksa, aku sudah bersiap untuk mengetuk ruangan yang tidak tertutup rapat itu tapi gerakanku tiba-tiba harus terhenti ketika suara Nadia yang
Jingga Nalurita. Gadis bermata sipit itu mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian berdecak. Menyilang tangan di depan dada lalu menyandarkan bahunya ke kursi. Dia masih gak percaya kalau suaminya tetiba memberikan kartu ATM prioritas untuk ia pegang. Tadi, setelah mereka berhadapan dengan Nadia, Aksa membawa gadis itu buat makan di salah satu kafe yang ada di dekat kampus. Aksa bilang, dia sengaja mengajak Jingga ke sini agar tidak ada mahasiswa yang melihat mereka. Aksa mau pun Jingga sama-sama gak mau jadi bahan gosip di kampus. Masa baru saja semester awal udah kena skandal? Gak lucu rasanya."Mas yakin mau ngasih kewenangan transfer duit buat Nadia dan lain-lain sama aku? Mas gak nyesel? Aku jadi menteri keuangan Mas loh sekarang," tanya Jingga sangsi kalau dalam waktu semalam kartu magic suaminya telah ia kuasai. Berasa banget istri yang menggasak harta suaminya."Untuk apa Mas nyesel Jingga? Mas percaya sama kamu bisa kelola keuangan rumah tangga kita, kamu cukup telaten dan
Menurut text book yang kubaca, sifat dasar manusia itu tidak mungkin langsung berubah dalam satu waktu. Pasti butuh proses untuk merubahnya dan sekarang aku menyesal karena terlalu berharap pada pria yang sedang mengajar di depan sekarang.Mas Akss tetaplah pria yang terlalu baik dan menyebalkan yang suka membuat banyak perempuan salah paham. Walau pembawaannya dingin tapi sialnya para cewek itu selalu tahu hati yang hangat.Buktinya, baru saja kami bertengkar dengan Nadia eh, di warung pecel lele ada lagi kejadian yang bikin aku naik darah. Siapa sangka, Mas Aksa yang kalem tiba-tiba memuji perempuan lain dengan kata 'cantik'.Aduduh, mana gak senewen aku ini? Padahal aku sudah kege-eran karena berpikir dia hanya memujiku eh, ternyata dia melakukannya juga pada yang lain.Sialan!Aku saja yang bodoh membawanya baper sampai ke sumsum tulang. Padahal untuk Mas Aksa, mungkin aku tak lebih dari remahan ranginang di kaleng Khong Guan, rasanya ada tapi hanya sisa.Nasib oh nasib pacaran sa
Mas Aksa : Jingga, inget habis kuliah langsung pulang ke rumah ya. Mas masih ada praktek sore ini. Maaf kamu bisa pulang sendiri, kan? Nanti Mas secepatnya akan sampai di rumah.Jingga : Bisa Mas. Tenang aja.Mas Aksa: Inget pake aplikasi aja, jangan pake yang manual dan jangan lupa kamu share lock posisi terkini kamu. Oke? Mas gak mau kejadian kayak kemarin keulang. Wah, dia khawatir ternyata. Ihiw! Sepertinya efek ciuman kami berhas.Jingga typing ...."Eh kok kedap-kedip? Yah, yah, mati!?" Aku mendesah ketika melihat ponselku mendadak gelap, menandakan kalau batereiku habis. Dengan berat hati, kududukan bokongku di kursi halte. Padahal sore ini hujan cukup besar dan aku belum sempat meng-order ojek untuk aku pulang eh, udah mati aja. Benar-benar apes.Kuketuk-ketukkan ponsel ke paha sambil memikirkan bagaimana caranya biar aku bisa pulang tanpa harus ngojek. Apa aku harus mencegat taksi sekenanya? Atau cari masjid yang ada colokannya? Tapi, masjid kan jauh dari halte. Butuh wakt
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia