Kehamilan ini tak terduga tapi menyenangkan. Kehamilan ini membuatku kepayahan tapi aku menikmatinya. Terlebih, setelah kabar kehamilanku terdengar ibu mertua, Bu Imel seakan bahagia sekali.Alhamdullilah, benar kata banyak orang kalau kehamilan itu membawa rezekinya sendiri. Buktinya, hubungan aku dan Ibu yang semula renggang kembali menjadi baik. Dia bahkan membelikanku banyak perlengkapan dan membolehkan lagi Mas Alfa tinggal bersamaku di apartemennya yang lama. Sebab, jika kami tetap tinggal di apartemen yang baru, Mas Alfa takut Mamah dan Mbak Resa akan datang kembali dan menekanku.Tentu saja Mas Alfa nggak mau aku menjadi tersiksa dan aku juga benar-benar tak mau bertemu mereka. Kejadian terakhir dengan Mbak Resa saja masih membuatku cemas sampai sekarang.Bahkan dokter kandunganku bilang, untung saja janinku bisa diselamatkan sebelum terjadi apa-apa karena saat bertemu Mbak Resa kondisiku memang kurang baik dan rentan stress. Terutama perubahan fisik selama masa kehamilan
Mbak Resa mencari Mas Alfa. Itu adalah kenyataan paling menyebalkan yang aku dapat setelah aku mendengar obrolan para perawat.Awalnya aku mencoba untuk santai dan tak peduli. Sehingga kehidupanku pun berjalan seperti biasa tanpa penggangu.Namun, ternyata tenang tak selamanya aman. Selepas beberapa minggu berlalu, pagi tadi tiba-tiba aku mendapat info dari Mbak Mirah asisten Mas Alfa berkenaan tentang seorang wanita misterius yang suka datang ke poli di rumah sakit ketika Mas Alfa buka praktek.Anehnya, dia tidak pernah datang untuk diperiksa karena dia hanya duduk diam di ruang tunggu sambil memperhatikan ke arah poli penyakit dalam seolah menunggu Mas Alfa keluar-masuk ruangannya.Sempat suatu ketika, karena curiga Mbak Mirah menegur wanita itu untuk bertanya tapi dia malah pergi dan besoknya datang lagi.Menyeramkan.Entah apa maksud maksud si wanita itu mengamati suamiku.Apa dia fans rahasia atau ... mungkin dia Mbak Resa? Entahlah. Yang jelas, aku sengaja tak memberitahukan pe
Aku memandang penampilanku di cermin dengan seksama. Setiap hari tampaknya bobotku semakin bertambah, itu terlihat dari pipiku yang semakin mengembung dan badan yang membengkak. Wajar sih aku merasa tubuhku melebar karena tanpa sadar kandunganku sekarang sudah memasuki usia tujuh bulan.Begitulah waktu cepat berlalu.Pantas saja, rasanya jalanku terasa semakin lambat dan aku cepat lelah, tapi untunglah Mas Alfa tak pernah mempermasalahkannya.Dia malah selalu menghiburku dan bilang aku yang tercantik. Walau aku tahu, dia hanya tak ingin aku bersedih karena penampilanku yang berubah drastis.Huft!Setelah merapikan rambutku dan memastikan semuanya tampak cantik. Aku pun siap pergi kontrol ke dokter kandungan. Meski agak kecewa karena Mas Alfa hari ini tak dapat mengantar, bagiku tak masalah sekarang aku hanya perlu memberi tahu pada Mas Alfa kalau aku mau berangkat."Oh iya, di mana ponselku?"Menyadari kalau sejak tadi aku lupa sama benda pipih itu, aku segera mendekati ranjang untuk
Aku membuka mata saat kudengar suara orang terdengar seperti sedang bercakap-cakap.Berhasilkah aku keluar? Apakah rencanaku telah menemukan jalannya?Agh! Aku mengerang pelan saat kepalaku berdenyut.Walau masih terasa berat kepala ini, aku mencoba untuk bangkit dan sepertinya aku berada di tempat asing.Bukan lagi di gudang. Seperti di rumah sakit tapi bukan."Kamu di ruang praktik bidan, kamu sepertinya mengalami kontraksi ringan karena syok tapi sekarang semua baik-baik saja. Bayimu memang pejuang!" Suara seseorang sontak membuatku sadar sepenuhnya.Aku menoleh dengan cepat. "Mbak Yana? Syukurlah! Aku kira Mbak Yana gak datang tepat waktu, alhamdullilah karena Mbak anakku gak apa-apa," ujarku senang ketika melihat Mbak Yana ada di samping ranjang."Bodoh! Kamu bodoh, Zel! Kenapa hanya demi bukti dan menyelesaikan balas budi, kamu sampai sejauh ini? Bagaimana jika aku tak datang tepat waktu? Bagaimana jika Mamah benar-benar meracunimu? Bagaimana jika ....""Tapi Mamah tak melakukan
Aku bisa merasakan betapa erat genggaman Zela di tanganku. Gadis itu menundukan wajahnya seakan ingin menyembunyikan semua tangis dan beban yang terlukis jelas di wajahnya.Bertemu dengan ibu kandung yang telah lama ia cari, pasti sangat membuatnya lega tapi juga menyedihkan dalam satu waktu. Terutama kondisi ini mungkin tak pernah Zela duga.Ibunya sakit kanker hati stadium empat sementara dia baru saja bertemu hari ini. Sayang, pertemuan mereka tak bisa lama karena ibunya harus segera menjalani tindakan. Jadi, tadi yang hanya bisa Zela lakukan ialah menatap ibunya dari kejauhan karena sang Ibu sama sekali tak bersuara meski Zela telah memperkenalkan diri.Aku tahu Zela sedih dan dia merasa diabaikan. Akan tetapi, dia tampaknya lebih legowo dibanding aku.Akulah yang terlalu berharap lebih atas pertemuan ini. Kukira ibu kandung istriku itu akan memeluk anaknya, ternyata tidak.Dia malah menjauhi Zela seolah Zela bukan anak kandungnya.Kenapa Bu Dahlia bersikap begitu? Padahal sebel
Baru saja bahagia ketemu Ibu, aku rasanya kembali diterpa badai.Ibuku tak menghiraukanku, dia sama sekali tak menjawab saat kupanggil. Dia seakan rindu ketika melihatku hadir tapi tetap menghindar kala bertemu di rumah sakit dan itu membuatku merasakan perih tapi tak berdarah. Sebab, jika dia rindu kenapa tak memelukku? Jika dia sayang kenapa dia tak mengatakannya? Kenapa dia bungkam?Namun, apa yang harus kulakukan? Semua rasa tentang Ibu hanya bisa kurasakan dari binar matanya.Aku menyerah. Aku memilih tak ingin memaksa Ibu meski dalam hati aku mengendus kecurigaan tentang sikapnya.Bagaimana pun di dunia ini, sekarang aku tak memiliki keluarga dari pihakku sendiri. Setelah Mbak Resa dan Mamah dipenjara rasanya aku tak tahu harus ke mana mencari jati diri sesungguhnya.Untunglah Mas Alfa--suamiku masih mau berjalan denganku, melindungi dan mengayomi walau tetap saja semalam watak jahilku muncul lagi ke permukaan.Dengan dalih ngidam, aku memintanya memasak nasi goreng pakai bikini
Biasanya sebagai seorang dokter, aku dituntut untuk berpikir secara logika dan mendahulukan tanda yang pasti agar tidak salah mendiagnosa. Namun, kukira itu tak berlaku bagi yang namanya CINTA.Semenjak menikah dengan Zela, kusadari aku menjadi lebih posesif. Entah berapa kali diri ini takut kehilangan pada hal yang belum jelas sehingga kadang membuat batasan yang terkesan sembrono.Itulah kenapa, saat melihat Zela bercakap dengan Yoga, tak terhindarkan darah ini seolah mendidih sekali pun aku mencoba untuk mensugesti bahwa istriku bisa dipercaya.Dia saja percaya padaku, masa aku tidak?Begitulah, sisi kelogisan berbicara.Aku sadar, mengenyahkan sepenuhnya Yoga dari hati istriku layaknya mengambil sebuah kenangan yang terendap lama. Tapi, salahkan jika aku berharap semua kenangan itu hangus? Karena diri ini benar-benar sedang merasa tak percaya diri.Cih! Lagaknya lama-lama seperti Dilan saja. Tapi, lelaki mana yang tak cemburu jika mendengar istrinya begitu didambakan menjadi menan
Seiring dengan semakin besarnya kehamilanku ternyata semakin besar juga kekhawatiran yang aku miliki. Namun, tetap saja meski berat rasanya membawa perut buncit ke mana-mana, aku ini tidak bisa diam. Kerjaanku malah hobinya jalan-jalan.Dimulai dari menemani Mas Alfa sampai menjenguk Ibu di rumah sakit walau setiap ke sana Ibu pasti menolak menemuiku.Entah apa salahku pada Ibu tapi acapkali aku datang, dia langsung membuang muka seakan aku bukan anak kandungnya.Sikap Ibu yang cenderung acuh ini mengingatkanku pada Mamah. Lalu, jika seperti ini terus apa bedanya dia dengan Mamah yang sedang di penjara? Aku bertemu Ibu atau tidak, rasanya sama saja seperti tak dianggap.Bukankah harusnya aku yang marah? Kenapa dia yang malah abai?"Pulanglah! Jangan jenguk saya lagi! Kamu tidak usah mempedulikan saya! Biar saya membusuk di sini!"Ya, membusuk saja sana! Karena Kau telah menelantarkanku.Ingin rasa hati bilang begitu jika Ibu mulai mengusirku, tapi Mas Alfa selalu menghibur hatiku yang
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia