"Mak, pokoknya Tari mau pulang. Kenapa Mamak gak bilang kalau Tsabit itu ganteng dan pengusaha kaya? Mamak jahat! Pokoknya Tari mau ngambil hak punya Tari." "Ya Mamak tahu kalau itu adalah hak kamu tapi mereka sudah menikah Tari. Kamu gak bisa ambil begitu saja. Salah sendiri kamu jual mahal, pakai acara kabur segala dan tidak mau mendengar penjelasan Mamak.""Iya tahu, Tari salah tapi kan pernikahan ini bisa dibatalkan Mak. Emang Mamak mau selamanya Hana mewakili Mamak di keluarga Pak Alfa dibanding Tari? Mamak berubah ya sekarang. lebih suka sama Hana dibanding Tari." "Mamak gak berubah Tari. Mamak tetep milih kamu. Ya udah Sekarang gini aja, kalau nanti Tsabit suka ketika melihat kamu mungkin Mamak akan mendukung karena bagaimana pun sampai saat ini Mamak merasa Hana beda banget sama kamu. Kau lihat dia, Mamak pikir suatu saat adik kamu akan mempermalukan Mamak lagi kayak dulu pas dia ketahuan malak sopir truk."Aku menghela napas dalam ketika benak ini kembali terngiang-ngiang p
Benar kata pepatah, don't judge the book from the cover alias jangan cap buku dari tampilannya. Kukira pepatah itu cocok untukku sekarang.Aku yang semula berpersepsi kalau Tsabit itu jutek dan egois, entah mengapa sekarang jadi berbeda pandangan. Semenjak dia menyumbang untuk jalanan desa 100 juta dan kejadian malam ini kurasa pendapatku tentang Tsabit akan berubah.Tsabit ternyata gak seburuk yang kukira. Buktinya si tuan muda yang introvert akhirnya mau juga bernyanyi di atas panggung gembira setelah Momod menjebaknya.Namun, sayangnya di balik kemauan Tsabit naik ke atas panggung jujur aku masih ketar-ketir karena ucapannya yang bilang akan menghukumku setelah menyanyi.Oh Tuhan apa ya kira-kira hukuman itu? Dan apakah benar dia akan bernyanyi? Ataukah dia hanya naik ke sana hanya sebagai kamuflase?Halah! Aku tetiba diserang firasat buruk melihat Tsabit menyunggingkan senyum anehnya dari atas panggung ke arahku."Tes ... tes ... oke, terima kasih atas kesempatannya pada saya untuk
Seharusnya paviliun yang kusiapkan ini akan menjadi saksi fasilitas terbaikku untuk Tsabit. Seharusnya saat ini, di kamar yang sudah kusewa tiga kali lipat dari harga aslinya ini aku dan Tsabit bisa tidur dengan nyaman tanpa pengganggu. Seharusnya ... oh seharusnya aku sudah tidur tapi sialnya malah harus melek sambil lihatin jam yang bergerak menuju angka satu.Awkward. Mungkin itulah satu kata yang bisa menunjukan bagaimana perasaanku sekarang ketika harus berdua saja di dalam kamar paviliun ini bersama Oliv--si sepupu yang berani datang jauh-jauh hanya untuk menemui suamiku.Luar biasa banget! Aku baru tahu kalau hubungan sepupu bisa sedekat ini. Diam-diam aku jadi curiga jangan-jangan hubungan mereka lebih dari sepupu lagi. Sekarang kan lagi hot-hot-nya gosip menikahi sepupu sendiri. Jangan-jangan sebenarnya mereka ... eh, tapi kayaknya gak mungkin-lah! Bukannya Tsabit cintanya sama Jingga? Halah, tapi kan perasaan mah bisa aja pindah-pindah, mungkin dulunya suka Jingga sekarang
Sejak dulu aku merasa yatim-piatu bisa jadi akan lebih baik dibanding mempunyai ibu yang tak pernah menganggapku ada. Sejak dulu, aku merasa menjadi yatim-piatu mungkin akan lebih membuatku bahagia dibanding setiap harinya harus disiksa dan dibandingkan. Tolong! Jangan beranggapan aku jahat karena pemikiran ini tentu saja hadir karena aku yang terlampau patah hati pada keluarga sendiri. Sudah jadi kebiasaan Mamak, jika ada Teh Tari, aku ini bukanlah prioritas utama, seperti sekarang. Siapa sangka aku yang seorang istri sah harus merelakan suamiku diobati Teh Tari di kursi karena Mamak yang minta."Mas Tsabit, mana yang sakit sini biar Tari obatin?" Teh Tari yang lemah lembut tetiba muncul dari arah dapur rumah Mamak. Usai insiden aku membanting Tsabit, Mamak dan Teh Tari meminta aku membawa Tsabit ke rumah Mamak buat diobati. Aku yang merasa bersalah hanya bisa manut saja karena ini demi kebaikan Tsabit yang lagi kesakitan karena kelakuan bar-barku.Sumpah demi apa pun aku gak bernia
"Teteh, tahu kamu pasti kepaksa nikah kan, Han? Maaf ya bikin kamu harus bertanggung jawab karena Teteh kabur tapi sekarang kamu jangan khawatir. Jika kamu kepaksa kamu boleh kok mundur dari pernikahan ini dan kamu bisa bebas malak kayak cita-cita kamu. Asal Mas Tsabit-nya jangan disentuh, ya Dek? Teteh pikir, Teteh mulai jatuh cinta sama Tsabit."'What the fuck!'Aku mengumpat dalam hati sambil duduk di pinggiran ranjang. Teringat ucapan Teh Tari tadi bikin aku jadi ingin mukul orang.Andai, dia bukan kakak tiriku sudah kujambak dia dan kulakban mulutnya. Seenaknya dia main nyuruh. Aneh, dia yang kabur sekarang dia juga yang memintaku untuk mundur.Dasar manusia egois!"Kamu mikirin apa, sih? Dari tadi saya liatin kamu diem terus," ujar Tsabit menegurku yang terpekur sambil melipat bibir.Gara-gara obrolan di teras paviliun dengan Teh Tari beberapa waktu lalu aku jadi gak konsen melakukan apa pun.Aku terkesiap. "Ehm gak apa-apa. Oh ya Mas boleh saya tanya sesuatu?""Tanya apa?""K
Setelah adegan jatoh di atas badan Tsabit yang begitu memalukan di salon disertai godaan para penghuninya, akhirnya aku sampai juga ke sebuah hotel yang kata Tsabit merupakan tempat diadakannya acara kondangan.Meski aku masih gak nyaman pakai dress sekaligus malu gara-gara kejadian tadi, dengan berat hati aku harus menjalankan tugasku sebagai istri bayaran. Sayangnya, ketika mulai memasuki ballroom tempat resepsi, tiba-tiba rasa minderku muncul karena melihat para tamu yang hilir mudik dengan memakai gaun yang begitu indah sehingga terlihat sangat anggun.Entah mengapa aku jadi sangat malu sekarang. Jujur, rasanya aku tak pantas ada di sini, walau gaunnya indah tetap saja yang memakainya sama sekali gak anggun. Sebagai cewek yang berbeda kasta dari para tamu undangan yang hadir, kuakui aku merasa tak nyaman dan tak terbiasa.Yaelah! Gimana ceritanya aku akan membuat suamiku bangga kalau begini? Yang ada seorang Hana malah jadi benalu. Apa kuurungkan saja niatku?"Ehem! Mas, saya bali
POV TsabitSeandainya takdir bisa dihindari mungkin saat inilah yang paling ingin kuhindari yaitu bertemu dengan Jingga. Bukan masalah karena dia adalah cinta pertama tapi ini tentang sebuah janji yang saya harus tepati. Bisa saja kukatakan kalau aku sudah mencoba melupakan tapi munafik rasanya jika aku mengingkari bahwa hatiku telah berhasil menghilangkan getarannya saat bertemu Jingga kembali. Karena nyatanya getaran itu masih ada tapi kali ini tak sekuat biasa, aku tak tahu alasannya. Sangat disayangkan, pernikahan sahabat yang seharusnya membuat aku bahagia sebaliknya malah menjadikan diri ini bimbang. Bahkan rasanya tembok yang telah dibangun tinggi mendadak mengalami gempa lokal karena adanya guncangan di dalam dada akibat pertemuan dengan Jingga. "Hallo Tsabit, bagaimana kabarmu? Kamu agak kurusan ya sekarang? Kamu capek, ya?" Itulah deretan kalimat yang pertama kali meluncur dari mulut Jingga ketika setelah sekian lamanya kami kembali bertatap muka, aku tahu sapaan Jingga
"Apa yang kamu harapkan Hana? Apa? Tatapan sayang dari Tsabit? Atau dia memahami perasaanmu yang cemburu? Sudah jelas posisi kamu itu bini bayaran sekaligus conditional yang diakui ketika sedang mendesak setelahnya terima saja kalau suamimu mencintai perempuan lain. Dasar bego! Masih aja berharap lebih?"Aku terus merutuki diri sendiri sambil berlari menjauhi ballroom utama. Entah mengapa aku merasa menjadi orang bodoh setelah melihat begitu dekatnya Jingga dengan suamiku, bahkan mereka saling bertatapan cukup dalam.Oh, shit! Aku benar-benar membenci keadaanku yang gak bisa apa-apa. Seharusnya sejak awal aku memang gak pernah menyetujui pernikahan bodoh ini sehingga aku gak perlu berlelah-lelah berdandan.Mulai sekarang, aku akan mencoba bersikap tidak perduli. Aku tidak perduli jika dia patah hati hanya karena mencintai istri kakaknya sendiri. Aku tidak perduli jika dia menderita hanya karena memendam rasa dan aku juga tidak perduli pada Tsabit yang sekarang menghilang entah ke ma
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia