“Sejak empat tahun lalu aku mulai belajar mencari uang untuk membantu ibuku. Untunglah, di Indonesia ini, wajah campuran asing lumayan diminati. Aku memulai akrirku dengan mengikuti berbagai audisi model iklan televisi. Mulai dari hanya menjadi figuran yang harus syuting dua hari dan dibayar lima ratus ribu, sampai kemudian aku berhasil lolos audisi iklan televisi dengan peran lebih baik. Kemudian aku juga mencoba mengikuti berbagai audisi untuk sinetron. Mungkin aku memang harus berterima kasih karena berdarah campuran Prancis. Kuakui, sepertinya itulah yang membuat aku lebih mudah lolos dalam berbagai audisi,” lanjut Oliver.
Ia kembali menarik napas lega setelah bercerita panjang lebar tentang kehidupan pribadinya kepada Kiara.
Kiara masih memandangi Oliver selama beberapa detik sebelum ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa setelah sejak tadi terlalu serius mendengarkan penuturan Oliver. Kiara menyadari dua hal dalam industry hiburan yang menjadi salah satu keb
Hai, teman-teman. Makasih yang masih baca cerita ini. Salam, Arumi
Kiara bersenandung, lalu senyum-senyum sendiri, entah apa yang sedang dipikirkannya. Livia menyipitkan matanya, menatap lekat wajah Kiara, seolah ingin mengupas semua niat yang tersembunyi di balik ekpresi wajah ceria dan santai itu. Mereka baru saja usai mengepak semua perlengkapan mereka selama nanti syuting di Monte Carlo. Livia hanya membawa satu koper berukuran sedang, sementara Kiara membawa dua kopor besar karena perlengkapannya untuk syuting nanti banyak sekali. Walau sudah disediakan wardrobe yang akan dipakainya untuk keperluan syuting, tetap saja Kiara merasa ia perlu membawa perlengkapannya sendiri jika sewaktu-waktu ia merasa lebih nyaman memakai pakaian dan perlengkapannya sendiri. “Tumben, kamu kelihatan seneng banget mau syuting. Biasanya tegang, penuh tekanan, takut aktingmu nggak oke, dan lain-lain. Sekarang, kamu senyum-senyum terus, nyanyi-nyanyi dalam hati," tegur Livia. "Tentu saja aku senang dong. Syuting di Monte
Perjalanan dengan pesawat selama hampir delapan belas jam lamanya beberapa menit lagi akan berakhir. Dari atas pesawat, mulai terlihat samar gugusan pegunungan di daerah yang dikenal dengan nama Cote d'Azuryang diselimuti kabut putih tipis. Sejak awal berangkat dari Jakarta, Kiara terlihat antusias sekali memulai perjalanannya kembali ke Monte Carlo. Ia memang tidak menganggap tugasnya kali ini sebagai sebuah pekerjaan. Kiara menganggap ini adalah kesempatan merasakan keindahan Monte Carlo lebih lama. Ia sudah punya rencana, akan mengelilingi kota itu lebih detail lagi. Merasakan keindahan serta suasananya yang megah dan glamor. Pesawat yang mereka tumpangi mendarat di bandara Internasional Nice Côte-d'Azur. Bandara ini terletak di Kota Nice, berjarak kurang lebih empat puluh kilometer dari Monte Carlo. Dari bandara ini, perjalanan akan dilanjutkan melalui darat. Rombongan film “Theodore dan Almira” yang berangkat cukup banyak.
Kiara berdecak kagum melihat pemandangan serba ‘wah’ yang ada di sekelilingnya. Monte Carlo memang bergelimang kemakmuran dan terkesan glamor. Selain mewah, Monte Carlo juga menawarkan suasana romantis yang tak terjelaskan, hanya bisa dirasakan oleh Kiara. Lagi-lagi, ia kembali teringat pada Bertrand LaForce, lelaki Prancis yang telah meninggalkannya diam-diam tanpa pesan di kota ini. Akhirnya, setelah melewati berbagai bangunan indah itu, bus yang mereka tumpangi memasuki sebuah hotel yang cukup besar terletak agak di tepian tebing. Membuat pemandangan latar belakang hotel itu demikian indah, laut lepas yang bergelombang dengan beberapa kapal mewah hilir mudik di permukaannya. Kiara menghela napas lega setelah akhirnya bus berhenti. Ia sudah tidak sabar ingin segera menuju kamar yang akan ditempatinya bersama Livia. Ia beruntung, mendapat kamar menghadap laut. Pemandangan dari jendela kamarnya luar biasa indah. Bangunan hotel ini terletak di tempat l
Esok harinya, Livia membangunkan Kiara dengan mengguncang bahunya cukup keras. Kiara mengerjap beberapa kali, tampak masih enggan bangun. "Ra, cepetan bangun, mandi, sarapan! Pak sutradara udah nelpon. Kamu harus siap di lobi hotel jam setengah delapan!" ujar Livia. "Hah? Ngapain sih pagi-pagi amat? Hari ini belum mulai syuting, kan?" sahut Kiara dengan suara malas. "Hari ini survei lokasi. Kata Pak sutradara bakal seharian. Karena itu harus berangkat pagi-pagi. Dia bilang rencananya malah mau ngajak berangkat jam setengah enam supaya sekalian lihat sunrise." Livia menjelaskan. "Aduuh! Hari pertama nyampe udah disuruh bangun setengah enam? Gila dia. Memangnya dia yang bayar aku?" bantah Kiara. "Ini udah hari kedua kita di sini, Ra," ralat Livia. "Iya, tapi kan ini pagi pertama." "Ya udah, kan dia udah berubah pikiran. Cukup pengertian akhirnya dimundurin jadi jam setengah delapan. Cep
Setelah beberapa menit berjalan, Kiara melirik Alaric yang belum menjelaskan apa-apa lagi. “Kita akan ke mana?” tanya Kiara yang mulai merasa perjalanan mereka tidak juga mencapai tujuan. “Kita berkunjung ke Istana Monaco dulu. Itu akan menjadi lokasi syuting adegan Theodore dan Almira janji bertemu untuk yang ketiga kalinya,” jawab Alaric. “Istana itu masih jauh, ya?” tanya Kiara lagi, ia mulai merasa cemas melihat pandangan di depannya tidak menunjukkan adanya bangunan berupa istana. “Ayolah, Kiara. Nikmati pemandangan sekeliling kita. Perhatikan bangunan-bangunan di sini. Resapi suasananya. Ini kesempatan bagi kamu dan Oliver untuk mencoba memahami lokasi syuting kalian nanti,” jawab Alaric tanpa menoleh kepada Kiara. Ia masih saja berjalan denga
“Saat kecil dulu aku belum memikirkan pangeran tampan.” Kiara mnejawab pertnyaan Oliver. “Dan sekarang? Pasti kamu berharap di istana khayalanmu itu ada seorang pangeran tampan yang menunggumu dengan setia, kan?” Oliver bertanya lagi. “Oliver, itu semua hanya khayalanku di masa kecil. Sekarang tentu saja aku nggak pernah berkhayal lagi.” “Ohya? Serius? Kamu nggak pernah berkhayal suatu hari nanti bertemu dengan seorang lelaki tampan yang menyerupai pangeran khayalanmu?” Kiara tertegun. Sepertinya ucapan Oliver ada benarnya. Aneh, ia berharap selama ia berada di Monte Carlo, secara kebetulan ia bisa bertemu lagi dengan Bertrand LaForce, lelaki Prancis yang telah menorehkan kenangan tak terlupakan selama setengah hari di Nice dan Monte Carlo.
Syuting hari pertama dan hari kedua di kota indah ini berlangsung sukses. Tak ada kendala yang berarti. Cuaca bagus, Kiara dan Oliver menyelesaikan adegan yang harus mereka perankan dengan baik. Walau harus berulang-ulang direkam ulang untuk memenuhi hasil yang diinginkan Alaric. Dua hari kemarin, Kiara masih sabar menghadapi Alaric yang menyuruhnya berkali-kali mengulang adegan. Ada yang sampai dua puluh kali. Beberapa kali memang karena Kiara salah bicara. Alaric bukan sutradara yang mudah puas dengan akting biasa, dia menuntut lebih. Baru kali ini Kiara merasakan syuting yang sangat melelahkan. Hingga dia langsung terlelap begitu sampai di kamar hotelnya, tanpa sempat menikmati mandi aromaterapi atau memberi perawatan untuk kulitnya seperti sekadr memasang masker wajah. Kiara hanya sempat mencuci wajah dengan sabun wajah saja. Di hari ketiga ini, syuting sudah dimulai sejak pagi-pagi sekali di lobi Hotel de Paris. Saat pengunjung hotel belum banyak. Perala
Kiara menjauh dari lokasi syuting entah ke mana. Ia pun tidak tahu tujuannya saat ini. Ia hanya ingin menjauh dari Alaric. Ia menghela napas berat, menyadari sikapnya sudah keterlaluan. Selama karir beraktingnya, baru kali ini Kiara menentang ucapan sutradara. “Karena dia sok tahu!” gerutu Kiara pada dirinya sendiri. Untunglah jalur pedestrian yang ia lalui sedang sepi. Warga kota ini sepertinya sibuk beristirahat siang. “Mentang-mentang sudah biasa menyutradarai film Perancis, lalu dia mengira dirinya sudah menjadi sutradara super hebat,” gumam Kiara lagi. Belum pernah ia diperlakukan sekasar itu oleh sutradara-sutradara lain yang mengarahkan film-filmnya sebelumnya. Mas Bram sutradara filmnya sebelumnya, bahkan sangat baik, terkadang membiarkan Kiara berimprovisasi sendiri, sedikit melenceng dari skenario. Tetapi selama ia bisa menghasilkan adegan yang memikat, sutradara membiarkan improvisasi akting Kiara. Si Alaric ini … ternya
Kiara tak menyangka akhirnya dia dan Alaric bisa mewujudkan rencana mereka berbulan madu ke Labuan Bajo. Semua berjalan lancar. Mulai dari rangkaian promosi film "Lost in Bali" hingga pemutarannya selama sebulan di bisokop dan menghasilkan jumlah penonton cukup luar biasa, syuting film baru yang cukup melelahkan menuntut Kiara mengerahkan segala kemampuannya, akhirnya kini Kiara dan Alaric bisa beristirahat hanya berdua saja. Mereka menikmati indahnya pemandangan, bercinta sampai puas tak ada yang mengganggu karena resort yang mereka tinggali ini memang antara satu kamar dengan kamar lainnya berjarak lumayan jauh. Hari ini mereka masih akan bermalas-malasan hanya di hotel, kemudian nanti akan berenang di kolam renang, dan nanti sore mereka akan ke pantai menikmati sunset. Mereka baru selesai sarapan, lalu asyik merebahkan tibuh di hammock yang etrpasang di teras paviliun mereka. Kiara merebahkan kepalanya di dada Alaric. "Mas, bagaimana kalau setelah
Sebulan setelah Alaric dan Kiara menikah, film Kiara yang berjudul "Lost in Bali" mengadakan gala premiere sebelum resmi tayang di bioskop di seluruh Indonesia dua hari lagi. Di acara gala premiere itu tentu saja Kiara bertemu lagi dengan Kafka yang ternyata masih betah berpacaran dengan peran pendukung wanita film itu. Mereka masih tidak saling berbicara, tapi Kiara sudah mulai mau membalas senyum Kafka hanya sekadar sebagai sopan santun dan hubungan baik karena mereka berperan di film yang sama. Alaric selalu menggenggam erat tangan Kiara seolah ingin menegaskan kepada semua orang bahwa Kiara adalah miliknya. Beberapa kali malah Alaric memeluk pinggang Kiara. Bahkan di satu kesempatan ketika mereka sedang ebrbincang sambil menunggu dipersilakan masuk ke dalam studio, tiba-tiba saja Alaric mencium pipi Kiara lama, lalu bergerak ke bibirnya, kemudian mengecup lembut. Kiara terkejut, tetapi membiarkan aksi Alaric itu. "Mas, jangan ciuman di depan publik.
"He, Kiara, kenapa menangis? Aku bikin kejutan ini buat bikin kamu senang, bukan malah menangis," ucap Alaric ketika melihat mata istrinya basah dan perlahan satu dua tetes air mata mengalir di pipi Kiara. Kiara menggeleng. Dia mengambil tisu di atas meja makan, lalu menghapus air matanya. "Aku menangis bahagia, Mas. Aku etrharu. Aku nggak sangka kamu akan melakukan semua ini. AKu kira kamu masih lama bakal diemin aku. Aku mulai paham kebiasaan kamu. Tiap kali kita berdebat, kamu milih diemin aku daripada ribut melanjutkan perdebatan. Aku sudah mengalaminya saat kejadian dengan Kafka. Jadi, ketika semalam dan tadi pagi kamu diemin aku, aku ngerti. Kamu butuh waktu. Tapi aku nggak ngira mood kamu bisa berubah secepat ini," sahut Kiara. Lalu Kiara mencoba tersenyum walau bibirnya masih bergetar. alaric balas tersenyum. Dia mengecup bibir istrinya lembut, lalu dia raih tubuh Kiara dalam pelukannya. Dia biarkan dada Kiara bersandar ke dadanya, dan Alaric me
Hari ini kesibukan Kiara seharian rapat di beberapa tempat. Setelah bertemu Livia dan mengecek lagi jdwal kerjanya untuk satu bulan ke depan, Kiara ditemani Livia menghadiri rapat di sebuah perusahaan iklan yang akan membuat iklan untuk produk minuman kesehatan. Pertemuan itu selesai pukul setengah enam. Kiara berniat akan makan malam dulu bersama Livia sebelum pulang ke apartemen. Karena dia memperkirakan Alaric akan pulang larut, mungkin sengaja untuk menghindari bertemu Kiara. Kiara memang bertekad akan membiarkan Alaric membenahi perasaannya dulu. Dia bukan wanita manja yang senang merajuk dan ngambek bila keinginannya tidak dituruti. Sudah bertahun-tahun dia terbiasa mandiri. Apalagi Kiara menyadri dalam masalahnya saat ini, dia memang salah karena dengan tiba-tiba menghentikan Alaric dan melarangnya berhubungan tanpa pengaman tanpa membicarakan tentang itu lebih dulu. Saat bertemu Livia, ada keinginan Kiara untuk mencurahkan perasaannya, tetapi di
Kiara tak menyangka, pernikahannya dengan Alaric baru berlangsung empat hari, tetapi di hari keempat, mereka sudah tidak saling bicara. Kiara sudah mencoba mengajak Alaric bicara, tapi Alaric hanya menganggapi dengan 'hm' yang pendek. Kiara sadar, mereka memang salah. Padahal mereka berhubungan menjadi kekasih cukup lama sebelum menikah, tapi masih banyak hal dasar dan prinsipal yang belum mereka bahas. Salah satunya tentang menunda punya anak dan bagaimana program penundaan terbaik yang tidak menyakiti kedua pihak. Kiara berpikir jika Alaric mengenakan sarung pengaman saat mereka berhubungan intim, maka itu adalah pengaman terbaik yang paling tidak berbahaya. Atau ada jalan lain dengan memantau masa subuh Kiara. Tetapi Kiara tidak mau jika ada alat kontasepsi yang dimasukkan ke tubuhnya karena biasanya alat seperti itu ada efek sampingnya. Namun Alaric sepertinya masih kehilangan minat untuk menobrol dengan Kiara. Kiara pun menyadari, ini adalah
"Mas, sebentar," ucap Kiara lagi setelah mereka mandi dan mereka sudah bersiap di tempat tidur. Alaric sudah menciumi Kiara beberapa kali. Keningnya mengernyit mendengar Kiara menginterupsinya lagi. "Ada apa lagi, Sayang? Kalau kamu bilang sebentar terus, nanti keburu mood-ku hilang nih," sahut Alaric. "Kita belum benar-benar ngobrolin tentang rencana kita punya anak," kata Kiara. Alaric terbelalak. "Hah?" tanyanya terkejut, tak menyangka Kiara akan mengajaknya membahas tentang rencana punya anak ketika hasratnya sudah semakin tinggi seperti sekarang. "Maksudku, sebaiknya kita pakai pengaman sebelum kita benar-benar membahas tentang rencana kita punya anak," kata Kiara lagi. Minat Alaric langsung lenyap. Dia pun duduk di tempat tidur, menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. "Oke, aku memang salah. Nggak pernah mengajak kamu membahas tentang rencana punya anak denganmu sebelum kita menikah. Jadi, ap
Di bandara Sokarno Hatta, Kiara dan Alaric berpisah dengan Livia karena tujuan mereka berbeda. Kiara merasa aneh dan belum terbiasa dengan situasi ini. Dia masih belum terbiasa tinggal serumah dengan Alaric dan berpisah dari Livia. Tetapi ini lah hidupnya sekarang. Dia sudah memulai membangun sebuah keluarga bersama Alaric. Sopir Kiara masih bekerja dengannya. Karena Kiara masih membutuhkannya jika dia nanti punya kegiatan yang berbeda dengan Alaric. Kiara sudah meminta sopirnya itu menjemputnya di bandara sejak kemarin. Maka, kini Kiara dan Alaric sudah berada di jok belakang mobil Kiara yang dikendarai sopir Kiara. Kiara menyandarkan kepalanya ke bahu Alaric. Alaric hanya melirik istrinya itu dan tersenyum. Dia biarkan Kiara bersandar padanya. Satu jam kemudian mereka baru sampai di apartemen baru mereka. Kiara tentu saja sudah beberapa kali ke apartemen ini, tetapi tidak pernah menginap. Apartemen yang sebenarnya dibeli Alaric tetapi untuk mereka tinggali
Kiara dan Alaric kembali ke Jakarta bersama Livia. Namun mulai sekarang tujuan mereka berbeda. "Liv, kamu tinggal di apartemenku saja. Berani kan kamu tinggal sendiri di situ? Untuk sementara, sebelum aku jual. Daripada kosong dan kamu juga bisa ngirit kan nggak usah nyewa tempat lain," kata Kiara, ketika mereka sedang menunggu panggilan masuk ke pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. "Serius, Ra? Memangnya kapan kamu akan menjual apartemenmu itu?" tanya Livia. "Sepertinya bukan dalam waktu dekat ini. Aku mau nyantai aja jualnya. Nggak usah dipasang diiklan. Sampaikan kabar mau jual itu dari mulut ke mulut aja. Sampai nanti akhirnya ketemu orang yang berminat. Kamu mau kan tinggal di situ dulu? Kan nggak jauh dari apartemenku dan Alaric. Kalau ada apa-apa aku amsih bisa ke situ dengan cepat, atau kamu yang ke apartemen kami," jawab Kiara. "Kenapa nggak kamu sewakan saja, Ra? Nggak perlu dijual. Kan lumayan bisa ada hasilnya, tapi kamu bisa
Kiara dan Alaric masih tinggal satu hari lagi di Surabaya. Ada pesta syukuran yang diadakan bersama oleh keluarga mereka. Bapak, ibu dan adik Alaric yang tinggal di hotel selama di Surabaya, ikut serta dalam acara pesta syukuran itu. Ada om dan tante serta beberapa sepupu Alaric yang juga datang dan menginap di hotel yang sama dengan ayah dan ibunya. Hotel itu jaraknya lebih dekat ke rumah orang tua Kiara. Syukuran itu diadakan di rumah orang tua Kiara. Hanya syukuran keluarga dengan hidangan sederhana. Yang penting mereka bisa berkumpul dan saling mengenal lebih dekat. Sehingga suatu saat bisa saling berkunjung. Kiara senang sekali melihat rumahnya dipenuhi keluarga besarnya. Sama seperti masa lamaran dahulu. Setelah dia kembali ke Jakarta dan hidup hanya berdua Alaric, maka segala keriuhan ini tak akan lagi dia rasakan. Dia pun sibuk merekam momen-momen bersama keluarganya. Kiara meminta satu per satu anggota keluarganya dan keluarga Alaric mengucapkan satu dua pat