“Terima kasih karena sudah mentraktirku makan,” kata Fio sambil menyerahkan helm kepada Bian.
Bian tersenyum dan mengangguk. “Sama-sama, Fi.”
Fio kemudian menyerahkan kantong plastik berisi buku-buku yang tadi dibelinya kepada Bian. Pemuda itu menatap Fio dan kantong plastik itu secara bergantian.
“Ini untukmu! Anggap saja ini hadiah untukmu yang sudah mau berteman denganku setelah sekian lama kamu menghilang.” Fio tersenyum lebar.
“Fi.”
“Aku senang bisa berteman denganmu, kamu adalah salah satu orang baik yang pernah singgah di hidupku meskipun kini kamu menetap sebagai teman,” sahut Fio.
Bian menerima pemberian Fio dengan perasaan campur aduk. “Fi, maaf.” Bian menatap Fio dengan wajah penuh penyesalan.
Fio tersenyum tipis. “Simpan maafmu itu untuk Prisa karena kamu sudah berteman dengan gadis yang paling dia benci di muka bumi ini.”
B
“Kamu pindah kerja di sini?” tanya Rey.Bian menatap dua orang yang kini tengah memandangnya dengan tatapan terkejut. “Ya,” katanya sambil mengangguk.Fio terdiam. Kehidupan Bian tidak banyak berubah. Pemuda itu tetap bekerja paruh waktu meskipun kekasihnya sangat kaya. Fio menahan semua pertanyaan yang sejak mereka berpisah terus saja menghantuinya.“Bi.”“Kalian pesan apa? Ada pelanggan lain yang mau membeli juga,” kata Bian yang terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di layar tablet.Rey kemudian menyebutkan pesanan mereka berdua. Sementara Fio masih diam dan mencoba mencerna apa yang sedang dirinya lihat.“Ayo!” kata Rey.Fio mengangguk dan meninggalkan Bian dengan perasaan yang campur aduk. “Demi keluargaku,” batin Bian.Fio hanya sibuk menatap makanan di depannya. Rey yang bahkan sudah mengunyah makanannya hanya mendiamkan Fio. Dia seolah sedang memberika
“Kamu menemui Fio selama aku di Surabaya, ya?” tanya Prisa.Bian yang sedang berdiri dan bersandar di tembok hanya memandang ujung sepatunya yang terlihat lebih menarik dibandingkan dengan wajah Prisa. Gadis di sampingnya itu berpindah tempat ke hadapan Bian dan bersedekap.“Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?” Prisa masih memasang wajah kesal.Bian menghembuskan napasnya dengan sedikit kasar. “Ya,” jawabnya singkat.“Aku bahkan ke Surabaya hanya sebentar dan kamu sudah berani menemui Fio? Woah! Luar biasa!” kata Prisa. “Kamu bahkan juga makan di kantin berdua bersamanya padahal aku sudah ada di sini,” lanjut Prisa dengan dada kembang kempis menahan marah.“Memangnya kenapa? Kami tidak berselingkuh! Kamu terlalu takut kehilangan aku, Prisa.” Bian mendongak dan mulai menatap kekasihnya.Prisa menghela napas panjang. “Bagaimana mungkin aku tidak takut kehil
Fio baru teringat pertemuan terakhirnya dengan Rey. Fio meletakkan ponselnya ke atas ranjang dengan cara melempar. Dia menghela napas panjang seolah-olah paru-parunya membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak dari biasanya. Fio duduk di pinggir ranjang sambil menatap pintu kamar kos yang tertutup rapat.“Rey sengaja membuatku lupa tentang masalah papa,” katanya.Fio kemudian kembali meraih ponselnya dan mencoba menghubungi mamanya yang ada di Surabaya. Gadis itu beberapa kali mencoba men-dial nomor sang mama namun sampai percobaan keempat, mamanya tidak juga mengangkat telepon darinya. Fio mendesah.Pikirannya berkelana tidak tentu arah. “Kenapa perasaanku jadi tidak nyaman seperti ini?” gumamnya pelan.Fio menelan saliva dengan perasaan cemas yang dia tidak tahu karena apa. Gadis itu kemudian meraih jaket putih miliknya dan berjalan keluar kamar. Fio kemudian segera memesan ojek online yang kini tengah membawanya ke restor
“Kamu bicara apa, Fi?” Brian meneruskan langkahnya dengan tangan yang malah semakin erat menggenggam tangan Fio.Fio diam. Dia mengikuti ke mana Bian akan membawanya. Dan di salah satu angkringan yang tidak terlalu ramai dan berada di salah satu pusat keramaian di Jogja menjadi pilihan Bian. Fio menatap deretan penjual angkringan di sepanjang jalan Mangkubumi.“Kenapa? Kamu tidak suka tempatnya?” Bian yang sudah duduk lesehan menatap Fio yang masih berdiri di depannya.Fio tersenyum dan menggeleng. Dia duduk di sebelah Bian kemudian melepas jaket dan juga tas selempang kecil yang di bawanya.“Ini pertama kalinya aku makan di angkringan,” ucap Fio yang membuat Bian menoleh dengan tatapan tidak percaya.“Kamu serius?” tanya Bian.Fio terkekeh dan mengangguk. “Bisakah kamu memesankan aku minuman hangat? Aku belum terbiasa,” kata Fio.Bian tertawa. “Iya! Aku akan memesankan
“Fi…” Bian bingung harus menjawab apa kepada Fio.“Kamu tahu, Bi? Aku sedih saat tahu karena Prisa sepertinya tahu tentang kamu lebih banyak dari aku.” Fio terkekeh pelan. “Aku merasa kamu dulu tidak pernah menganggap aku sebagai orang penting di hidup kamu,” katanya dengan mata yang kini menatap Bian dengan sorot kecewa.“Fio, aku baik-baik saja dan tentang Prisa…” Bian menelan ludahnya sejenak. “Prisa adalah sahabatku, kami saling mengenal satu sama lain jauh sebelum aku mengenal kamu,” ucap Bian yang membuat dada Fio seperti dihimpit batu.“Aku ke rumah kamu setelah hubungan kita selesai,” ucap gadis itu.Bian tersenyum dan mengangguk. “Aku tahu, apa kamu malu karena pernah pacaran dengan orang miskin seperti aku?” tanya Bian.Fio menggeleng dengan cepat. “Aku tidak pernah malu, justru aku sedih dan kecewa pada diriku sendiri dan pada diri kam
“Semalam kamu pergi dengan mantan kamu, ya?”Bian yang baru saja sampai di apartemen milik kekasihnya hanya bisa menghela napas panjang. Dia diam dan memilih masuk ke dalam apartemen Prisa tanpa menatap gadis itu. Prisa membanting pintu dan berjalan cepat untuk mengejar Brian.“Kamu berani menantangku?!” suara Prisa terdengar nyaring dengan tangan yang sudah memegang pergelangan tangan Bian.Bian menatap kekasihnya dengan wajah lelahnya. “Aku sedang tidak enak badan, kenapa kamu tiba-tiba marah kepadaku? Semalam aku memang bersama dengan Fio tapi kami tidak melakukan hal yang melebihi batas.” Bian melepaskan tangan Prisa dan berjalan menuju sofa.“Tidak melewati batas?” Prisa memicingkan matanya. “Kamu bertemu dengannya saja itu sudah melewati batas bagiku, Bian!” Prisa berjalan dengan kaki menghentak.“Dia hanya bertanya tentang papanya, jangan berlebihan!” Bian memutar bola m
“Ibu, apa kabar?” Bian tersenyum.“Kabar ibu sangat baik,” jawab wanita yang sudah melahirkan Bian dari seberang telepon.Malam itu Bian tiba-tiba merindukan ibu dan juga Nara, adiknya. Dia merasa kesepian meskipun selalu ada Prisa yang menemani hari-harinya. Benaknya selalu kembali ke kota Surabaya, kota di mana dia berada di satu rumah yang sama dengan ibu dan adiknya. Tidak hanya itu, di sana dia bertemu dengan Fio dan kisah mereka berjalan layaknya air.“Halo? Bian?”Bian mengerjapkan matanya kala sang ibu memanggilnya. “Ya? Maaf, Bu, Bian tadi sedang minum.” Bian memilih berbohong kepada ibunya.“Kamu sudah makan, Nak?”Bian mengangguk. “Sudah, Bu.” Bian kemudian turun dari ranjangnya dan duduk lesehan di atas karpet di dalam kamar kosnya. “Nara, bagaimana kondisinya, Bu?” tanya Bian.Helaan napas terdengar di telinga Bi
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t