Tanpa sepengetahuan Maura, keesokan harinya Queen mendatangi apartemen Selly. Sedikit ragu, ia menekan bel. Tak lama kemudian, Selly membuka pintu. Terkejut dan tidak menyangka jika pagi itu akan kedatangan tamu.
"Tamu tak diundang." Selly tersenyum sinis. "Rafael milikku, dan dia tidak mungkin kembali padamu."
Usai Selly mengucapkan kalimatnya, Queen mengangkat tangan dan menampar Selly sekuat tenaga. "Aku tidak akan mengemis cinta pada Rafael. Aku hanya ingin mengatakan, kau ... wanita jahat yang mencuci otak Rafael hingga dia tega membatalkan pernikahan kami. Kau pantas mendapatkan ini."
Sekali lagi, Queen melayangkan tangan hingga membuat Selly terjajar ke belakang. Tidak mau kalah, Selly bergerak maju dan menjambak rambut Queen. "Berkacalah! Siapa di antara kita yang tidak punya hati! Aku yang terlebih dulu memiliki Rafael, lalu tiba-tiba kau datang dan tanpa tahu malu menjadi orang ketiga. Apa namanya jika seorang wanita mau tidur dengan lelaki asing? Perempu
Rafael mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Rasa cemas dan ketakutan itu semakin menjadi. Napasnya memburu, ia menginjak pedal gas semakin dalam. Sialnya, lampu lalu lintas yang semula hijau, berubah menjadi merah. Terpaksa, Rafael berpindah menginjak pedal rem dan mobilnya berhenti mendadak.Rafael menoleh ke kursi belakang. Di sana, Queen terbaring lemah sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri. Wanita itu mengalami perdarahan setelah beberapa jam lalu Rafael menjejalkan butiran pil ke dalam mulutnya.Awalnya, Rafael memang ingin melenyapkan bayi itu. Pikirannya kalut saat ia memutuskan untuk mengikat kedua pergelangan tangan Queen, lalu memaksa wanita itu menggugurkan kandungannya. Tidak dipedulikannya Queen yang terus memohon dan memberontak, yang di pikiran Rafael hanya satu. Rafael ingin menyelamatkan kebahagiaan anak di perut Selly, dan mengorbankan anaknya yang lain.Tentu saja kegilaan itu muncul di saat bayangan Mama yang roboh tidak berdaya se
Rafael menarik napas panjang, lantas memberanikan diri membuka pintu kamar perawatan. Yang pertama kali ia lihat adalah Queen, terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya sayu, bibirnya pucat serta mata terpejam rapat. Terlelap setelah dokter menyuntikkan obat penenang.Setelah menutup pintu, Rafael melangkah dan duduk di kursi samping ranjang. Dengan hati-hati menyingkirkan helaian rambut yang menjuntai di wajah Queen. Rafael tersenyum miris. Dulu, ia begitu antusias menggiring kelincinya ke dalam perangkap yang ia buat. Namun, sekarang Rafael justru terperangkap bersama-sama dengan buruannya. Ironis, bukan?"Bagaimana rasanya? Sakit?" tanya Rafael lirih, meski ia tahu Queen tidak mendengarnya. "Sama, aku juga terluka kehilangan bayi kesayanganku."Perlahan, Rafael menyentuh punggung tangan Queen dan menggenggamnya erat. Tatapannya enggan lepas dari wajah pucat di hadapannya. Kemudian, jemari kokohnya terulur, mengusap sisa air mata di pipi wanita itu. Dan ketika pi
Lima Tahun Kemudian MILAN, ITALY"Grazie!" Queen mengucapkan terima kasih pada kurir pengantar pizza."Prego!" Lelaki muda pengantar pizza itu mengangguk sopan sebelum berlalu meninggalkan Queen.Queen menutup pintu dan membawa pizza ke meja ruang tamu. Duduk santai di sana sembari menonton acara musik yang ditayangkan secara live di salah satu stasiun TV. Tanpa menunggu lama, ia membuka box dan mengambil satu potong pizza. Di waktu yang bersamaan, ponselnya berdering."Queen, kau sedang apa? Sudah membeli tiket pesawat? Sudah membereskan semua barang-barangmu? Jam berapa kau terbang? Apa anak-anak di sekolah sedih karena kau tidak mengajar di sana lagi?" Nara memberondongkan pertanyaannya."Aish, Nara! Pertanyaan mana yang harus kujawab dulu? Tidak bisakah kau bertanya satu-satu?"Nara tertawa renyah. "Astaga, maaf. Aku terlalu antusias ka
"Wow, ternyata bermain piano sangat menyenangkan!" Alsen bertepuk tangan setelah mempelajari kunci dasar piano. Ini hari pertama ia belajar bersama guru les."Akan lebih menyenangkan jika kau sudah mahir memainkannya," ucap Queen sembari membereskan lembaran kertas materi."Terima kasih, Nona Queen. Oh ya, kata Mama setelah selesai mengajar, jangan buru-buru pulang. Mama mengundang Nona untuk minum teh dan makan malam bersama kami."Queen melirik jam Tiffani & Co di pergelangan tangan, tepat pukul 17.30. "Oke, Alsen. Kebetulan malam ini aku tidak ada acara. Kalau begitu, aku akan bermain piano sambil menunggu ibumu datang.""Oke, Nona. Selamat sore." Alsen tersenyum lebar, menunjukkan gigi putih yang tersusun rapi. Kemudian, hanya dalam hitungan detik, bocah itu sudah melesat pergi.Queen mengawasi tubuh mungil itu hingga menghilang di balik pintu. Ia menghela napas kasar, dadanya terasa sesak. Selalu begini, ketika berinteraksi dengan anak
"Masih ingat teori yang kita pelajari tadi tentang tangga nada mol dan kres?" tanya Queen."Hehem ...." Kaneesha mengangguk singkat.Kedua perempuan berbeda generasi itu duduk bersisian di hadapan sebuah piano. Sejak dua hari yang lalu, Queen menjadi guru les piano untuk Kaneesha. Tidak terlalu sulit mengajari gadis kecil itu. Kaneesha anak yang pintar dan cepat menyerap setiap materi dari gurunya.Dari semua murid yang pernah diajar oleh Queen, sepertinya Kaneesha akan menjadi murid kesayangan Queen. Meski masih kecil, tetapi Kaneesha begitu antusias mempelajari seluk beluk piano.Bahkan, jari-jari mungil itu terlihat begitu luwes menekan tuts piano, lantas matanya berbinar indah saat mendengar nada-nada yang dihasilkan oleh tekanan jari-jarinya. Seolah, Kaneesha dan piano adalah pasangan yang tidak terpisahkan."Tangga nada mol yang disimbolkan seperti huruf b kecil, artinya not turun setengah dari nada asli. Kita ambil contoh D mol.
Queen pikir masa lalu sudah tertinggal jauh di belakang. Ternyata ia salah. Hanya dalam hitungan detik, ia kembali terlempar ke masa lima tahun yang lalu. Di mana terakhir kali ia bertemu dengan lelaki ini?Di kamar rawat inap, tempat Queen menghabiskan seluruh air mata. Dan lelaki di hadapannya, tanpa perasaan merayakan kebebasannya. Menganggap bayi itu tidak pantas hidup karena hanya sebuah kesalahan. Sesimple itu. Memilih bayi lain yang menurutnya pantas mendapatkan kehidupan.Dan bayi itu tak lain adalah … Kaneesha. Anak perempuan yang membuat Queen jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, kenapa harus Kaneesha?Queen menunduk, menghindari tatapan tajam Rafael. Menarik napas dalam-dalam, lantas rahangnya terkatup rapat. Jangan menangis, Queen! Air matamu terlalu berharga untuk menangis di depan Rafael! Jangan terlihat lemah atau lelaki ini akan leluasa menginjak-injakmu!“Lucu sekali.“ Queen tertawa hambar. “Berhati-hatilah jika tidak ingin terjeb
Cukup lama Rafael berdiri di depan pintu apartemen milik Queen. Malam itu, setelah ia tidak memiliki cara lain untuk mengatasi putrinya yang merajuk, Rafael terpaksa meminta alamat tempat tinggal Queen pada Aldric.Dan di sinilah ia berdiri sekarang. Demi Tuhan, kalau bukan karena permintaan putri kesayangannya, Rafael tidak sudi datang pada masa lalunya. Ya, tidak ada kata memohon dalam kamus hidup Rafael.Rafael mengusap wajah kasar. Setelah menarik napas panjang, ia memberanikan diri menekan bel pintu. Berharap Queen segera membukanya dan mengiyakan permohonan Rafael. Sesimple itu. Lagipula, jam pelajaran piano Kaneesha hanya satu jam, itu pun di saat Rafael pergi ke kantor. Setidaknya, Rafael tidak akan bertemu dengan Queen.Ah ya, mungkin dia perlu menambah CCTV di seluruh sudut rumah. Atau ia perlu menambah security khusus untuk menjaga Kaneesha saat Queen sedang mengajar les piano. Rafael pikir, keselamatan Kaneesha adalah yang nomor satu.
Rafael membuka pintu kamar Kaneesha dengan hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ia melongokkan kepala, matanya tertuju pada ranjang di tengah ruangan. Di sana, Queen tertidur dengan posisi menghadap pada Kaneesha. Handuk basah masih menempel di kening bocah perempuan itu.Tanpa sadar, Rafael tersenyum melihat pemandangan manis di depannya. Akhirnya, setelah berbulan-bulan tidak merasakan kasih sayang ibunya, malam ini Kaneesha bisa merasakan hangatnya dekapan sosok seorang ibu.Rafael melangkah perlahan, ingin melihat mereka dari dekat. Kaneesha tidak lagi mengigau seperti beberapa jam yang lalu. Mata itu terpejam rapat dengan jari-jari mungilnya memegang tangan Queen.Rafael mendesah. Mau tak mau, ia harus mengakui jika Queen seorang wanita yang tulus. See, bahkan setelah Rafael dan Selly melukai Queen, wanita itu menyingkirkan ego untuk merawat Kaneesha, bahkan menemani tidurnya.Melihat ini, Queen tidak mungkin menyakiti Kaneesha ata
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang