Alis Aaron spontan bertaut mendengar pertanyaan ayahnya. Jane juga tidak kalah terperanjat, dia menatap Aaron dengan tatapan penuh selidik.
"Terlibat dalam kematian Kevin? Apa maksud Papa?" tanya Aaron heran.
Benyamin menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang mendadak berdebar lebih cepat.
Membicarakan hal yang krusial begini sebenarnya bukan hal yang mudah bagi Benyamin. Apa lagi dirinya dan Aaron jarang melakukan pembicaraan berat.
Sejak Aaron menggantikan posisinya sebagai CEO, seolah ada jurang tak kasat mata di antara mereka berdua. Mereka tidak saling membenci, tapi untuk menunjukkan saling cinta juga tak mudah.
"Apakah kau yang berada di balik bangkrutnya Williams Foods?" tanya Benyamin lagi.
Kali ini pertanyaannya langsung pada pokok permasalahannya.
Aaron terdiam, rahangnya bergerak-gerak, sementara sepasang netranya menatap lurus ke arah Benyamin.
Namun, ekspresi itu tidak bertaha
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi Jane masih belum bisa memejamkan matanya. Tubuhnya terasa remuk hingga ke tulang. Pangkal pahanya terasa nyeri, organ intimnya lecet dan terasa pedih hingga ke dalam. Sementara kulit di sekitar dada Jane penuh oleh bekas gigitan Aaron. Jane bangkit lalu duduk bersandar di atas ranjang, melirik Aaron yang tertidur pulas di sampingnya. Hati Jane terasa perih mengingat perlakuan Aaron semalam. Dia mendadak menjadi beringas dan kasar. Sedikitpun tidak ada bisikan kasih sayang dari pria itu selama menggaulinya. Sorot mata Aaron hanya menyiratkan dominasi kepemilikan. Lewat aksinya seolah-olah Aaron berkata, Jane adalah miliknya, terserah dirinya akan berbuat apa. Jane meluncur dari ranjang empuk itu, lalu beringsut ke kamar mandi. Semua persendiannya terasa nyeri. Jane tidak bisa menahan laju air matanya saat menatap bayangan dirinya di cermin. Meskipun Aaron adalah calon suaminya, tapi Jane sulit m
Aaron melangkah gontai meninggalkan atelier Jane. Pikirannya terasa kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, telinganya terus terngiang kata-kata Jane. Matanya pun terus terbayang ekspresi Jane yang dingin dan penuh luka. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menghela napas panjang, mendongakkan kepala menghadap langit untuk beberapa saat, lalu masuk ke mobil kesayangannya. Wajahnya kuyu, lemas tak bercahaya. "Hari ini aku tidak masuk. Jangan hubungi aku jika tidak terlalu penting," titahnya via sambungan telepon. Dengan tatapan lurus, Aaron menginjak pedal gas, lalu meluncur meninggalkan atelier yang telah memberikan kesan pahit atas sikap dingin Jane. Untuk jangka lama, memori Aaron akan merekam tempat itu sebagai tempat yang memberikan kenangan tidak menyenangkan. Namun, ingatannya melayang pada peristiwa malam tadi di kediaman Jane. Jika dengan sikap dingin Jane, dirinya sudah mendapatkan pengalaman buruk, lantas bagaimana dengan perasaan
"Mmm-memangnya apa yang akan kau lakukan?" tanya Daniel gelisah. Dia sudah mendapat firasat buruk, Aaron pasti merencanakan hukuman terberat untuknya. "Kau tidak akan pernah bisa bayangkan," desis Aaron. Ia menatap Daniel dengan tajam, lalu berbicara dengan nada rendah. "Akan kubuat kau berada di sel isolasi yang sempit. Kau tidak bisa berdiri lurus karena lotengnya rendah. Kau juga bisa tidur dengan meluruskan kaki, karena ruangannya pendek. Kau hanya bisa berjalan dengan setengah berdiri," kata Aaron menggambarkan ruangan sel yang akan ditempati Daniel. "Kau keterlaluan! Bagaimana kau bisa tidak manusiawi begini hanya karena perempuan itu?" protes Daniel keras. Ia bisa bayangkan betapa tersiksanya dirinya nanti saat berada di ruangan super duper sempit itu. "Perempuan yang kau sebut itu adalah tunanganku. Calon istriku!" teriak Aaron. Tangannya mengepal, lalu jatuh dengan keras di atas meja, menyiptakan suara yang berde
"Mengapa kau keluar dengan telanjang begitu, Sayang?" Lindsay langsung mendominasi pembicaraan seolah ingin menunjukkan kepada Jane bahwa dirinyalah sang tuan rumah. Ia melangkah mendekati Aaron dengan gerakan menggoda. "Jaga bicaramu, Lindsay," tegur Aaron ketus. "Mengapa kamu marah? Kamu pasti masih kelelahan karena kejadian semalam, kan," ujar Lindsay dengan jari telunjuk mengelus perut Aaron yang kotak. Sementara dadanya yang besar menempel di lengan Aaron. Jane membuang muka ke samping, jengah melihat tingkah Lindsay yang berusaha memanas-manasinya. "Apa yang kau lakukan?!" sergah Aaron kesal. Ia menepis tangan Lindsay dengan keras, lalu mendorong tubuh gadis itu hingga ia terduduk di sofa. "Jangan salah paham, Jane. Tidak ada yang terjadi di antara kami," kata Aaron dengan wajah frustasi. "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya Jane dingin. Wanita mana yang tidak akan berprasangka melihat kekasih hati berada
"Apa maksudmu melakukan semua itu di depan Jane, hah?" sergah Aaron pada Lindsay yang senyum-senyum sendiri melihat kepergian Jane. "Memangnya apa yang aku lakukan?" Lindsay balik bertanya pura-pura tidak tahu dengan kesalahannya. "Kau memfitnahku di depan Jane! Aku sungguh muak dengan tingkahmu Lindsay," ujar Aaron dingin. "Aku juga muak padamu. Aku bahkan membencimu. Kau tahu itu?!" teriak Lindsay tidak kalah emosi. Lindsay sebenarnya tidak suka dengan status barunya sebagai adik angkat Aaron. Dia akan lebih senang jika Benyamin menjadikannya menantu. Namun, Lindsay tidak punya pilihan lain. Dirinya sebatang kara semenjak kematian ayahnya yang begitu tiba-tiba. Sementara utang yang ditinggalkan sang ayah menumpuk. Harta berupa rumah, tanah, dan kendaraan memang masih ada. Namun, itu semua masih belum cukup untuk melunasi semua utang itu. Sekarang Lindsay harus bersyukur karena masih memiliki rumah untuk berteduh, dan uang yang
"Selamat malam. Apakah Anda ... Nona Jane Ariesta?" Sebuah suara terdengar menyebut nama Jane dari sisi kirinya. Jane menoleh, sepasang netra miliknya langsung beradu tatap dengan sepasang netra berwarna hitam pekat. Wajahnya terlihat ramah, tatapannya terlihat jelas menawarkan persahabatan. Ditilik dari wajahnya, Jane yakin pria yang baru saja menyapanya itu berdarah asli Indonesia seperti dirinya. Namun, ketika sebagian besar orang-orang di kota Big Apple memanggil Jane dengan Ariest, bagaimana bisa pria itu mengenal Jane, bahkan menyebut nama aslinya? "Ya, selamat malam. Maaf, bagaimana Anda bisa mengenal saya?" jawab Jane, seraya balik bertanya heran. Pria bermata teduh itu tersenyum. "Saya penggemar berat Anda, Nona Jane. Lemari istri saya hampir dipenuhi oleh hasil rancangan Anda," jawabnya dengan ramah. Sepasang netra milik Jane langsung berbinar. Bertemu dengan orang yang menyukai karyamu itu sebuah anugerah, kan?
Jane merapatkan sweaternya untuk menghalau suhu dingin yang menusuk tulang. Tak terasa satu minggu sudah ia habiskan waktu bersantai di Bandung, kota kelahiran mendiang ibunya. Tujuh hari yang lalu, sekitar pukul 8 malam, setelah sempat terkendala cuaca buruk, pesawat Qatar Airways yang Jane tumpangi akhirnya berhasil mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Berhubung hari sudah malam, Jane pun memutuskan menginap di Jakarta Airport Hotel yang masih berada di lingkungan bandara, untuk malam itu. Keesokan harinya, sekitar pukul 7 pagi Jane checkout, tanpa membuang waktu menyetop taxi langsung mengunjungi makam ibunya. Jane melepaskan semua kerinduan dan keresahannya di atas batu nisan yang dingin itu. Dua tahun lebih tidak mengunjungi makam ibunya, rasa bersalah hadir di hati Jane. Makam ibunya nyaris tidak dikenali lagi karena telah ditutupi oleh rumput yang tinggi. Jane sesegukan sambil mencabuti rumput-rumput itu. "Maaf
"Hmm ... Mohon maaf jika saya lancang, Nona Jane. Dari informasi yang saya dengar Anda telah bertunangan dengan CEO The Caldwell Company. Apakah hubungan Anda masih berlanjut?" Jane terpaku. Pertanyaan Bima benar-benar mengejutkannya. Ia tidak menyangka di desa Ciwidey ini dirinya akan mendengar seseorang menyebut nama Caldwell dengan begitu mudahnya. Jane tercekat, lidahnya mendadak terasa kelu. "A-anda mengenal CEO The Caldwell Company?" tanya Jane terbata. "Tidak secara pribadi. Namun, kami pernah menghadiri acara yang sama di beberapa kali kesempatan," jawab Bima. "Yah, Anda tahu sendiri, gosip menyebar cepat bersama angin," sambungnya lagi. Jane menunduk. Luka di hatinya kembali terbuka. Jane terus menunduk dengan raut wajah sendu. "Hmm ... maaf Pak Bima. Sepertinya saya sudah pergi terlalu lama. Saya harus segera kembali ke homestay," elak Jane seraya melihat arloji di pergelangan tangannya. "Bu Surti pasti sudah menunggu kedatanga
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku