Tali di kepala ranjang dan bercak darah itu kembali menari-nari di pelupuk mata, sementara dada dihantam badai kengerian.
“Abaang?” panggilku takut-takut.“Heem?” Dia menatapku, teduh. Sisa air wudhu yang masih membasahi wajah dan rambutnya meninggalkan aura segar. Bang Sam memang sangat tampan.Hatiku berdesir, campur aduk. Ngeri dan juga … entah. Sulit otakku mencerna dan mendeskripsikan.“Cu-ma sholat, kan?” Aku membalas tatapannya sekilas lalu menunduk, pura-pura membersihkan kuku. “Pergilah wudhu, Abang tunggu,” ujarnya sekali lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Dadaku berdesir lagi.Ragu-ragu aku beranjak ke kamar mandi dan menyempurnakan bersuci, sedangkan jantungku sungguh tak hendak diajak kompromi. Ritmenya semakin naik dan membuat ujung-ujung anggota gerakku terasa dingin.Perlahan, aku menghirup dan melepaskan napas sekedar mengurangi tekanan dalam dada.Betapa khawatirku bertambah besar saat keluar dari berwudhu, pintu kamar sudah tertutup rapat.Iyuuh! Mati sudah.Aku gigit bibir bawah kuat-kuat, meski jantung semakin keras menggedor dada hingga ulu hati terasa ngilu.“Ayo!” ajaknya sambil berdiri.Sajadah sudah terhampar rapi di antara boks bayi dan ranjang tempatku biasa menghabiskan malam selama di rumah besar ini, berdua dengan Amanda.Gemetar aku kenakan mukena dan berdiri takut-takut di belakangnya.Bang Sam mengimamiku dengan sangat baik. Bacaannya sangat tartil dengan suara merdu. Mungkinkah laki-laki lembut ini mampu dan tega melakukan penyiksaan demi sebuah kepuasan? Entah. Semua serba mungkin.Senyatanya, suaranya saat membacakan ayat-ayat suci sedikit menyirami kegelisahan hatiku. Sangat sulit untuk mengatakan mudah menolak jatuh cinta dengan sosok laki-laki ini. Bang Sam sungguh penuh kharisma.Begitukah caranya menaklukkan hati Ayuk Fatma? Membuatnya bertekuk lutut dan jatuh cinta sehingga mandah saja diperlakukan sesukanya?Bisikan-bisikan buruk masih saja berkhidmat di dalam batok kepala. Aku sama sekali tidak bisa khusyu’ mengikuti gerakan sholatnya.Selepas salam, dia duduk terpekur lama dan berdoa. Aku diam di belakangnya dan tidak berani bergerak. Sementara hidung seperti lupa bagaimana caranya bernapas yang benar.Tidak berselang lama, Bang Sam berbalik dan menatapku.Aku membeku.“Dek, boleh?”“Apa?” Aku sontak terkejut dan menjawab dengan suara bergetar.“Abang pegang kepalanya?”“Eh, iya. Boleh. Silahkan.” Aku gemetar hebat.Baru kali ini ada laki-laki yang memegangku. Ini sungguh pengalaman yang sangat tidak biasa. Perasaanku campur aduk manis asamnya.“Maaf, ya?” ujarnya.Dia lalu meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku dan mengucapkan sebait doa. Hatiku semakin dingin saja rasanya.Selepas itu, Bang Sam mengulurkan tangannya. Ya Allah, gemetarku semakin tidak terkendali.“Dek?” Dia mengulanginya sambil menatap tangannya sendiri. Aku tahu, Bang Sam memintaku untuk mencium tangannya.Tidak ada pilihan, aku raih tangan itu dan menciumnya sekilas, sementara dentam dalam dada semakin tidak keruan.Aku harus segera menjauh dari laki-laki ini jika tidak ingin hal buruk terjadi setelah ini.Tergesa aku bangkit untuk melepaskan mukena, sementara jilbab rumah masih bertengger di kepala. Aku masih tidak rela jika harus memperlihatkan mahkota kepadanya.Nahas!Ketergesaanku berdiri membuat pandangan seketika gelap dan aku limbung.Nyaris saja aku terjerembab ke lantai jika saja kedua tangan Bang Sam tidak sigap menangkap tubuhku.“Ups!” pekiknya tertahan.Ya Tuhan, mati sajalah ini! “Dek! Hati-hati!” sambungnya. Sementara aku masih membeku dalam pelukannya, tidak tahu harus berbuat apa.Harum keringatnya menguar dari dada yang menempel rekat di pipiku. Apakah ini yang namanya bau feromon? Senyawa kimia tubuh yang mempengaruhi respon sosial dan ketertarikan seseorang pada lawan jenis? Debaran semakin meraja, dengan rasa yang berbeda.Tiba-tiba aku merasa nyaman dalam dekapan laki-laki bergelar suami ini. Ada dorongan balik dalam dada untuk memeluknya. “Norak sekali kamu, Airin” ucap hatiku.Selekasnya aku menjauh. Jangan sampai jatuh dalam pesona dan berakhir menjadi korban kelainan orientasinya.Namun gagal, ketika tangan kokoh itu menarik kembali tanganku dan tubuh jatuh ke dalam rengkuhannya sekali lagi.“Diamlah di sini. Adek pasti lelah dan kurang tidur menjaga dan merawat Amanda seorang diri. Abang minta maaf tidak terlalu memperhatianmu. Abang … masih belum bisa melupakan Ayuk kau,” ujarnya panjang lebar.Aku tertegun dan tidak berani bergerak sedikit pun.Bang Sam mendorong sedikit tubuhku dan beranjak. Meraih botol minyak telon di meja sisi boks bayi lalu kembali duduk di belakangku.“Buka mukenanya,” pintanya pelan. Meski dengan degup yang masih tidak beraturan dan gemetaran, aku turuti juga apa yang menjadi permintaan lelaki ini.“Adek pasti capek dan kurang tidur. Maafkan Abang tidak membantumu mengurus Amanda.” Dia mengatakan itu sambil mulai memijat pelipisku dari belakang.Aku bergidik meski akhirnya mulai tenang. Tangannya kemudian bergerilya di sekitar kepala dan pundak. Memijit, memutar dan menepuk perlahan. Perlakuannya itu tentu saja semakin membuatku rileks dan nyaman.Bang Sam melakukan itu sambil bercerita tentang keseharian, tentang usaha, dan tentang pekerjaannya. Dia bilang aku harus mengenalnya lebih dalam.“Karena kita akan hidup seatap sampai menua, Dek,” ujarnya pula.Aduuuh! Sampai tua? Seumur hidup itu terlalu lama. Aku ingin berteriak saja rasanya.Tangan yang terasa terampil itu lalu pindah ke punggungku. Memijat dengan tekanan lembut. Pantas saja kalau Ayuk Fatma begitu membanggakan suaminya. Bang Sam memang sangat paham bagaimana memperlakukan pasangan.Mataku lalu meredup, masih di atas sajadah yang kami berbagi mendudukinya. Tubuh dan mentalku memang sangat lelah. Kepiawaian tangan Bang Sam memijit punggung membuat kantuk tidak lagi tertahan.**Aku merasakan dada yang sesak dan sulit bergerak betapapun mencoba. Ruangan temaram yang tampak familiar.Ruang tidur utama!Ya Tuhan! Kenapa aku berada di sini?Aku mencoba bergerak tapi tenaga seperti tersedot habis begitu saja. Sekedar bernapas pun tersengal. Berteriak juga aku tidak bisa lakukan. Semakin mencoba meronta, tubuh justru terasa semakin lemasSegala doa aku rapalkan dalam hati memohon pertolongan. Pada saat itu aku menyadari sedang terbaring di ranjang Ayuk fatma dan suaminya dengan posisi tangan terikat tali dan bergantung terentang di atas kepala. Benda mengerikan yang aku lihat beberapa hari belakangan.Aku mengutuki diri karena sudah terlena dengan bujukan dan berakhir seperti ini.Aku memindai sekitar. Lampu besar sudah dimatikan, hanya tersisa pendar redup bohlam yang ditudungi penutup bulat di atas nakas sisi ranjang.Lamat aku mendengar dehem seseorang. Bang Sam! Pasti dia.Laki-laki itu mendekat. Dia hanya mengenakan celana pendek selulut dengan bertelanjang dada. Tubuhnya basah oleh keringat. Sementara tangan laki-laki itu memegang sebuah ikat pinggang.Kali ini, aku benar-benar mati.“Airin!” panggilnya sedikit berteriak. Aku menatapnya khawatir.Mata laki-laki itu nyalang dan penuh nafsu angkara murka. Begitulah yang aku definisikan.Sekujurku gemetar. Napas semakin sesak dan sulit mendapatkan udara untuk dihirup. “Kau adalah istri Abang. Aku punya hak penuh atas hidup dan tubuhmu. Dak ado kata tidak atau ….”Atau apa? Laki-laki itu tidak meneruskan ucapannya, sementara mulutku seperti terkunci, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.Dia hanya terkekeh dan kian mendekat. Aku semakin gemetar dan terengah-engah. Dada terasa sakit karena kekurangan oksigen. Tubuhku lumpuh.Apa yang terjadi padaku sebenarnya. Apakah laki-laki ini memasukkan sesuatu ke tubuhku. Obat?Ya Allah! Duniaku dihantam kengerian luar biasa.Dalam samar cahaya aku jelas melihat Bang Sam mengangkat ikat pinggang di tangannya tinggi-tinggi mengarah ke tubuhku.Laki-laki itu menghajarku tanpa ampun.“Hhmmmp … hhmmp!” Mulutku masih juga tidak sanggup bersuara. Sementara aku melihat kepuasan di sorot mata suamiku itu.Lagi. Kakiku yang bertelanjang mendapat giliran berikutnya. Betapa pun ingin melawan, tubuhku masih tidak mampu bergerak.Wajah Bang Sam semakin beringas.“Hhmmp … hhmmp … hhmmp!” aku terengah-engah.Sekali lagi, ikat pinggang itu terangkat tinggi-tinggi. Aku memejamkan mata bersiap mendapatkan deraan selanjutnya.“Aaaaa!!”Untuk pertama kalinya teriakan keluar juga dari mulutku.**Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Kami makan dalam kehangatan sebuah keluarga. Bisa dipahami jika Bang Sam memiliki pribadi yang santun dan penuh perhatian. Barangkali sikap Amak yang seperti itu dicontoh oleh putra tampannya itu.Tiba-tiba ponselku berdering.Rumah sakit mengabarkan bahwa audit maternal perinatal (Serangkaian kegiatan penelusuran sebab kematian atau kesakitan ibu, bayi, dan bayi baru lahir guna mencegah kesakitan dan kematian serupa di masa yang akan datang) akan segera dilakukan.Lidahku mendadak kelu. Hari-hari di mana aku dan tim akan menjadi pesakitan akan di gelar dua hari dari sekarang.Sementara, aku sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan laporan.“Ada apa?” Bang Sam heran melihatku terpaku sambil memeluk ponsel di dada.“Audit.”“Tentang Ayuk?”Aku mengangguk sementara air mata spontan luruh.**Semua kenangan berkelindan menyerbu kepala. Wajah Ayuk Fatma, persahabatan kami, dan wasiat terakhirnya.Beberapa hari ke depan, aku dan tim akan duduk di kursi pesakitan, ditanya layaknya terdak
Waktu merambat perlahan hingga masing-masing pamit undur diri ke peraduan. Zain dan Zidan juga sudah beberapa waktu lalu diantar papanya. Mendongeng dulu, begitu kebiasaan mereka, cerita Si Pahit lidah atau Malin Kundang. Jika bosan papanya diminta membacakan buku cerita favorit mereka. The Little Prince. Kisah petualangan seorang pilot yang terdampar di padang gurun dan bertemu pangeran kecil dari planet lain. Bang Sam menceritakan ini padaku kemarin malam.Aku masih terpaku di tempat dengan bayi yang terlelap dalam pangkuan. Kamar mana yang harus kutuju? Kamarku dan Amanda atau kamar utama?Ada debar yang makin meningkat di dalam dada. Sejujurnya, aku belum siap untuk satu ruang semalaman dengan laki-laki penuh pesona itu.“Dek?” panggilnya.Aku terhenyak kaget karena sedang membayangkan sesuatu yang menggoda. Bahasa gaulnya, sesuatu yang iya iya. Bang Sam pasti telah selesai menidurkan buah hatinya“Kok masih di sini?” Bang Sam mengambil posisi duduk di sampingku.“Belum bisa tidur
Bang Sam seperti tidak peduli. Dia menangis dalam sedu sedang yang panjang dan menyayat. Membuat suasana pagi semakin mendung.Bang Sam lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku yang terduduk di sisinya. Dia yang selama ini mencoba tegar, akhirnya tumbang juga dihajar kepahitan.“Menangislah, Abang. Menangislah. Tumpahkan saja semua yang mengganjal,” ucapku sambil membelai kepalanya. Hatiku pilu melihat kondisinya.Tidak lama kemudian tangis itu reda. Aku lalu membimbingnya ke kamar untuk mandi, memutar shower unuk menyiapkan air mandi hangat, dan Bang Sam menurut masuk untuk membersihkan diri.Aku tutup pintu itu, mencarikan ganti baju, dan keluar kamar. Secepat kilat menyiapkan sarapan dan teh panas. Sejujurnya aku tidak pandai memasak. Ayuk yang bantu-bantu di rumahlah yang mengerjakan.“Kenapa Abang kau, Rin?” Amak bertanya penasaran.“Airin juga belum tahu, Amak. Abang sedang mandi,” jawabku dengan kegusaran yang sama.Bang Sam sudah bergelung di atas tempat tidur saat aku kembali
Bergegas aku masuk dan menuju kamar utama, sekalian melarikan diri dari rasa malu ditegur Abah barusan.Abah adalah orang berpengaruh dan pengusaha sukses di daerah ini. Sikapnya keras, tegas tetapi bijak. Menurutku. Beliau hanya berbicara jika perlu saja. Tapi kalau sedang menyampaikan nasihat, bahasanya meresap ke dalam dada.Teringat kembali marah dan murkanya Abah saat Ayuk Fatma meninggal di tangan kami waktu itu. Kupikir, Abah adalah seorang laki-laki yang arogan dan pemarah. Nyatanya, terkadang manusia menjadi panik pada kondisi yang menekan mental. Abah baru megetahui menantunya meninggal swsaat sebelum akad, ketika Bapak Ayuk Fatma.mengabari dan meminta izin lewat telepon.Praktis, pernikahan mendadak antara aku dan Bang Sam tanpa kehadiran dua mertua di depanku itu.Kini, aku tidak bisa membayangkan jikalau apa yang kami khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa putra kesayangan Abah telah menjadi seorang pembunuh.Perlahan kutekan handel pintu dan melongok. Tampak Ba
Aku masuk mengikuti langkah-langkah kecil Zain, meletakkan Amanda di boks, dan menitipkannya pada ayuk di dapur.Kemudian, aku membawa dua jagoan Bang Sam membelah aspal jalanan dengan motor kesayangan. Menikmati pagi yang masih sedikit lengang.Kali pertama mengantarkan Zain dan Zidan ke sekolah mereka, tak urung beberapa pasang mata ibu-ibu yang sedang berkerumun di depan gerbang, menatapku dengan pandangan penuh keingintahuan.Mereka berbisik-bisik setelah menatap kami sesaat. Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Mengabaikan gumaman perempuan-perempuan itu. Terserah! Masalahku jauh lebih berat daripada mengurusi mulut usil dan rasa ingin tahu mereka.Menggantikan posisi menjadi istri seorang duda ketika jasad istrinya pun belum dimakamkan dan tersangka pembunuhan, adalah gosip yang empuk untuk diperbincangkan. Aku menggeleng dan berlalu, menarik gas kendaraan pelan. Setelah Zain mengjilang dari pandangan. Kemudian berputar mengantar Zidan di gedung TK yang terletak di sebelah gedun
Hari-hari berikutnya, Bang Sam lebih banyak diam. Dia sering menghindar dan tidur di lantai atas, di kamar Zain dan Zidan.Kehangatan lelaki tampan beberapa hari belakangan kepadaku itu, sirna seiring kepulangannya dari kantor polisi.Aku kecewa tentu saja. Seakan-akan, istri barunya ini berkorban hanya sekedar untuk menjadi baby sitter gratisan.Pernikahan kami memang tanpa cinta, terjadi begitu saja, dan karena terpaksa. Dia juga masih berkabung karena kehilangan istrinya. Namun, tidakkah Bang Sam bisa sedikit menimbang perasaan dan harga diriku? Perasaan menjadi istri yang tidak diinginkan ternyata memang sesakit ini.Jika saja bukan karena permintaan Ayuk Fatma dan rasa bersalah yang berkelindan dalam dada, aku pun tidak menginginkan pernikahan ini.Tatapan penghakiman para pelayat waktu itu yang menjadi penentu segala. Meski sebenarnya diri bisa mengatakan tidak jika memang terpaksa. Sayang, aku tidak setegas itu.Nyaliku ciut melihat hujan tatapan para pelayat, juga permohonan
Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,
Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss
Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s
Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal
Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel
Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul
Menjelang Dzuhur, seluruh rangkaian acar selesai, meninggalkan kenangan pahit bagi sebagian orang. Maksudku, bagi perempuan-perempuan itu.Mereka mundur diri satu persatu dengan muka ditekuk, kecuali perempuan berambut merah. Satu-satunya yang mendatangi Bang Sam dengan tatapan menantang.Dia justru duduk tepat di depan kami sambil menikmati kudapan. Santai sekali. Atau berusaha santai. Sebab dia tampak menarik napas panjang berkali-kali.Bang Sam semakin blingsatan. Mau kabur dilihat Abah dan banyak orang, tetap berada di tempat dia sepertinya akan diserang. Perempuan berambut emas itu berkali-kali menatap Bang Sam dengan tajam. Tidak terlalu lama setelah itu, seluruh undangan telah pulang. Perempuan itu bangkit dan berjalan keluar, aku mengawasinya. Dia duduk di atas motor dan menyulut sebatang rokok. Sementara bagian katering sibuk membenahi bekas prasmanan.Azan Zhuhur berkumandang, Abah dan Amak izin pulang duluan. Mereka mengajak Bapak dan Ibu serta. Tidak ada lagi yang terting
Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i
Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja