Berlahan Ria membuka mata. Pertama yang terlihat adalah langit- langit kamar berupa papan triplek berwarna coklat, sebuah bola lampu kecil mengantung di sana. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh sambil berpikir.
"Ria!Ria! Syukurlah kamu sudah sadar, Nak!" Terdengar suara maknya, membuat Ria mengalihkan pandangan cepat. Mak tersenyum mengapai tangan Ria. Raut wajah bahagia semringah terpancar dari wanita yang melahirkannya tersebut.
"Aduh!" keluh Ria sembari meringis.
"Kenapa, Nak. Apa ada yang sakit?" tanya Mak khawatir.
"Badanku sakit-sakit semua, tenggorokan kering," Ria mencoba mengangkat tangan menuju lehernya.
"Memang seperti itu jika setelah kesurupan, itu untung pingsanmu tak kelamaan." Tiba-tiba Bi Tinah muncul di ambang pintu kamar menyahut. Melangkah ke arah mereka, menyerahkan segelas air putih.
Secara cepat disambut Mak dan ikut menolong Ria untuk duduk bersandar. Mak menopang dan tangan sebelahnya menuntun cangkir ke mulut Ria. Membasahi kerongkongan, hingga gelas itu kosong.
"Kesurupan?" dahi Ria berkerut dan mencoba mengingat kejadian, tetapi nihil. Tak ingat apapun. Belum terjawab pertanyaannya oleh orang di rumah tersebut. Ria terperanjat dengan wajah tegang melihat baju yang kenakannya.
"Mak, kenapa ini Mak!" seru Ria.
"Kenapa?" tanya Mak heran kelabakan.
"Baju ini! gamis ini kok dipake?" Tubuh Ria terlonjak ketika menyadari gamis yang dicuri dijemuran itu melekat di tubuh Ria.
"Udah, tak apa itu," kata Bi Tinah tenang, sembari memasang mukenanya.
"Nanti akan dijelaskan Bibimu, sekarang pulihkan dulu badanmu, Mak pun kurang paham. Makan dulu ya, Mak siapkan."
Setelah selesai berbicara, Mak pun berlalu keluar. Tinggallah Ria yang tercenung sendiri. Mengalihkan perhatian ke Bi Tinah, dia mengambil posisi di sudut kamar. Sedang salat, entah salat apa.
Begitu banyak pertanyaan di benak Ria. Rasa penasaran ini ingin segera mendesak untuk dijawab. Matanya tetap mengawasi pergerakan Bi Tinah selesai salat. Menunggunya, agar bisa Ria mengajukan pertanyaan padanya. Namun, sepertinya Ria harus bersabar. Bi Tinah tidak beranjak, dia melanjutkan melakukan aktivitas berzikir berjibaku dengan tasbih di tangannya.
"Makan yok, biar bertenaga," Mak datang dengan membawa sepiring nasi lalu kembali duduk di samping ranjang.
Hampir separuh nasi berlauk telur sambal telah disuapkan Mak pada Ria. Mereka dikejutkan dengan gedoran pintu yang keras. Membuat Bi Tinah cepat beranjak ke luar. Mengecek siapa yang bertamu. Sepertinya terburu-buru dan mendesak, terdengar dari tempo ketukannya yang kuat.
Tak lama berselang, Bi Tinah masuk ke kamar beriringan dengan seorang wanita bergaya muslimah. Berbalut gamis dengan warna cerah senada dengan jilbabnya. Wajahnya dipenuhi dandanan yang apik. Di tangannya menyeret koper besar. Senyumnya mengembang ramah, menghampiri seraya berkata, “Kakak dan ponakannya Kak Tinah ya, perkenalkan saya Laila, adik seperguruannya dari padepokan.”
Dia mengulurkan tangan menjabat tangan, Ria dan Mak. Mereka memamerkan gigi dan mengangguk menerima salamnya.
“Ini, maaf, ya, Saya datang bertamu larut malam, karena mendesak,” matanya mengarah ke Bi Tinah.
“Duduklah dulu! Baru berceritanya,” ujar Mak beralih duduk lesehan di samping Bi Tinah yang sudah bersandar di dinding.
Wanita yang bernama Laila itu pun ikut duduk berselonjor. Terlihat gurat kelelahan dari wajahnya.
“Kak, aku mau numpang di rumahmu ya, untuk beberapa hari atau tak tentulah. Karena setelah aku terawang hanya rumahmu yang aman dari serangan Ki Badal. Aku kewalahan dan perlu tempat bersembunyi yang aman darinya. Musuh bebuyutanku itu sepertinya memiliki sekutu yang kuat,” cerita Bi Laila dengan mendengus kesal.
“Kau diserang juga?” ekpresi terkejut Bi Tinah.
“Iya,jadi? jangan-jangan Kakak juga,” duga Bi Laila matanya membulat dan telunjuknya mengarah ke Bi Tinah.
“Iya, lebih parah lagi, melibatkan ponakkanku Ria, sepertinya Ki Badal dan Ki Winto bekerjasama. Mereka mengirim tujuh jin sekaligus untuk menguasai Ria. Ria terlalu lemah tapi memiliki tanggal kelahiran yang bagus. Jika dipakai jiwanya untuk membunuh sangat bagus. Aku hampir saja mati dengan kekuatannya tersebut. Alhamdulillah untung saja Abah guru Shaleh datang menyelamatkanku tadi,” terang Bi Tinah dengan menyipitkan matanya.
“Abah Guru Shaleh muncul, Masya Allah. Apa dia turun gunung? setelah itu kau sempat berkomunikasi dengannya. Sudah sekian lama beliau menghilang,” pungkas Bi Laila dengan sorot mata antusias penuh kerinduan.
“Hanya sebentar, setelah Ia menghilangkan ajian ‘serep jiwa’ pada baju gamis Ria,” ujar Bi Tinah, mengalihkan pandanganya ke arah Ria. Timbul rasa sesal dan amarah di hatinya karena musuhnya membawa-bawa Ria ke dalam kemelut masalah mereka.
Dari obrolan mereka berdua dapat Ria simpulkan kejadian yang telah menimpa dirinya. Barulah dia sadar, kesurupan telah menimpa tubuhnya. Ternyata Ria terlibat dalam perseteruan orang yang ahli dalam ilmu astral ini.
“Siapa itu Ki Badal, Ki Winto, dan Ki Andrung itu, Bik? Tanya Ria penuh penasaran.
“Mereka adalah dari golongan hitam, ilmu sesat serta bersekutu dengan Iblis. Banyak usahanya gagal karena kami berhasil mengobati orang yang terkena teluhnya. Oleh karena itu mereka sangat berambisi menghabisi kami,” jelas Bi Laila dengan menyiratkan rasa kebanggaan.
Bi Tinah hanya menganggukan kepalanya. Bi Laila terlihat berkarakter hobi berbicara di banding Bi Tinah yang lebih introvert.
“Bagaimana Ria jadinya, Kak? Aman dia,” Bi Laila bertanya kepada Bi Tinah dengan memandang sekilas ke arah Ria lalu beralih ke Bi Tinah.
“Iya, Nah. Apa bisa kami pulang besok. Kerjaanku udah nunggu soalnya.” Mak yang sedari tadi diam mendengarkan ikut bertanya.
“Belum bisa, kalian berdua harus tinggal di sini juga. Karena rumah ini telah dilapisi ajian pelindung oleh Abah Guru Shaleh. Selain itu gamis itu juga telah diberi ajian yang membuat Ria memiliki kekuatan setelah memakainya, Ria bukan lagi gadis lemah bulu. Kita telah bertiga sekarang. Dan kau Laila aku akan sangat terbantu dengan kau tinggal di sini, tolong aku menurunkan ilmu ke Ria,” titah Bi Tinah tegas.
“Oke, aman tu. Siap Bos!” Bi Laila nyengir, tersenyum manis.
“Udah pukul 03.00 nanti kita tidur bentang karpet saja berbaris di sini, mengenai pekerjaan kakak, berhenti saja, tinggal lah di sini! Lagian aku tutup praktek sementara. Kakak tak perlu takut tentang pasien-pasienku. Tidurlah lagi, Kakak tidak ada memejamkan mata menunggui Ria sedari tadi,” saran Bi Tinah.
“Laila, sudah salat tahajud ?” sambungnya lagi.
“Belumlah, mana ada tidur akunya nyetir pun ngebut agar bisa mencapai rumahmu dengan cepat. Kalau nggak keburu diserang Ki Badal pulak aku ntar,” sunggut Bi Laila dengan bibirnya dimanyunkan.
Ria dan Mak ikut tersenyum dengan tingkah Bi Laila.
Cahaya mentari pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, Ria menggerjab sesaat. Mengeliatkan badan, lalu duduk di atas ranjang yang hanya muat untuk sendiri. Alhamdulillah tubuhnya sudah tidak begitu merasakan linu lagi. Hanya kepala terasa sedikit berat. Memperhatikan sekeliling, Bi Laila masih lelap tertidur dengan baju tidurnya berlengan panjang dan celana panjang terbuat dari kain lembut serta berenda. Mak dan Bi Tinah tidak terlihat, mungkin sudah bangun. Hanya meninggalkan jejak selimut yang sudah berlipat di samping Bi Laila.Ria beranjak berdiri menuju dua jendela kayu besar yang berada beberapa langkah darinya. Udara segar begitu terasa ketika jendela itu terdorong oleh Ria.“Hmm … sudah bangun, jam berapa ini?”“Pukul 08.00, Bi. Bi Laila dari kota mana ? Apa sudah berkeluarga atau belum seperti Bi Tinah?” serbu Ria dengan pertanyaan.“Ini anak, pagi-pagi kita di recoki ama pertanyaan bukan
Terdenggar suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Mereka berdua pun bergegas ke depan. Sebelumnya memakai jilbab sarung mereka. Sebuah mobil hitam L300 datang, bak di belakangnya telah tersusun barang-barang. Ada lemari, kasur, kursi tamu lapuk, alat-alat dapur. Supir dan keneknya membantu menurunkan barang berat. Mereka akan menatanya nanti, kamar belakang yang biasanya kosong telah dibersihkan sehingga tinggal meletakkan serta menyusunnya.Ria yang tak melihat Mak dan Bi Tinah yang tadinya memakai sepeda motor tak kunjung menyusul tiba. Ria mencoba menelepon Mak.“Assalamualaikum, Mak. Mak di mana?” tanya Ria cepat ketika ponselnya diangkat.“Waalaikumsalam, Mak sama Bibimu mau berpamitan dengan tetangga, serta nanti sekalian ke pasar, ada yang mau dibeli. Di susun itu barang-barang. Uang mobil udah di bayar itu. Cobalah mandiri lagi udah mau kuliah lagi pun, sedikit-sedikit Mak,” sahut Mak panjang lebar.“Iya, y
Sesampainya mereka di rumah sakit, disambutlah dengan kesibukan tim dokter dan juru rawat yang luar biasa. Hasil CT-Scan menyatakan Mak mengalami memar otak, karena benturan keras di kepalanya. Ruang ICU lah akhirnya Mak di tempatkan.Ria mengamati wajah Mak yang kian pucat. Mengingatkan percakapan telepon yang mereka lakukan tadi. Apakah bertanda? Ah, segera Ria tepis. Menggelengkan kepala, menjauhkan pikiran andai itu adalah pesan terakhir. Ya Allah, Ria takut hal itu terjadi. Air matanya kembali tumpah.Bi Laila datang dengan tergesa-gesa, setelah menggunakan lapisan baju khusus masuk ruangan ini. Sebelum jam besuk habis. Karena ruangan ICU menetapkan jadwal untuk membesuk. Pelukkan hangat langsung diberikan Bi Laila pada Ria. Berusaha mentransfer kekuatan agar Ria tabah.Ria melonggarkan pelukkan, menarik hidung yang meler, seraya bertanya,"Bi, gimana adm-nya nanti ni, Bi?" Membayangkan Ia tak punya sesenpun tabungan."Sudah, jangan kau pikirk
Langit tampak berselimutkan mendung, ketika pemakaman Mak yang dilangsungkan esok harinya.Tetes demi tetes air hujan mulai turun seakan bersaing dengan mata Ria yang juga semakin lebat menjatuhkan air mata. Ah, rasanya ini seperti mimpi baginya, terhempas seakan tidak menerima kenyataan. Akhirnya Ria resmi yatim piatu. Bibinya--dari pihak Mak pun tak tahu rimbanya. Seperti tertelan bumi.Bi Laila, setia berada disisi Ria. Tetangga dan keluarga dari pihak bapak yang datang dari provinsi berangsur bubar sejak gerimis tadi.Tanah gundukan baru itu basah, menguarkan aroma tanah kuning. Ria ingin rasanya terus memeluk nisan kayu baru itu. Walau sebenarnya satu pelukan nyata lebih berarti dibanding seribu pelukan ke batu nisan yang hanya bisa dilakukannya saat ini. Bi Laila seakan dengan tenaga penuh mendirikan tubuh Ria yang bersimpuh. Berusaha untuk memapahnya untuk beranjak pulang ke rumah. Dingin merasuk, kuyup tak mereka pedulikan. Langkah Ria lemah, karena tak
Ria duduk di depan cermin, menyisir rambut lurus yang sebahu. Pantulan wajah itu terlihat kuyu, mata bengkak, menampilkan pipi yang agak cekung, dengan bibir pucat. Ria memang tak ada menimbang badan, tetapi dapat diketahuinya pasti berat badan turun, dari banyaknya baju yang dipakai terasa longgar. Kilatan masa lalu, kebersamaan Mak selalu hadir kembali. Kenangan, harapan serta hal-hal indah membersamai hidup bersama Mak bermunculan."Kuliahmu nanti mau ambil apa, Nak?" tanya Mak waktu itu."Ria, tertarik mau jadi guru, Mak." Dengan mata berbinar Ria menjawabnya."Mantap tu, Ria cocok jadi guru. Itu kerjaan mulia, nanti Mak usahakan biayanya, Bibikmu pun akan membantu," terang Mak.Seminggu telah berlalu, selama itu tahlilan dilakukan oleh keluarga. Hari ini rumah kembali sepi karena para tetangga serta kerabat tidak ada lagi berkumpul.Ria harus terbiasa, hidup tanpa Mak. Begitu banyak perhatian dari kedua Bibinya di rumah ini. Nasihat,
“Pekanbaru, I am coming!” seru Ria berteriak gembira. Meghadapkan badan ke kiri kanan jalan. Jalanan aspal yang di penuhi kuda besi yang lalu lalang. Bi Laila yang duduk di depan kemudi, terlihat tersenyum melihat tingkahnya dari cermin di atas kepalanya. Bi Tinah memalingkan wajah ke belakang dengan raut wajah datar. Ibukota provinsi memang jarang sepi. Seakan aktivitas tiada henti. Langit senja akan mengawali langkah Ria yang akan menapaki kehidupan di kota yang dulunya disebut kota bertuah, tetapi kini telah berganti menjadi julukan kota madani ini. Perjalanan yang hampir mereka tempuh selama tiga jam lebih dari Pelalawan ke Pekanbaru.Tak henti Ria bercerita dengan Bi Laila, Bi Tinah sesekali menimpali. Pembicaraan yang paling berat adalah banyaknya pesan dari kedua Bibinya. Agar Ria harus pandai-pandai menumpang di rumah orang. Harus rajin, apa yang bisa dibantu dikerjakan, jangan pelit tenaga, harus sadar diri. Ria pun mencoba memahami apa yang mereka
Ria mencoba untuk bersikap santai. Karena Ria tak ingin bereaksi berlebihan, takut nantinya akan heboh. Gadis berjilbab petak itu juga tidak mau jika orang lain tahu akan kemampuannya. Mengekori Nisa yang berjalan di depannya, Nisa berhenti di meja paling ujung yang tersandar di dinding kantin. Artinya posisi duduk mereka akan membelakangi pohon ara tersebut. Ria pikir itu lebih baik. Abid mengambil duduk di sebelah Ria. Wajah Ria mendadak berubah ketika mendapati menu pesanan mereka yang telah diantar oleh pegawai kantin tersebut. Dalam pandangan Ria mie goreng yang terhidang di meja. Berupa tumpukkan cacing yang bergerak-gerak. Sungguh menjijikan, Ria refleks menaikkan bahunya.“Jangan dimakan, ayo kita pergi dari sini,” ajak Ria pada Nisa dan Abid dengan suara pelan.Nisa bengong dengan matanya yang membulat serta wajah heran. Dia sudah mengaduk mie, siap untuk menyuapkan ke mulutnya.Abid baru saja membuka kerupuk dan menaburkan pada mie goreng i
Sesampai di rumah dengan cepat Ria menelepon Bi Tinah serta menceritakan kejadian yang terjadi di kantin kampusnya. Bi Tinah menjelaskan, Ria terlalu terburu-buru dan melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Tapi Bi Tinah juga maklum karena hal ini baru pertama Ria hadapi. Jiwa muda masih bergejolak sehingga Ria begitu bersemangat untuk mengaplikasikan ilmunya.“Seharusnya jika kau ingin mengusir jin tersebut. Kau juga harus mempertimbangkan si tuannya yaitu si pemilik kantin yang telah membuat perjanjian. Air najis yang disiramkan padamu itu ada maksud tujuannya itu, Ria. Itu akan memberi kekuatan pada jinnya. Untung saja itu siang hari dan tepat pada hari Jumat. Jika malam bisa habis kau Ria,” jelas Bi Tinah dari seberang telepon.Dilanjutkan dengan berbincang-bincang tentang hal lain, Ria menceritakan kesehariannya. Bi Tinah menanggapi dengan sedikit bicara dan diiringi nasihat.“Ria! Tolong Mbok!” teriak Mbok Nami terdengar d
Setelah bertanya pada bagian informasi. Ria menuju lantai atas rumah sakit ruangan VVIP menggunakan lift. Melangkah dengan keraguan serta bagaimana ia nantinya harus bersikap terhadap pamannya.Setelah menemukan ruangan Paman Tiok. Pamannya tersebut hanya minta berbicara berdua saja. Bi Tinah dan Bi Laila beriringan ke luar ruangan. Sedangkan Bi Wulan dan Clara seperti tak rela jika tidak ikut mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Mereka sangat penasaran. Sayangnya Paman Tiok tetap menyuruh mereka keluar.“Ria,” lemah suara paman Tiok. “Sebenarnya kamu berpihak pada siapa? Paman ini adalah adik satu-satunya dari Bapakmu dan kau tega bekerja pada musuh pamanmu.”“Hm, itu-“ Ria mencoba berpikir mencari kata-kata yang pas untuk berbicara.“Apa?”“Itu, paman. Aku tak tahu jika kalian bermusuhan. Setahuku di pesta hotel itu bukankah kalian merger ya?” tanya Ria dengan memasang wajah polosny
Om Tiok segera dilarikan ke rumah sakit. Bi Tinah dan Bi Laila yang saat kejadian masih menginap di rumah mereka ikut serta mengantar ke rumah sakit. Sedangkan Ria sore itu belum berada di rumah. Gadis itu masih berada di kampus, masuk kuliah dijadwal siang. Diagnosis dokter Om Tiok mengalami gangguan pada jantungnya dan oleh dokter harus diopname beberapa hari sampai pulih. Serta tetap melakukan rawat jalan nantinya. Clara dan Bi Wulan begitu panik dan cemas. Mereka berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Kondisi perusahaan yang hampir terpuruk dan ditambah lagi kondisi kesehatan yang buruk. Bi Tinah dan Bi Laila bersikap memberi dukungan serta mendoakan agar Om Tiok segera sehat seperti sedia kala. Mata Om Tiok yang semula terpejam mulai terbuka secara perlahan. “Papa!” Clara mendekati brankar. Mata kedua gadis itu berkaca-kaca. Bi Wulan pun melakukan hal yang sama. Mama Clara tersebut mengengam tangan suaminya. “Ria
Afran mengangkat wajah dan kesempatan itu digunakan oleh asisten Om Tiok melepaskan tembakan ke arah Afran. Beruntung saja, tangan Ria lebih cepat menyerang dengan menyentak pergelangan tangan itu, sepersekian detik sebelum menarik pelatuk dengan telunjuknya. Amunisi yang keluar dari ujung laras pistolnya meleset, dan hanya memecahkan vas bunga di sudut ruangan.Tanpa menyia-nyiakan waktu Ria kembali menyerang. Kali ini gadis itu mencengkram lengan asisten Om Tiok. Bagas juga sibuk membawa Om Tiok menepi ke sudut ruangan dan mengunci pergerakan lelaki itu.“Bersihkan semuanya,” perintah Bagas kepada pasukan timnya yang di luar.Secepat kilat pria berambut belah tengah itu berlari ke arah asisten om Tiok yang berusaha meraih pistolnya yang tergeletak di lantai. Bagas menarik pelatuk pistol G2nya. Suara letusan senjata api menggaung di udara bersamaan dengan suara erangan dari pria yang terkapar di lantai. Pria itu mengerang kesakitan. Tangan kir
“Melihat rincian hari rapat hari ini yang tidak begitu bagus, sebaiknya Bapak bersiap akan kemungkinan terburuk.” Asisten Om Tiok mengingatkan bosnya itu dengan hati-hati. Om Tiok yang berwajah kelam melakukan tarikan napas dalam. “Atur pertemuan tertutup dengan Afrandio, pria itu harus menerima pelajaran akan ulahnya ini.” Om Tiok memerintahkan pada bawahannya tersebut. Ria menerima perintah untuk ikut serta. Sebenarnya Bi Tinah tidak setuju karena niatnya akan mengajukan pembatalan kontrak. Namun, urung karena kemarin belum berhasil menemui Afran secara langsung. Bertolak belakang dengan Bi Laila yang masih memberi kesempatan untuk Ria menambah pengalaman bertualang memicu adrenalin katanya. Afran bersama Ria serta Bagas memenuhi undangan Om Tiok untuk datang pada sebuah tempat pertemuan berupa resort di pinggiran kota. Penjagaan begitu terlihat jelas, beberapa pria pasukan keamanan Om Tiok siaga. Terletak di sebuah lahan yang luas. Bangunan i
Afran melemparkan Koran yang diserahkan oleh Bagas itu dengan kesal. Pemberitaan yang membuat emosinya naik. Berita heboh terbaca pada deadline surat kabar maupun pemberitaan media elektronik. Terlihat sebuah foto yang terlihat vulgar. Foto Afran dan Clara bersisian sedang berjalan dan satu lagi foto ketika Afran membuat napas buatan. Judul besar : Akankah Pewaris MT Company Grup dan Afrandio Company Grup akan bersatu. “Segera hapus cepat pemberitaan-pemberitaan itu dengan cepat. Tim bekerja harus cepat, cek ip asal berita, lakukan tekanan. Naikkan berita tentang skandal Pak Tiok. Agar sahamnya segera turun,” perintah Afran dengan cepat. “Siap!” Bagas segera menepi serta terlihat sibuk memberi intruksi melalui earphone ht berkomunikasi dengan markas. Sedang Afran menyandarkan punggung serta mengoyang kursi singgasananya dengan pelan. Ia tak menduga juga akan rencana Clara. Untungnya dia telah dulu mempersiapkan hal lain dengan matang. P
Mata beriris hazel itu mengerjap. Afran mendesah panjang. Liburan terpaksa ini begitu menyiksa baginya. Clara yang berada di kamar sebelah begitu merepotkan. Malam tadi ia baru saja membawa gadis itu ke club. Ternyata ia baru tahu untuk urusan minum, gadis itu jago mabuk. Berbeda dengannya yang masih bisa terkontrol. Ia sadar tal boleh lepas kendali akibat minuman keras. Ia melirik jam digital di atas nakas, angka telah menunjukan ke 11 : 45, mendekati tengah hari. Pantas saja perutnya mulai bernyanyi minta diisi. Malam tadi ia kembali ke kamar hampir dini hari, setelah mengantar Clara ke kamarnya. Anehnya lagi Afran mimpi yang tak pernah diduga untuk pelepasan hormon testosterone bersama Ria. Mimpi itu begitu terasa menjiwai. Membuat ia merasa jengah sendiri. Mengapa celana mesti basah karena mimpi dewasa dengan gadis kampung pikirnya. Ia pun beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya agar terasa segar. Bahkan ia berlama-lama meletakkan kepala pada guyuran shower un
Ria bersiap akan pulang. Berjalan menuju parkiran sepeda motornya."Hei, cewek aneh. Tungguin!" Terdengar suara itu memanggil, asal suara dari sebuah mobil sedan putih yang terparkir di seberang parkiran sepeda motor.Ria tidak merasa sapaan itu ditujukan padanya. Ia tetap melangkah."Hei, iya. Elo cewek aneh" Kembali sosok pria di balik kemudi itu berbicara dekat kacanya diturunkan.Ria menjadi celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Sepi, hanya ia yang sedang menuju sepeda motornya. Itu artinya teguran itu untuknya. Tunggu, kenapa juga panggilannya 'cewek aneh' Ria berkata dalam hati.Pria itu dengan cepat keluar dari mobil serta setengah berlari menghampiri Ria. Gadis yang memiliki kemampuan ilmu kebatinan itu hanya menunggu dengan memasang wajah heran."Hai, kamu gadis aneh itu kan? Kamu terlihat berbeda sekarang?""Maksudnya?" Ria mulai bereaksi dengan bingung. Dia sungguh merasa tak nyaman dengan sapaan pria yang tak dikenal
“Eh, dah pandai dandan nih anak gadis,” sapaan dari Bi Laila membuat Ria sontak menoleh dari cermin ke arah Bi Laila. Gadis itu tersenyum. Kembali ia mematutkan diri di depan pantulan cermin pada lemari miliknya. Gadis itu mengenakan skirt Pants dengan paduan kemeja berwarna putih polos menyamakan dengan sepatunya yang berwarna putih juga. “Sini, Bibi tolongin dikit, bagian mata ini eyelinernya jangan terlalu tebal, tipis saja. Agar tidak terkesan galak,” saran Bi Laila mendekati Ria lagi. Sesuai rencana mereka akan pergi ke kantor bertiga. Bi Laila dengan mahir menyetir menuju ke kantor milik Afran. “Bapak sedang keluar kota, liburan sampai seminggu ke depannya. Skedulnya hari ini pun banyak diganti ke hari lain,” terang sekretaris Afran ketika mereka bertiga akan bertandang ke ruangan Afran. Ria mengerutkan kening. Pak Afran tidak ada mengkonfirmasi padanya. Bi Laila sibuk celingak-celinguk melihat sekeliling. Sedangkan Bi Tinah memasang wajah
“Engkau selama ini terlalu menghabiskan waktu bekerja terus!” Clara berkata dengan antusias. Dia yang dulunya memanggil Afran dengan embel-embel Abang di depan nama pria itu. Sudah tidak lagi. Ia ingin terlihat dewasa dan akan mampu mengimbangi Afran pikirnya. Afran yang menyuap nasi pada mulutnya memandang tajam pada Clara yang baru berucap. Kunyahan belum sempat ia lakukan ketika Clara kembali menyerocos. “Sesekali kau harus menikmati hidup dengan jalan-jalan, santai. Aku bersedia akan menemani,” tawar gadis yang tak tahu malu itu terang-terangan. Afran mencoba memaksakan tersenyum. Rasanya begitu menyiksa, ketika harus berpura-pura. Sebenarnya ia tak suka dengan kondisi ini. Cuma ia harus menahan diri. Demi menyelamatkan perusahaannya. “Boleh juga, kau tau tempat wisata yang bagus?” Clara terkekeh, dia memang gadis yang jika tertawa bertipe lepas. “Saking sibuk kerja, sampai-sampai tak tahu tempat rekreasi?” Clara mengeleng-ge