Aku bersama Ana dan sahabatku pergi meninggalkan rumah akan menyusul kembar pertama. Kali ini aku yang mengendarai sangat kencang. Menuju supermarket terdekat. Ana segera keluar saat aku memarkirkan mobil."Maya, jangan gegabah. Cari anakmu dan kita pergi dari sini," ucap Ema sambil menatap tegang. Aku hanya menganggukkan kepala lalu mencari anakku. Dengan cepat aku masuk ke dalam dan mencari keberadaannya. Tapi, aku ternyata tidak melihat Ema."Di mana kamu?" batinku masih mengawasi sekitar. Aku tidak bisa membayangkan jika dia akan celaka. Itu tidak boleh terjadi. Aku tidak akan pernah membiarkannya. Aku bersumpah akan menghabisi Maria kalau dia melakukan hal buruk dengan Ema!Aku masih tidak menemukan anakku. Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Dia tidak ada di mana-mana. Kedua mataku masih menatap semua arah. Dia benar-benar tidak ada. Hingga ponselku berdering. Nomor tak dikenal menghubungiku. Aku segera menerimanya."Apa?"Seorang suster mengatakan Ema berada di rumah sakit kare
Aku sangat lemah. Ini tidak bisa terjadi. Anakku tidak bisa menjadi korban. Tanpa sadar aku sudah berada di sebuah kamar. Ternyata aku pingsan. Bau obat-obatan menusuk hidungku. Aku segera mencabut jarum infusku. Dengan segera menuruni ranjang. Pikiranku hanya tertuju ke kembar pertama. Ini tidak bisa terjadi."Mbak!" Febri tiba-tiba datang ke kamarku. Mencegah aku untuk keluar. Aku tak peduli dan menampis tangannya. Walaupun kepalaku sangat pening. Tubuhku memang benar-benar lemas. Tapi, keselamatan kembar tak bisa aku tunda."Aku tidak mau terjadi hal apa pun dengan anakku. Sekarang di mana dia?" Aku tetap keluar dari kamar. Berlari menuju ruang informasi. Febri masih mengejarku dan berhasil menangkap. Dia menarik lenganku dengan kuat. Aku menyerah. Tubuhku lemah, dan aku kembali berada di dalam dekapannya. Dia segera kembali menuntunku ke kamar kembali."Tolonglah. Aku hanya ingin bertemu dengan anakku. Aku hanya ingin bertemu dengan anakku. Di mana dia?""Ema sudah ditangani denga
Ema mendekatiku. menatap sangat tajam. Dia tidak mengerti ketika aku memberikan pesan jika aku akan mengadakan jumpa pers. Mengakui semua kesalahanku, dan akan mengalah dengan keadaan ini. Ya, mengalah bukan berarti kalah. Aku hanya ingin memikat semua masyarakat untuk bersimpati kepadaku. Mereka pasti akan paham dengan semuanya yang aku alami."Apa kau pikir semua orang akan berpihak kepadamu?" tanya Ema masih menatap tajam. Sementara, Febri masih diam saja."Ema, jika aku menyerang dengan kekerasan, berarti aku sama aja dengan Maria. Aku tidak mau hal itu. Dia akan sangat senang kalau aku membalas semua itu dengan kekerasan. Aku akan memulai ini dan membalas dengan caraku. Dia akan sangat senang melihat aku marah. Tapi, kali ini aku tidak akan masuk ke dalam perangkatnya."Ema hanya menarik napas sambil mengurut pelipisnya. Lalu terkekeh pelan. Kemudian menatapku, dan memelukku."Kembar baik-baik saja. Maria masih sangat baik dengan anakmu. Dia tidak memberikan obat terlalu banyak.
Aku mengatur diriku. Semua wartawan itu menyodori pertanyaan sangat banyak. Kilatan kamera membuat pandanganku kabur. Aku memejamkan kedua mataku. Menahan diri untuk tidak berteriak. Rasanya aku ingin marah dan melempar semua orang dengan pengeras suara ini. "Maya, tenangkan dirimu. Aku akan mengatur semua. Maafkan. Aku tidak menyangka akan seperti ini," bisik Ema. Dia mengambil pengeras suara. Mengangkat salah satu tangannya, berusaha membuat semua wartawan fokus kepadanya. Aku bisa menarik napas lega ketika melihat Ema berhasil melakukan itu. "Dengarkan semua. Jika kalian seperti ini, klienku tidak akan pernah bisa menjawab semua pertanyaan itu. Sekarang lebih baik kerja tertib. Aku Yang Akan menunjuk salah satu dari kalian dan bergantian untuk menyampaikan pertanyaan." Aku berdiri dan tidak akan pernah membiarkan oleh para wartawan itu memberiku pertanyaan bertubi-tubi. Aku segera mengambil pengeras suara yang berada di genggaman Ema. "Maya, apa yang akan kau lakukan?" bisiknya
Maria menatapku dengan pandangan menusuk. Air matanya sudah membekas di wajahnya yang sangat buruk itu dan acak-acakan. Namun, aku melihat sedikit senyuman yang menyeringai di wajahnya. Sangat puas dengan rencana yang sudah dia lakukan kepadaku."Aku memang bersalah dengan semua keadaan ini. Apa yang sudah kau katakan memang benar. Semuanya tidak akan pernah ku sangkal. Jika kau mau kembali kepada suamimu aku akan ikhlas dengan menerima jika memang dia ingin menceraikan aku."Para wartawan yang semula tenang itu akhirnya ribut kembali. Mendekati Maria yang akan melangkah ke depanku. Memberikan pertanyaan bertubi-tubi. Maria hanya terdiam dan menundukkan kepala sambil terus berjalan dan menaiki tangga lalu duduk di sebelahku. Bu Maryati juga mengikuti Maria. Dia sampai saat ini tidak berkata apa pun dan tetap mengikuti sandiwara yang sudah dilakukan oleh anaknya."Aku ... sudah memohon untuk kembali kepadanya. Tapi dia tetap menolakku karena kau yang sudah menghasutnya. Apa kau lupa, s
Hari berganti dengan cepat. Kembar pertama sudah membaik dan akhirnya pulang ke rumah bersama dengan ibuku dan Ana. Sementara mertuaku hanya bisa menyapa dan pergi dengan wajah yang cemas. Raut kesedihan masih saja terpancar di wajahnya. Aku hanya bisa berdoa agar dia melupakan semua ini dan menjalani kehidupan yang sangat bahagia.Dengan perasaan yang harus aku lawan ini, kakiku terus melangkah masuk ke dalam kantor polisi. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya semakin masuk ke dalam dan menjemput suamiku yang sudah siap untuk keluar."Maya, tidak aku sangka kau berhasil untuk membebaskan aku dan menunda pengadilan. Kau harus percaya kepadaku jika aku ini tidak bersalah. Maria yang sudah memberikan semuanya kepadaku. Tapi dia malah menjebakku seperti ini. Wanita itu memang tidak berguna dan aku menyesal sudah menikahinya," gumamnya sambil menatapku dengan tersenyum. Namun aku tidak menjawab semua perkataannya dan hanya mendatangani semua berkas yang akan membuat suamiku itu kelu
Ibu masih menatapku. Dia akhirnya menarik lenganku. Lalu, aku membalas tatapannya. "Maya, kenapa kau? Katakan kepada Ibu," ucapnya terus menyorot tajam. "Dia aku tinggal karena tidak mau mengemudi. Ibu, aku sangat capek. Sudahlah. Dia sangat pandai. Bisa pulang sendiri. Ibu jangan khawatir.""Apa?"Ibu mengikutiku sampai ke dapur. Aku sangat haus. Membuka almari es dan mengambil botol minuman. Segera meneguknya sampai habis. "Ibu, kau sangat paham ama aku. Tapi, kau jangan terus menatapku seperti itu. Aku tidak enak sama sekali.""Ibu tidak paham denganmu. Kau sepertinya terlihat akan memperbaiki hubunganmu dengan suamimu. Tapi, ternyata kau seperti ini. Ah, aku sama semali tidak mengerti."Aku berjalan mendekati tangga. Namun, langkahku terhenti karena Ibu masih menarik lenganku. Kini kami saling berhadapan."Maya. Ibu tau kau akan melakukan rencana kepada suamimu. Tapi, Ibu juga tidak mau kau akan menghancurkan dirimu sendiri. Siapa yang bisa melihat anak kandung kita akan sengsa
Suamiku menatap kaku setelah aku mengatakan dengan sangat santai disertai senyuman sinis kepadanya. Dia benar-benar tidak percaya aku berkata seperti itu kepadanya. Menceraikan aku setelah ini, tidak akan pernah kubiarkan. Karena aku yang akan menceraikan dia."Maya, apa kau sadar dengan ini semua?" Wajahnya terlihat sangat marah. Kakinya kembali melangkah mendekatiku. Kemudian menarikku hingga kami kembali masuk ke dalam kamar."Aku sudah berbaik hati untuk kembali kepadamu. Bahkan aku sekarang bisa meninggalkanmu. Aku bisa dengan mudah mencari semua wanita yang aku inginkan. Bahkan aku bisa membuat mereka membantuku tanpa bantuan darimu." Mas Farus berkata dengan sangat tegas. Jujur saja hatiku berdebar. Dia benar-benar mengancamku seperti itu."Lalu ... apa yang akan kau lakukan? Menceraikan aku?" tanyaku kembali."Apa ini karena Febri?""Ini tidak ada hubungannya dengan Febri!" balasku tegas.Dia menjauh lalu duduk di atas ranjang. Mulai membuka kancing kemejanya dan melemparkan k
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus