Luca - I saw her sitting in the booth at a cafe I was a regular at and knew she was different from other humans. There was something about her that spoke to me and my inner soul. We both wanted her from that moment on. I am the vampire king, and she will be my queen. She is stunningly beautiful with those emerald eyes and hair that reminds me of the sunrise. Something was nagging at my mind telling me she reminded me of someone. I felt someone nudge me, and I knew it was time for me to go. I knew that I would be here more because there was no way I was leaving her alone and unguarded from this moment on. Sienna - I was sitting at my usual table in the cafe when I felt the weight of someone's eyes on me. I looked up and into the most amazing pair of golden eyes I had ever seen. I can only describe them as fire since they have flecks of red within them. He was staring at me, and I found it incredibly difficult to look away. I shook my head and looked away. He might have been the gorgeous man I have ever seen, but I have more important things to worry about. I needed to finish college and secure my place in the world. I didn’t know then that he would become one of the most important people in my life, and he would help me discover what and who I am.
View MoreHari senin adalah hari yang dibenci oleh hampir semua orang. Mengawali minggu yang padat dan jauh dari kata akhir pekan memanglah menyebalkan. Banyak orang sudah bersiap untuk memenuhi jalan raya tapi tidak dengan gadis yang masih asik bergelung di bawah selimut.
Gendis Anindya Maharani, gadis berparas manis yang tengah berjuang di kerasnya ibu kota. Ia masih tertidur lelap, mengabaikan suara kendaraan yang menembus dinding kamarnya.
"Sayur!"
Suara tukang sayur yang terdengar setiap pagi seolah menjadi alarm rutin bagi Nindy. Perlahan dia muali membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Matanya yang belum bisa terbuka sempurna membuatnya mendengkus. Perlahan dia bangkit dan meraih cermin dari atas meja. Seperti dugaannya, matanya sembab dan bengkak seperti dikeroyok warga.
Menangis setiap malam sudah menjadi kegiatan Nindy selama dua bulan terakhir. Dia tahu Tuhan sangat membenci orang yang suka mengeluh, tapi Nindy benar-benar sudah putus asa dengan kerasnya ibu kota.
Nindy pikir setelah lulus kuliah, dia akan segera mendapatkan pekerjaan, tapi kenyataan memang begitu pahit. Sudah hampir empat bulan dia mencari pekerjaan, melakukan wawancara, dan sebagainya tapi hingga saat ini belum ada panggilan kerja untuknya.
Apa dia sebodoh itu?
Getaran pada ponselnya membuat Nindy tersadar. Dia mengusap wajahnya kasar dan segera mengambil ponselnya. Ada pesan singkat dari ayahnya yang berada di kampung halaman.
"Udah bangun, Nduk? Sebelum berangkat kerja jangan lupa sarapan ya."
Nindy kembali menghempaskan tubuhnya di kasur dan mengerang kesal. Matanya kembali memanas membaca pesan yang ayahnya kirim setiap pagi. Nindy terpaksa berbohong selama ini. Dia memang berkata jika sudah mendapatkan pekerjaan agar tidak dipaksa pulang dan dinikahkan dengan anak kepala desa.
Konyol bukan?
Jika orang tuanya tahu kenyataan yang sebenarnya, bisa dipastikan Nindy akan diseret pulang. Dia tidak mau hal itu terjadi, setidaknya dia harus memanfaatkan gelar sarjananya untuk mencari uang.
"Iya, Pak."
Akhirnya Nindy berhasil membalas pesan ayahnya. Perlahan dia bangkit dari kasur dan membuka jendela kamar. Cahaya matahari langsung menerpa wajahnya. Dia harus bersiap untuk kembali mencari pekerjaan.
***
Nindy menyentuh perutnya yang mulai lapar. Dia memilih untuk menutup laptop yang ia gunakan dan bergegas keluar kamar. Kamar Arinda adalah tujuannya, gadis batak yang merupakan teman satu kostnya.
"Arinda?" panggil Nindy sambil mengetuk pintu, "Udah masak belum?" tanyanya.
"Bukannya tanya udah bangun apa belum malah tanya udah masak apa belum, dasar tetangga nggak tau diri!" balas Arinda dari dalam.
Jika sudah berteriak, berarti Arinda mempersilahkannya untuk masuk. Nindy terkekeh dan membuka pintu kamar dengan pelan. Di pelukannya sudah ada piring kosong yang akan ia gunakan untuk menampung makanan. Wangi makanan langsung tercium di hidung Nindy. Dia bersyukur mempunyai tetangga yang hobi memasak sehingga dia bisa membantu untuk menghabiskannya.
"Minta sarapan ya?" tanya Nindy dengan cengiran polosnya.
"Kau ya! Nanti kalau udah kerja harus bayar!" balas Arinda. Meskipun terlihat galak, tapi gadis itu sangatlah baik. Terbukti dengan Arinda yang mendorong masakannya mendekat meski dengan mencibir, "Ini cuma telur dadar ala korea, tapi rasa dijamin enak."
"Gimana? Udah ada panggilan belum?" tanya Nindy mulai memakan makanannya. Arinda adalah teman yang senasib. Dia juga tengah mencari pekerjaan setelah dipecat satu tahun yang lalu. Bedanya Arinda masih memiliki penghasilan dari hobi memasaknya. Berbeda dengan Nindy yang harus bertahan dengan pekerjaan serabutannya.
"Belum nih."
Nindy menghela napas lelah. Hidup di kota besar benar-benar kejam. Dia sampai putus asa karena belum mendapatkan pekerjaan tetap hingga saat ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
***
Siang hari, Nindy sudah berada di taman untuk membagiakan brosur. Ya, dia melakukan pekerjaan apapun agar bisa makan. Meskipun tidak setiap hari, setidaknya ada rupiah yang masuk ke dalam dompetnya.
"Silakan, Kak." Nindy tersenyum manis di bawah teriknya matahari. Dia memberikan kertas yang ia bawa pada setiap orang yang lewat.
Tenang, bukan brosur sedot WC yang ia bagikan, melainkan brosur pengobatan alternatif untuk impoten.
"Silakan, Buk." Nindy kembali menawari setiap orang yang melewatinya. Dengan bermodalkan senyum manis berlesung pipit, membuat banyak orang dengan senang hati menerima brosur pemberiannya.
"Aku udah ada di taman, Kek." Seorang pria berhenti tepat di hadapan Nindy, tampak sibuk dengan ponselnya.
"Brosurnya, Pak." Nindy memberikan brosurnya.
"Aku udah keliling tiga kali tapi belum ketemu juga," ucap pria itu mengabaikan Nindy.
"Pak?" panggil Nindy dengan hanya menggerakkan mulutnya..
Pria itu menatap Nindy tajam, "Nggak, terima kasih."
"Ambil aja, Pak. Siapa tau butuh." Nindy berusaha memberikan brosurnya karena dia ingin cepat selesai hari ini. Jujur saja, panasnya matahari membuatnya ingin pingsan.
"Saya bilang enggak. Kamu nggak liat saya sibuk?!" Ucapan menohok itu membuat Nindy terkejut. Dia tahu pria di hadapannya itu terlihat sibuk tapi apa susahnya tinggal menerima brosur yang ia beri dan pergi.
Tidak ingin membuat keributan, akhirnya Nindy memilih mundur dengan bibir yang maju.
"Galak banget," cibir Nindy saat pria itu berlalu pergi.
Tanpa disangka pria itu berhenti dan berbalik, "Kamu bilang apa?"
Siaga satu!
"Hah? Kenapa Pak?" Nindy terkejut sambil mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha untuk terlihat biasa saja. Padahal di dalam hatinya dia sangat takut karena pria itu mendengar ucapannya.
"Kamu ngatain saya apa tadi?"
Nindy terkekeh dengan wajah yang masam, "Ngatain apa sih, Pak? Orang saya nggak bilang apa-apa."
Mata pria itu mulai terlihat marah. Dia tahu dan mendengar jelas apa yang Nindy ucapkan tadi.
"Ampun, Pak. Saya cuma bercanda."
"Lain kali jaga bicara kamu."
"Iya, Pak. Maaf." Nindy memilih untuk menunduk dan membiarkan pria itu pergi.
Setelah sudah aman, Nindy mengelus dadanya yang bergemuruh, "Gila, galak banget. PMS kali ya?"
Tidak ingin berlarut-larut dengan kekesalannya, Nindy memilih untuk kembali bekerja. Entah kenapa hari ini pekerjaannya terasa lebih lama. Bahkan kakinya sudah terasa kebas meminta untuk diistirahatkan. Beruntung tepat jam lima sore pekerjaannya sudah selesai.
Saat ini Nindy berada di salah satu bangku taman dengan sebotol minuman dingin. Setelah beberapa menit beristirahat, dia akan pulang. Tubuhnya benar-benar lelah dan dia juga lapar.
Nindy mulai membuka bungkus roti yang ia bawa sebagai bekal. Gerakan tangannya terhenti saat melihat wanita tua di sampingnya tengah menatapnya lekat.
Nindy melihat ke sekitarnya dengan bingung. Apa wanita tua itu sedang menatapnya?
"Nenek mau?" tanya Nindy hati-hati.
"Nggak usah, Nak."
Nindy masih ragu dan kembali berbicara, "Nenek laper ya? Ini buat Nenek aja."
"Tapi kamu juga keliatan laper, Nak."
Ternyata benar jika wanita tua itu sedang menahan lapar.
Nindy tersenyum dan menggeleng, "Buat Nenek aja, saya nggak papa."
"Makasih ya, Nak."
Nindy lagi-lagi tersenyum melihat nenek di sampingnya yang terlihat senang. Nindy merasa tertampar melihat itu. Seharusnya dia tidak mudah putus asa karena masih banyak orang yang tak seberuntung dirinya di dunia ini.
"Nenek di sini sama siapa?" tanya Nindy.
"Nenek tadi jalan-jalan. Ini lagi nunggu cucu jemput."
Dahi Nindy berkerut mendengar itu. Bagaimana bisa seorang cucu membiarkan neneknya berkeliaran dalam keadaan lapar seperti ini?
"Kapan cucunya dateng, Nek?"
"Nggak tau, Nenek udah nunggu dari tadi tapi belum muncul," balasnya sambil memakan roti pemberian Nindy.
"Ya udah, saya temenin ya, Nek?"
Nenek itu mengangguk senang, "Panggil aja Nenek Farah."
"Oke, Nenek Farah." Nindy tersenyum manis. Dia tidak tega melihat wanita tua itu karena mengingatkannya dengan orang tuanya di desa. Sudah lama Nindy tidak bertemu dengan keluarga besarnya.
Saat masih asik mengbrol, Nindy dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depannya. Nenek Farah berdiri dan tersenyum lebar.
"Itu, Nak. Suami Nenek udah dateng."
Menyadari apa yang ia lihat saat ini, Nindy terkejut dan membuka mulutnya lebar. Dia berdiri untuk memastikan jika apa yang terjadi saat ini bukanlah semata khayalan dari Nenek Farah.
Tak lama seorang pria tua, yang Nindy yakini seusia Nenek Farah turun dari mobil dan menghampiri mereka, "Kenapa nggak bilang kalau mau pergi, Nek? Raka khawatir loh."
"Tadi mau jalan-jalan, tapi lupa jalan pulang," jawab Nenek Farah lugu.
Nindy masih terdiam dengan bodoh. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Dia masih ingat saat Nenek Farah menatap rotinya dengan tatapan mendamba. Namun sekarang wanita itu dijemput oleh suaminya dengan menggunakan mobil mewah. Sangat jauh dari kata tidak mampu.
"Oh iya, ini Nak Nindy. Dia yang temenin Nenek tadi."
"Makasih ya udah temenin istri saya. Kalau enggak, mungkin Nenek udah jalan-jalan ke mana lagi tadi. Nenek memang ada masalah sama ingatannya, makanya suka lupa izin, lupa jalan pulang, lupa bawa HP, lupa bawa dompet juga."
"Iya, Kek. Nggak papa kok." Nindy tersenyum manis.
"Sekali lagi makasih ya, Nak Nindy." Pria tua itu membuka dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah, "Ini buat beli es teh."
"Kebanyakan kalau buat beli es teh, Kek," jawab Nindy polos.
"Nggak papa, ambil aja. Kalau begitu kami pulang dulu ya," pamitnya.
Nindy hanya bisa mengangguk tanpa menjawab. Dia menatap uang di tangannya dengan bingung. Dia masih belum percaya dengan apa yang ia alami saat ini.
"Asik, dinner pake nasi padang." Nindy tersadar dan mulai tersenyum senang.
Sekarang dia benar-benar menyesal karena suka mengeluh. Tuhan pasti memiliki banyak jalan untuk hambanya. Seperti yang ia alami saat ini. Siapa yang sangka jika berawal dari sebuah roti bisa berubah menjadi lembaran uang yang menyenangkan hati?
***
TBC
Sienna One Year Later He had better be fucking ecstatic with this outcome. If he thinks I am doing this again, he has lost his fucking mind. I watch as Luca holds both of our boys. Yes, I just had twin boys. They both have my hair color, but they have his eyes. They are identical, and they are super damn cute. Iyrandi is almost two now and carefully watches her father hold her brothers. She was very excited when she learned she would be a big sister. I was happy when I learned that I was pregnant again. I knew something was off with this pregnancy by the third month. We were told we had twin boys when we went in for our ultrasound when I was four months along. Luca fainted as I started laughing. Uncle Jakari had warned us that the fae is famous for having multiples. He was not wrong. Andre found his beloved in Grandpa Linus’s kingdom. She is a very distant cousin of mine, and we get along well. They also just found out they are having quadruplets. I thought Andre wa
Luca Six months Later I lean back in my chair, looking down at the little girl lying on my bare chest. My little Iyrandi was born two days ago. She was born a month earlier than expected, but she is perfect. She is tiny with a head of chestnut brown hair and eye, the perfect mix of mine and her mother's. She looks more like Sienna, which I am fine with. She is perfect and is my little princess. I glance over at her mother, who is sleeping on our bed. I was surprised at how smoothly the delivery went. I was terrified that she was a month early, but everything turned out fine. I carefully stand up, place my little princess down, and quickly slip a shirt on. I pick her back up as Tigo makes himself known. I look down at the little demon. They have been fascinated with my little princess since we returned home. They slept in the crib with her last night. I feared they might lay on her, but they were cuddled along Sienna when I woke this morning. “Did something happen?” I
I left the castle for a few hours while Luca slept. The shadows kept an eye on him, so I would know when he was awake. I had to ensure no one saw the three of us, so we used the shadows. I laughed when we arrived, where we met Linus and his father. Deter and Palamo damn near vomited, which happens if you are not used to traveling using the shadows. I am used to it, but it never bothered me, even the first time I used them to travel. I have no idea why, but whatever. I let them rest for a bit before we entered the building. “I am going to guess that they haven’t travelled using the shadows before?” A male voice said. I whipped around, ready to kick some ass, when I stopped. Standing there were two faes, and I knew right away that they were my father’s father and grandfather. My dad looked more like his mother, but I could see a family resemblance in both men before me. They took a few steps towards us but stopped when I growled at them. We might be meeting them, but that s
I let out a groan as I try to move my arm. I can’t see to move it, and I slam my eyes shut when the bright light assaults them. I try to turn over, but again something is stopping me. I opened my eyes and saw my little sunrise pressed against me. She had her arm across my chest, and one leg was thrown over mine. I bring my other across my body and run my finger along her cheek. She has this glow to her, and I know it is because she is carrying my child. She moves but doesn’t wake up. I look around the room, and that is when I realise I am in the hospital. That’s when it all comes back to me. “Calm down, if you get upset then she will feel it.” Bernard says. “How long have I been out?” I ask. “Just over 24 hours. The others are just waking up too. Everyone is fine. No one was seriously injured. All of you had minor injures and allof you will be sore for a few days, but thankfully that is it.” Bernard answers. “Sienna hasn’t left your side since you were brought in.
I was not happy to find out that my father’s fae family had spoken with Cavallo. That guy is on my last nerve. He had been on my last nerve for a while, but now that I am pregnant, my nerve is much shorter. It is time for him to get lost. Luca told my dad and me they wanted to sit down and talk with us, but I am unsure about that plan. I don’t trust them since they threatened my dad’s mom. I find this whole situation highly suspicious. I would like to talk with them, and I want Quade and Deter there. Those two can both sense when someone is lying. I can tell that Luca is not on board with this idea. Between his facial expressions and the fact that I can feel everything he is feeling in our bond tells me that he would rather I not be in their presence. “I think our first meeting should be over the computer. I want Quade and Deter in the background since they both can sense when someone is lying. This isn’t sitting well with me but the shadows are calm and don’t seem to have
I kiss my little sunrise’s shoulder as I wake up. I was not expecting that last night from her. Jakari had warned me that pregnant fae women are more demanding and will take what they want, and he was not joking. I wasn’t expecting her to use the shadows to restrain me but fuck; it was hot. She kept telling me I didn’t need to baby her, and she was right. She gave as good as she got last night. I peel myself from her soft creamy skin and walk into the bathroom. Fuck, every muscle in me is sore, but considering why I don’t care. I smile as I walk out of the bathroom. Sienna is still sound asleep. I kiss her temple as I quietly leave the room. I ran into Liam and Jaraki as we walked down the hallway. I heard Laim snicker and caught a slight smirk on Jaraki’s face. “What is this?” I ask. “It will help your aching muscles. I can tell you didn’t heed my warning the last time we talked.” Jakari comments. I roll my eyes, but I am not mad—these assholes. I smirk at Laim whe
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments