Butik itu baru saja dibuka. Huan berdiri di depan pintu kaca dan mendongak menatap papan nama yang terpampang di atasnya.
"Depeche," gumamnya pelan. Sebuah kata yang tidak dipahami maknanya."Tuan Xie Xuhuan?" Tiba-tiba saja seorang pramuniaga keluar dan menyapanya."Iya betul." Huan sedikit terkejut karena tak mengira kedatangannya telah diberitahukan kepada para pramuniaga butik."Nona Jill telah menunggu di dalam." Gadis itu mempersilakannya untuk masuk ke dalam butik.Huan mengikuti gadis itu memasuki butik. Depeche merupakan sebuah toko sepatu yang cukup ternama di negeri ini. Mereka memproduksi sendiri beraneka jenis alas kaki untuk kaum wanita.Huan memperhatikan sekeliling butik. Berbagai jenis sandal dan sepatu terpajang begitu apik dan cantik di sepanjang dinding berlapis rak-rak kaca yang menawan."Silakan!" Gadis itu berhenti di depan sebuah pintu kaca setelah melewati deretan rak-rak kaca dan juga etalase."Tempat yang sangat sulit untuk ditembus. Dengan sistem pengamanan yang canggih dan kamera pengawas di mana-mana." Harry tersenyum menatap butik di depannya dengan seksama.Tengah malam seperti ini, Depeche telah tutup sedari jam sepuluh malam tadi. Lampu-lampu telah dimatikan dan hanya menyisakan sebuah lampu di dalam butik dan di teras yang menyala."Namun bagiku tidak ada yang sulit. Besok malam sepatu itu sudah pasti akan berpindah tempat." Harry tersenyum dan menenggak sisa beer di kaleng.Dia duduk dengan santai di atas motor besarnya. Seakan-akan hanya sedang menikmati malam di tempat yang mulai sepi dari orang berlalu lalang dan juga kendaraan."Hei! Ini makananmu!" Seorang gadis berambut pendek dengan celana pendek jeans dan kemeja bermotif kotak-kotak datang menghampirinya."Terima kasih!" Harry mengambil paper bag berisi burger dan kentang goreng. Dia turun dari motornya dan duduk di sebuah bangku taman diikuti gadis tadi.
"Tuan Huan, hari ini terakhir pemotretan bukan?" Salah seorang karyawan butik bertanya pada Huan."Iya, Nona!" Sahut Huan tanpa mengalihkan perhatiannya dari sepasang sepatu yang telah diatur sedemikian rupa sehingga terlihat sangat menonjol di atas meja kayu berukir."Baiklah! Saya akan memeriksa beberapa hal, silakan Anda melanjutkan pekerjaan." Gadis itu berpamitan.Huan hanya mengangguk dan kembali sibuk mengambil foto sepatu itu dari berbagai sudut. Seorang pria duduk di sudut ruangan memperhatikannya. Selama dua hari pemotretan, dia tidak pernah dibiarkan seorang diri.Pengamanan yang cukup ketat. Bahkan pengambilan gambar semua dilakukan di ruang kerja milik Jill Lau. Wanita itu sendiri selalu sibuk dan hanya sesekali ikut ambil bagian dalam pemotretan.Baru saja Huan hendak mengganti lensa kameranya, tiba-tiba saja terdengar bunyi alarm yang cukup keras. Dia hampir saja terlonjak dan menjatuhkan tripod kameranya."Ada apa
"Hanya sebuah kecerobohan kecil saja!" Darren Wang bergumam menatap lembaran laporan di tangannya."Benar Pak! Menurut keterangan, sepertinya Nona Jill sendiri yang lupa mematikan puntung rokoknya sebelum dia meninggalkan ruangan kerjanya. Setelah itu fotografer yang melakukan pemotretan menyadari adanya asap." Anak buahnya melaporkan hasil penyelidikan insiden yang sempat membuat panik salah satu pusat perbelanjaan terbesar di wilayah itu."Anehnya alarm yang berbunyi justru dari dalam butik bukan dari ruang kerja. Sepertinya ada sebuah kesalahan. Meski setelah itu alarm dan penyemprot air di ruangan kerja itu bekerja sesuai prosedur," gumam Darren Wang pelan."Ada rekaman kamera pengawas?" tanyanya seraya meletakkan laporan itu ke atas mejanya."Ada di meja Anda Pak." Anak buahnya menunjuk pada salah satu kantong plastik bersegel yang ada di atas meja bersama dengan laporan tadi."Mari kita periksa." Darren menyerahkan kantong plastik i
Suasana di butik Depeche malam ini sangat meriah. Peluncuran produk baru mereka dihadiri tamu undangan dari berbagai kalangan."Aku penasaran dengan sepatu mereka kali ini," bisik Veronica Lim pada Ivy. Keduanya juga merupakan tamu undangan di acara itu.Veronica tentu saja dikarenakan dia adalah putri dari Daniel Lim, putra kedua Pak Tua Lim. Sedangkan Ivy karena dia adalah model yang cukup populer di Indonesia dan kerap berlenggak-lenggok di catwalk termasuk di negeri ini."Kabarnya ini akan menjadi sepatu paling spektakuler di negeri ini. Aku rasa ini pastilah sesuatu yang cantik, elegan dan mahal." Ivy juga menanggapi ucapan Ve dengan berbisik pula."Jill tidak pernah bermain-main dengan produk mereka. Harus aku akui dia seseorang yang perfeksionis." Ve tersenyum dan menggandeng Ivy untuk mendekat pada deretan koleksi terbaru butik milik keluarga Lau."Hei! Itu Huan kan?" Ve tiba-tiba saja menunjuk pada sosok yang mereka kenal.
"Kau baik-baik saja?" Harry berjongkok di depan Milli. Gadis berambut ikal itu menatapnya ketakutan. Dia memeluk kedua lututnya erat-erat."Milli kenapa kau takut padaku? Bukankah aku orang yang bodoh dan kau konyol?" Harry tersenyum dan merapikan rambut ikal Milli yang tergerai berantakan."Hari ini aku mengunjungi makam Anthony. Ada sebuah buket bunga yang mulai mengering di makamnya. Apakah kau mengunjungi kakakmu?" Harry bertanya dengan hati-hati sembari jari jemarinya turun dari rambutnya ke pipinya yang kini tirus.Milli gadis yang ceria dan pemberani di wilayah itu kini seperti bukan Milli yang dahulu. Dia meringkuk ketakutan di sudut bak orang linglung dikejar hantu."Sepertinya bukan dia, Harry. Kami mengawasinya dengan ketat. Lagipula seingatku setelah pemakaman Koko Anthony, dia tidak pernah sekalipun mengunjungi makamnya." Seorang pemuda yang sedari tadi mengawasi mereka menyahut dengan tegas."Begitu ya? Kenapa waktu itu aku
"Pak, tumben sekali Anda mengajak kemari?" Kai, pemuda blasteran Melayu-China itu bertanya pada Darren Wang seraya menatap ke sekeliling kafe.Hanya sebuah kafe biasa seperti kedai-kedai kopi lainnya di Singapura. Selain kopi tentu saja mereka juga menyediakan roti kaya, camilan khas negeri ini yang sangat populer serta beberapa menu yang lain."Tiga tahun lalu aku memiliki janji untuk bertemu dengan kawan masa kecilku di sini, di kafe ini." Darren Wang tersenyum seraya mengaduk kopi hitamnya.Kai tertegun menatap rekannya yang lebih tua dan juga lebih senior darinya itu. Darren hampir tidak pernah bercerita mengenai kehidupan pribadinya. Dia pria bujangan yang hidup sendirian di sebuah apartemen."Teman?" Kai bergumam pelan. Darren Wang mengangguk dan mengeluarkan rokok dari sakunya, meletakkannya di atas meja.Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Kai pun turut mengambil sebatang. Selayaknya kebanyakan pria, keduanya memang pe
"Berlian yang indah," gumam Ve menatap Karen Yu yang berputar di depannya, memamerkan gaun yang membalut tubuh semampainya."Ini berlian hadiah dari ayahku. Menurut beliau berlian ini telah lama dimiliki kakek." Karen Yu menyentuh telinganya di mana sepasang anting bermata berlian berkilauan menempel."Wah pasti mahal!" Ve masih menatap sahabatnya itu dengan kagum."Bukan harganya tetapi sejarah berlian ini." Karen Yu tiba-tiba nampak sendu.Veronica Lim tertegun. Dia tak menyangka putri David Yu itu sensitif dengan hal-hal yang sekilas merupakan pembicaraan biasa saja. Gadis itu tidak menanggapi ucapannya tadi dengan penuh kebanggaan dan antusias seperti orang lain pada umumnya jika disinggung mengenai harga koleksinya."Ayo kita sambut para tamu!" Ve tersenyum dan dengan lembut menggandeng Karen Yu untuk keluar dari kamarnya.Hari ini adalah hari ulang tahun Karen Yu yang ke 27 tahun. Dia yang merupakan putri tunggal David Yu,
Lau pa sat festival paviliun di malam hari sungguh ramai dan menggoda siapa saja untuk mampir ke salah satu pusat kuliner di Teluk Ayer ini."Kau ingin makan apa?" Huan menggandeng Cecilia menelusuri koridor bangunan yang merupakan peninggalan sejarah di masa kolonial."Nasi Hainan!" Seru Cecilia seraya menunjuk pada salah satu kedai yang ada di sudut."Oke! Ayo ke sana!" Huan menggandeng dan menariknya untuk berjalan lebih cepat."Huan! Cecilia!" Tiba-tiba seseorang menyapa mereka berdua. Huan dan Cecilia menoleh, di belakang mereka seseorang berdiri, tersenyum dan melambaikan tangannya dengan ramah."Jonathan!" Huan dan Cecilia berseru serentak menyahut sapaannya."Hei apa kabar kalian?" Jonathan tertawa dan menepuk bahu Huan. Mereka bersalaman dan kemudian saling merangkul sebentar."Kami baik, bagaimana denganmu?" Cecilia tersenyum menatap Jonathan dari atas ke bawah dengan tatapan kagum."Kenapa?" Jonathan
"Wah! Mirip istana di negeri dongeng!" Cecilia berseru saat motor besar Huan berhenti di depan sebuah bangunan megah bak istana."Rumah keluarga Wong kurang lebih juga seperti ini." Huan tersenyum melirik Cecilia yang menatap bangunan di depannya dengan kagum."Kalau kau ingin menjadi putri bak Cinderella atau Belle, kapan-kapan kita ke Chengdu." Huan menggandeng lengan gadis itu mengajaknya untuk memasuki bangunan megah itu."Tidak perlu, aku tidak mau menjadi putri. Aku hanya mau menjadi Ceci kesayangan Koko dan dirimu." Cecilia tertawa pelan dan bergayut manja di lengan Huan."Baguslah kalau begitu. Itu Tuan Theo!" Huan menunjuk pada seorang pria yang bergegas menemui mereka."Tuan Harry, saya sangat senang Anda berubah pikiran. Marilah, Nyonya Liliana sudah menantikan kedatangan Anda." Theo terlihat begitu bersemangat.Pria berkacamata itu menyambut mereka dengan ramah. Harry mengabarinya pagi tadi, bahwa dia bersedia untuk mencari kotak musik milik Nyonya Liliana.Mereka berdua me
"Pak Wang silakan!" Huan mempersilakan Darren Wang untuk duduk.Mereka kini berada di kafe yang dikelola anak buah mendiang Anthony. Di sudut kafe yang sepi karena pagi telah menjelang. Kafe ini bisa dikatakan buka sepanjang waktu."Harry, tidak pernah aku bayangkan bisa berbicara seperti ini denganmu. Mengingat kau licin seperti belut." Darren Wang tersenyum menatap pria yang lebih muda darinya itu."Terima kasih atas pujianmu Pak Wang," sahut Huan sembari menggaruk kepalanya.Dia sudah tidak lagi berbicara dengan bahasa yang formal pada pria itu. Rasanya akan terlalu berlebihan jika mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang kaku, akan lebih terasa seperti sebuah interogasi daripa sebuah perbincangan ringan antar dua pria."Kepolisian tidak pernah bisa menemukan bukti akan keterlibatanmu dalam beberapa kasus pencurian besar hingga kini, karena itu aku pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi." Darren Wang mengangkat bahunya dan tersenyum k
Huan menatap ke sekeliling yacht. Sepi, seperti tidak ada yang menjaga. Perlahan dia menelusuri geladak dan mengetuk pintu yang diyakininya sebagai sebuah ruangan pribadi. Itu terlihat dari sebuah papan nama yang tergantung di pintu."Sebentar!" Terdengar suara seorang wanita menyahut dari dalam.Pintu terbuka perlahan dan sesosok wanita berdiri, terkejut dengan keberadaan Huan yang bersandar di pintu dengan santai bersedekap tangan."Selamat pagi Nona Anna!" Sapanya seraya melambaikan tangannya dan tersenyum menggoda."Kau!" Anna Karenina tertegun menatap Huan. Dia mengenalinya sebagai pria suruhan pamannya untuk mencari kotak musik milik neneknya."Ada apa kau kemari? Apa kau akan menawarkan kotak musik itu padaku?" Anna Karenina menatapnya dengan gaya acuh tak acuh."Anda tidak ingin mempersilakan saya masuk?" Huan kembali tersenyum menggodanya.Anna menghela napas, terlihat dia sangat kesal dan tidak menghendaki keha
Cecilia terbangun saat smartphone yang diletakkannya di bawah bantalnya bergetar dengan keras. Masih setengah terpejam diambilnya benda itu dan menerima panggilan video yang masuk."Ceci jika besok aku tak kembali, bawalah kotak musik itu ke kediaman Nyonya Liliana bersama Jonathan." Wajah tampan Huan muncul di layar smartphone-nya."Huan, kau di mana?" Ceci segera terbangun, seketika kantuknya hilang begitu saja."Aku mengejar penyusup yang masuk ke apartemen. Jangan khawatir, aku pasti kembali." Huan tersenyum dan menggerakkan tangannya seakan-akan tengah menyentuh rambutnya."Huan berhati-hatilah! Aku akan menyusulmu!" Cecilia bergegas melompat turun dari tempat tidurnya."Tidak perlu, bye Cecilia, aku pasti kembali!" Huan mengakhiri panggilan videonya."Huan," gumam Cecilia lirih. "Firasatku tidak baik, seperti saat Koko Anthony menghubungiku malam itu." Tubuh Cecilia luruh ke lantai. Dia menangis tersedu-sedu."Aku
"Ini kotak musiknya?" Jonathan menatap kotak musik di atas meja."Lihat, perhatian dengan seksama. Mirip bukan?" Huan membuka sebuah album foto yang diambilnya dari tas kerjanya."Memang mirip," gumam Jonathan seraya bergantian membandingkan kotak musik itu dengan beberapa foto yang ada dalam album foto itu."Apakah dia Liliana?" Tiba-tiba saja Cecilia menunjuk pada foto seorang balerina. Foto hitam putih tetapi masih cukup jelas dan terang. Kemungkinan foto itu hasil repro dengan teknologi masa kini yang canggih."Dari mana kau tahu mengenai Nyonya Liliana?" Huan menatapnya heran."Dari ini!" Serunya seraya meletakkan setumpuk kertas dan juga buku note kecil yang tadi ditemukannya di dalam laci kotak musik.Huan dan Jonathan mengambil kertas-kertas itu dan memeriksanya dengan teliti kemudian membaca catatan yang tertera di dalam buku itu. Mereka berdua menatap Cecilia seakan meminta penjelasannya."Baiklah!" Cecilia ter
Cecilia berganti pakaian dan membersihkan lantai mezanin. Ada beberapa serpihan kaca yang masih tertinggal. Dia memiliki praduga itu serpihan kaca dari bola kaca saljunya yang pecah. Benda itu tidak ada di dalam laci mejanya."Bukan barang berharga, tetapi itu baru saja aku beli," gumamnya seraya membuang sisa-sisa serpihan kaca ke dalam tong sampah di sudut kamarnya.Setelah memastikan tidak ada lagi serpihan kaca di lantai, dia pun turun lagi ke lantai bawah. Dia mengambil paper bag yang berada di lemari penyimpanan di bawah tangga. Dia belum sempat mengeluarkannya kemarin."Aku belum sempat memutarnya lagi semenjak diperbaiki," katanya seorang diri dan mengeluarkan kotak musik tua dari dalam paper bag itu.Cecilia membawanya ke jendela dan meletakkannya di atas meja tinggi. Kemudian dia duduk di kursi berkaki tinggi sejajar dengan meja dan jendela. Dengan hati-hati digesernya kaca jendela agar udara segar dapat masuk."Semoga saja bisa
"Kau yakin dengan informasi itu?" Wanita cantik itu menatap pria yang berdiri menunduk di hadapannya."Benar Nona!" Pria itu menganggukkan kepalanya."Baiklah! Kalian harus bisa mendapatkan kotak musik itu terlebih dahulu sebelum orang-orang suruhan pamanku." Wanita itu mengambil beberapa lembar foto di atas mejanya."Hanya seorang gadis saja, aku rasa itu mudah bagi kalian, bukan?" lanjutnya lagi setelah menatap foto-foto itu cukup lama."Iya Nona." Pria itu kembali menganggukkan kepala."Pergilah!" Wanita bergaun merah itu menjentikkan jarinya dan pria itu pun pergi meninggalkannya seorang diri.Anna Karenina, wanita itu merupakan cucu satu-satunya Nyonya Liliana. Dia digadang-gadang akan menjadi pewaris seluruh kekayaannya.Sayangnya hingga saat ini Nyonya Liliana masih hidup dan segar bugar. Selain itu dia telah membuat pernyataan akan mewariskan kekayaannya pada anggota keluarganya yang meneruskan tradisi keluarga s
"Kotak musik?" Harry menatap Jonathan dengan kening berkerut."Benar Tuan. Nyonya Liliana kehilangan kotak musiknya beberapa hari yang lalu. Sepertinya Nona Anna, cucunya telah membersihkan gudang dan menjual semua barang yang terpakai pada toko loak." Pria berkacamata yang duduk di hadapan mereka menjelaskan maksud permintaan mereka."Nyonya Liliana bersedia membayar berapa pun asalkan kalian mendapatkan kotak itu," lanjutnya dengan serius."Theo! Kau tidak perlu repot mencari benda itu! Aku memang sengaja membuangnya! Sebaiknya kalian pergi dan tidak usah mendengar omong kosong wanita tua itu!" Seorang gadis cantik tiba-tiba saja datang dan menyela pembicaraan mereka."Nona, Anda tidak bisa bersikap seperti itu pada Nyonya Liliana. Beliau adalah nenek Anda." Theo, pria berkacamata itu menegur gadis itu dengan sopan."Kau pikir kau siapa? Kau hanya asisten pribadi nenekku, begitu dia meninggal kau orang pertama yang aku depak dari rumah
"Kau bisa memperbaikinya bukan?" Cecilia berjongkok di depan pemuda yang tengah mengamati kotak musiknya."Aku rasa bisa, ini hanya tuasnya saja yang bermasalah. Sebentar aku ambil alat-alatku." Pemuda itu tersenyum dan berdiri kemudian masuk ke dalam bengkel."Kalau begitu aku pergi berbelanja dulu!" Cecilia berseru dan setelah pemuda itu mengiyakan, dia pun segera meninggalkan bengkel."Sungguh membosankan jika Huan mulai sibuk dengan pekerjaannya," keluhnya saat menelusuri trotoar menuju pasar terdekat.Huan tengah menemui Alexander Lim dan Jonathan Mo. Dia tidak pernah ikut campur jika mengenai pekerjaan, kecuali untuk beberapa hal yang dapat dikatakan aman untuknya."Ceci!" Seorang wanita setengah baya berseru memanggilnya. Cecilia menoleh, dia segera berbalik dan menghampiri wanita yang tengah menata barang dagangannya."Ada apa Bibi Yu? Apakah ada sayuran segar yang baru datang?" Cecilia tertawa dan memilih sayur-sayuran y