Beberapa bulan kemudian ...Perut Pinka semakin membesar, usia kandungannya sudah memasuki tujuh bulan. Pinka hidup seorang diri, dan hanay di temani Ari, sahabat Fatih yang merasa amanah untu bertanggung jawab atas Pinka.Ari tidak tinggal diam selama ini, Ari memberikan informasi akurat pada keluarga Sean dan sayangnya selama ini berita itu selalu Zahra yang menerima dan tidak akan mungkin di teruskan pada Sean atau yang lainnya."Kamu ingin bekerja?" tanya Ari kemudian."Hanya mencuci yang bisa akulakukan Ari. Aku tidak mau menggantungkan hidupku pada dirimu. Aku sudah sangat merepotkan kamu," ucap Pinka lembut."Tidak Pinka. Ada seseorang yang mau mendonorkan kedua matanay untuk kamu. Apakah kamu mau?" tanya Ari kemudian."Donor mata? Memangnya orang itu sudah tak membutuhkan kedua matanya lagi?" tanya Pinka kemudian."Alasan pertama, orang itu sudah pasrah dan menyerah. Ia mencintai seorang wanita, namun bertepuk sebelah tangan. Hidupnya terasa percuma," ucap Ari kemudian."Kasih
"Kenapa buru -buru sekali, Ri. Aku kan buta," ucap Pinka kemudian sambil berjalan terseret karena mengikuti langkah Ari yang menggandengnya untuk segera sampai di rumah sakit.Ari yang begitu senang memberikan kabar baik ini pun di sambut rasa bahagia oleh Pinka."Maafkan aku, Pinka. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu susah. Tapi aku bahagia sebentar lagi mungkin kamu bisa bahagia karena melihat dunia lagi," ucap Ari membuat hati Pinka ikut berbunga."Tidak apa -apa Ri. Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ri. Kamu banyak membantu aku hingga mencarikan donor mata untukku. Empat bulan ini, kamu yang mengurus aku, Ri. Bagaimana aku bisa membalas semuanya," ucap Pinka pada Ari."Pinka ... Ini amanah dari Fatih. Beliau banyak membantu aku. Sudah sepantasnya aku membalas kebaikan beliau dengan mengurusmu. Jujur, Fatih sangat merasa bersalah padamu. Apalagi beliau pernah smapai ingin ...," ucapan Ari tehenti."Cukup Ri. Tidak perlu kamu lanjutkan lagi. Itu sudah menjadi bagian dari
Sejak vonis gagal jantung yang di derita Ainul. Semakin hari, tubuh Ainul semakin melemah dan tak bisa banyak beraktivitas. Hidupnya hanya berda di kamar dan di kasur tanpa bisa melakukan aktivitas yang sama seperti Adzan."Ainul ... Lihat gambar ini. Tadi Adzan buat di kelas bersama bu guru," ucap Adzan memamerkan kertas gambar yang telah di warnai sesuai anggota keluarga yang ada di rumahnya.Ainul melihat hasil gambar Adzan dan menoleh ke arah Adzan."Kok gambarnya begini? Ini siapa?" tanya Ainul menunjuk satu wanita yang sedang menggendong bayi berada di ujung dan terpisah dari anggota keluarganya."Ini Oma, ini Abi, ini Ainul, dan ini Adzan, ini Umi bawa adik kecil ...," ucap Adzan memandang gambar Uminya yang ia buat sesuai denagn mimpinya beberapa malam ini yang terus menganggu pikiran anak kecil itu."Umi? Adik kecil? Kita gak punya adik kecil, Kak Adzan. Lalu ini siapa? Ini kan Umi yang ada di samping Abi," ucap Ainul menatap Adzan."Ini nenek lampir," jawab Adzan ketus."Hei
Reno semakin mempercepat langkahnya dan tetap diam seribu bahasa meningglakan Pinka yang terdiam terpaku sendirian berdiri menatap Reno yang terus berjalan tanpa peduli panggilannya. "Apa jangan -jangan kedua mata ini? Hah!! Aku harus mencari Ari bertanya tentang kebenaran ini," ucap Pinka di dalam hati. Reno berbelok di ujung jalan yang sudah sanagt ia hapal sekali. Jantungnya terus ebrdetak semakin kencang. Rasanya ini semakin sulit. Sebaiknay Reno pergi dari negara ini untuk benar -benar bisa menjauhi Pinka. Jika kejadian ini terus -terusan terjadi, mungkin sampai kapan pun Reno tidak bisa melupakan kenangan manis yang terukir indah di memorinya. *** Beberapa bulan kemudian, Pinka berhasil mengumpulkan uang untuk kembali ke negaranya dan pulang ke rumahnya. Ia yakin sesuatu terjadi dalam rumah tangganya hingga Sean tak mencari dirinya. Ari pun tak bisa lagi di hubungi. Dia sudah benar -benar pergi dan Reno? Ya, dokter tampan itu tak dapat lagi di temukan oleh Pinka. Setidakny
Suara lantang itu sungguh tak di pedulikan oleh Pinka. Zahra sendiri langsung berlari dan ingin mendorong Pinka yang sedang menggendong Ainul dan menggandeng Adzan. Ibu Aisyah seketika tak bisa menggerakkan tubuhnya dan terduduk di lantai begitu saja. Tak ada yang menyadari denagn apa yang terjadi pada Ibu Aisyah.Ari yang sejak tadi berdiri di sisi dekat ruang tengah pun sudah tak terlihat lagi. Entah kemana laki -laki itu. Sean sendiri langsung berlari ke dapur untuk mengambil sesuatu dan kembali ke ruang tengah untuk menghalangi Pinka.Bruk!!Zahra mendorong keras tubuh Pinka hingga wanita itu jatuh tersungkur di lantai. Fatimah kecil yang berada di stroller pun menangis, Zahra tersenyum licik. Irtu adalah harta berharga Pinka dan kemungkinan Pinka bisa gila jika putrinya di bawa pergi."Umi!!" teriak Sean dari arah dapur dengan membawa pisau.Pandangan Pinka beralih menatap Sean dengan pisau potong yang begitu tajam."Abi!! Gak usah main -main sama benda itu. Taruh Bi," ucap Pinka
Beberapa tahun kemudian ...Usia Ainul sudah menginjak delapan belas tahun. Begitu juga dengan usia Adzan yang tak berbeda jauh dengan Ainul adiknya. Seangkan Fatima baru saja lulus dari sekolah dasar.Ibu Aisyah, Ibu Sean, mertua Pinka telah meninggal setahun yang lalu. Kini mereka tinggal di negara Turki mereka dan membuka usaha restaurant khas masakan asal negaranya.Pagi ini, seperti biasa Sean, Pinka dan ketiga buah hatinya makan bersama di ruang makan dengan suasana keluarga yang hangat dan menyenangkan.Pinka selalu memasak makanan kesuakan mereka secara bergantian."Pagi sayang," sapa Sean yang langsung meraih pinggang Pinka dan mengecup pipi istri kesayangannya itu.Pemandangan itu sudah terlalu biasa dipertontonkan untuk ketiga buah hatinya. Mereka terkadang iri dengan kasih sayang Abi Sean yang terlalu memuja Uminya."Pagi Abi ... Katanya libur? KOk udah pake seragam?" tanya Pinka bingung. Pasalnya Pinka merasa bersalah karena tak menyiapkan seragam dan perlengkapan lainny
Ainul dan Adzan tidak satu sekolah. Ainul lebih memilih sekolah kejuruan sedangkan Adzan lebih memilih sekolah umum. Ainul sangat sibuk di kegiatan sekolah yang berbau religi. Makanya Ainul ingin melanjutkan kuliah agama di Mesir untuk memperdalam ilmu agamanya.Berbeda dengan Adzan yang memiliki cita-cita ingin menjadi seorang dokter. Abinya menyuruh Adzan untuk sekolah polisi, namun Adzan tetap pada pendiriannya memilih kuliah kedokteran dengan alasan ingin merawat Abi dan Umi dimasa tua.Fatima juga akan melanjutkan sekolah menengah pertama. Fatima sendiri memilih untuk masuk ke Pondok untuk mengembangkan ilmunya.Sebagai orang tua, Sean dan Pinka hanya mengarahkan, memberikan nasehat dan pandangan ke depannay seperti apa. Apapun pilihan mereka, Pinka dan Sean akan tetap mendukung."Mi ... Abi berangkat dulu ya," ucap Sean yang telah selesai sarapan dan Pinka ikut berdiri untuk mengantarkan suaminya keluar.Ketiga anaknya juga telah siap untuk berangkat sekolah dengan ikut bersama
Beberapa minggu kemudian waktunya untuk Adzan dan Ainul melaksanakan ujian akhir nasional. Setiap malam Ainul berusaha keras untuk belajar agar mendapatkan nilai yang baik. Begitu juga dengan Adzan yang terus bangun dini hari untuk belajar memperisiapan ujian dengan baik."Gimana persiapan ujiannya?" tanya Sean pada kedua putra dan putrinya yang nampak terlihat tegang menghadapi hari pertama ujian ini."Siap kok Bi. Santai aja," ucap Adzan yang memang selalu tenang menghadapi situasi appaun."Kamu Nul? Kelihatan gugup?" tanya Abi lembut sambil menatap Ainul lekat.Pinka masih sibuk memasak dan menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan ketiga buah hatinya."Sudah siap kok, Bi," ucap Ainul pelan sekali."Kamu kenapa? Kelihatan gak sehat?" tanya Sean sambil memegang kening Ainul dengan punggung tangannya.Ainul memang agak demam. Tubuhnya terasa panas dingin sejak semalam dan lemas."Mi ... Ainul sakit Mi!! Bawakan obat," teriak Sean pada Pinka yang baru saja masuk ke ruang makan sambil me
Itulah Adzan. Lelaki pemberani dan kuat yang tak akan menyerah dalam situasi apapun. Adzan adalah lelkai yang menjaga harga diri keluarganya. Baginya keluarga adalah prioritasnya. Barang siapa yang mengganggu keluarganya, maka akan berhadapan dan berurusan dengan dirinya.Adzan sudah mematika mesin motornya dan turun masuk ke dalam gedung tua. Disana terlihat Marko sedang bersantai dan minum -minuman keras bersama komplotannya."Marko!! Kamu apkan Ainul!!" ucap Adzan dengan suara yang begitu keras dan lantang. Adzan masuk ke dalam gedung sendirian. Reza dan teman -temannya bersembunyi di tempat lain sesuai arahan Adzan tadi.Marko meletakkan botol minumannya di atas meja dan bangkit berdiri untuk melihat siapa yang memanggil namanya dengan berani. Kedua matanay menyipit dan emnatap tajam ke arah Adzan."Kamu? Adzan bukan?" tanya Marko dengan suara tak kalah lantang.Sebagai pemimpin genk motor, Marko tak boleh terlihat lemah didepan anak buahnya. Apalagi yang datang adalah orang asing
"Umi kenapa sih, Kak?" tanya Ainul pada Adzan yang sambil mencuci piring. Adzan sedang mengelap meja makan dan menutup smeua sisa makanan denagn tudung saji."Umi cuma lelah aja. Cepat Ainul, kamu juga harus istirahat terus belajar. Besok hari terakhir ujian. Kmau harus semangat," titah Adzan lalu menyapu ruang makan dan menyeruknya dan membuang sampah."Iya Kak. Oh ya, Memang Kakak mau ke Mesir juga?" tanya Ainul lembut sambil mencuci tangannya setelah selesai mengerjakan tugasnya."Iya. Biar mimpimu kamu tidak terhenti," ucap Adzan kemudian lalu membuatkan susu untuk Ainul.Adzan memberikan susu itu pada AInul dan menyuruhnya cepat masuk ke dalam kamar. Adzan juga masuk ke dalam kamarnya dan belajar untuk hari terakhir ujian.***Pagi ini, suasana rumah sudah kembali seperti biasa. Pinka dan Sean hanay membeli makanan dari ujung gang rumahnya. Hari ini, Sean ingin memanjakan istrinya agar tidak memasak dan membiarkan membeli semuanya."Tumben makanannya begini," ucap Fatima menatap
Satu jam sudah Ainul bercerita tentang semuanya. Tak ada satu cerita pun yang di lewatkan oleh Ainul. Awal mula cerita tentang Marko dan ancaman Marko hingga Ainul bisa terjebak dalam kehidupan malam MArko.Adzan terdiam sesaat. Ia mencari solusi yang tepat dan cara untuk bicara denagn baik tanpa menimbulkan masalah baru bagi Ainul."Jadi benar itu anak Marko?" tanya Adzan pada AInul yang mengangguk pasrah sambil menunduk.Kedua mata Ainul sudah basah dan tak bisa lagi membendung air mata itu. Adzan memebrikan sapu tangannya kepaad Ainul."Ini ... Hapuslah air mata kamu. Jangan bersedih Ainul. Semua yang sudah terjadi itu adalah takdir. Sekarang bagaiaman kita menyikapi maslaah itu sebagai ujian dan pendewasaan. Ada Kakak, kita bisa cari solusi bersama. Kamu sekarang maunya gimana?" tanya Adzan pada Ainul.Ainul sedang menghapus air matanay dan cairan dari hidung yang keluar begitu saja. Lalu mengangkat wajahnya dan menatap Adzan dengan malu. Wajaah Ainul sudah memerah karena menahan
Adzan tetap setia menunggu Ainul didepan ruang BK. Setelah mencari tahu, ternyata Ainul sedang mengerjakan ujian kemarin yang memang tidak dikerjakan karena tidak masuk.Adzan sudah menyuruh beberapa teman- temannya di Panti untuk mencari tahu keberadaan Marko. Ada kabar berita yang cukup membuat Adzan terkejut.Satu jam kemudian Ainul keluar dari ruang BK dengan wajah lesu dan tubuh yang etrlihat lemas. Adzan menyodorkan susu kotak untuk IAnul setelah melihat Ainul keluar dari ruang BK."Minumlah biar tubuhmu gak lesu begitu. Kasiha janinmu," bisik Adzan pada Ainul.Ainul menatap Adzan yang tidak menatap Ainul dan hanya menyodorkan susu kotak tanpa harus menatap adiknya. Adzan tak tega melihat wajah Ainul yang begitu terlihat kelelahan."Makasih," jawab Ainul pasrah. Ia menerima susu kota itu dan menancapkan sedotan dilubang kotak itu dan menyeruput nikmat. Susu strawberry yang begitu dingin dan manis sungguh membuat kerongkongan Ainul kembali basah dan mEnghilangkan rasa dahaga yang
Ainul masuk ke dalam sekolah dengan perasaan marah terhadap Adzan. Kedua kakak adik itu biasanya selalu akur dan harmonis. Tapi, kini keduanya bagai kucing dan anjing yang siap menerkam satu sama lain.Adzan yang begitu sayang pada AInul terlalu posesif. Ainul yang sedang tertimpa masalah juga egois menyembunyikan masalahnya itu sendirian saja tanpa ingin diketahui oleh siapapun."Ainul? Kamu kenapa kemarin gak masuk? Dipanggil guru BK katanya ingin susulan kapan?" ucap teman Ainul yang memberikan informasi langsung dari gurunya."Oh oke. Makasih ya, Vin. Aku kesana sekarang," ucap Ainul yang merasa ada sesuatu yang tak beres. Dadanya bergemuruh dan perasaannya tiba -tiba menjadi tidak enak.Ainul mengetuk pintu ruangan BK dan dari dalam terdengar sahutan Bu Eri yang menyuruhnya segera masuk."Masuk!""Maaf Bu. Ibu panggil Ainul?" tanya Ainul kemudian."Ohh Ainul? Iya. Ibu cari kamu. Sini masuk. Kemarin kamu tidak masuk kenapa? Tidak ada permohonan ijin atau surat keterangan sakit dar
Keesokan paginya, Adzan tetap merencanakan semua apa yang telah ia rencanakan bersama anak panti untuk mengikuti Ainul kemana pun perginya seharian ini. Adzan sudah duduk manis disalah satu kursi makan sambil menikmati sarapan paginya. Pikiran Adzan jelas sedang bercabang sejak kemarin. Kenapa dihari penentuan nasibnya untuk lulus malah dihadapkan pada masalah besar seperti ini.Sean sudah masuk ke ruang makan untuk sarapan pagi bersama ketiga buah hatinya. Fatima menyusul dengan wajah serius dan Ainul belum nampak sama sekali batang hidungnya. Ada perasaan penasaran dihati Adzan dan ingin menghampiri Ainul ke kamar gadis itu. Tapi Adzan tetap berusaha tenang dan tidak tereburu -buru dengan segala egonya. Ia tidak ingin membuat Pinka, Uminya menjadi khawatir. Perempuan setengah baya itu terlalu peka untuk urusan kecil seperti ini."Mi ..," panggil Abi setelah menyeruput kopi hitam.Pinka pun masuk ke ruang makan sambil tergopoh -gopoh dan membawa telor dadar di piring besar."Iya Bi?
Hari ini pukul satu dini hari, Adzan terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya lalu membuka kamarnya. Suasana dirumah itu begitu sunyi dan hening. Adzan berjalan menuju dapur untuk mengambil air dan cemilan di lemari es untuk mengisi perutnya yang mulai terasa lapar dan menemani ia belajar hingga pagi menjelang.Sesekali Adzan mendengar suara desahan dari kamar kedua orang tunya. Adzan hanya tersipu malu mendengarnya."Ainul? Kamu sedang apa?" tanya Adzan menatap Ainul yang sedang sibuk memasak air.Ainul menoleh ke arah belakang melihat Adzan yang berjalan pelan menghampirinya."Kak Adzan ngapain? Peduli amat?" ucap Ainul yang semakin ketus."Lho ... Kakak kan emang peduli sama kamu, Nul. Kamunya aja yang gak paham dan gak peka," ucap Adzan lembut.Adzan tahu Ainul ingin menikmati mie instant malam ini. Adzan mengambilkan beberapa bakso dan sosis yang kemudian direbus didalam air."Ainul gak mau pakai sosis sama bakso. Ainul mual, Kak," ucap Ainul langsung menutup hidungnya dengan
"Semua orang tua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak -anaknya. Mana ada orang tua yang membiarkan buah hatinya mearsakan, kesakitan, kesedihan, kegagalan. Makanya setiap orang tua akan selalu mendoakan anak -anaknya agar berhasil dan sukses menjadi orang hebat," ucap Umi Pinka begitu tulus."Umi ... Kalau ternyata Ainul gagal menjadi anak yang baik bagaimana?" tanya Ainul dengan raut wajah begitu sedih.Ainul merasa hidupnya semakin etrtekan jika membohongi dirinya sendiri dan keluarganya seperti ini.Pinka terus menatap Ainul yang menangis tanpa henti. "Sebenarnya ada apa? Kamu seperti menyembunyikan sesuatu dari Umi? Kamu dan Adzan bertingkah aneh hari ini. Memangnya ada masalah apa? Mungkin Umi bisa bantu?"tanya Pinka begitu pelan dan membuat hati Ainul semakin berdesir.Ainul kembali memeluk Uminya. Ia belum sanggup menceritakan semuanya. Ainul berjanji setidaknya sisa ujian akhir ini bisa ia kejar untuk mendapatkan nilai yang baik.Pinka membalas pelukan itu dengan penu
"Kakak tanya sama kamu, Nul!! Jawab pertanyaan Kakak!!" tanya Adzan mulai geram.Sejak tadi Ainul seperti menyembunyikan sesuatu membuat rasa penasaran Adzan semakin membuncah.Ainul melengos dan menatap ke arah atap kamarnya. Ia tak mau peduli dengan pertanyaan Adzan yang membuat dirinya mati kutu tak bisa menjawab.Semua ini adalah salahnya!! Memberkan celah untuk Marko. Lalu saat ini? Marko ternyata hanya mempermainkannya saja karena rasa penasaran."Cepat jawab!! Atau bukti ini Kakak berikan pada Umi dan Abi?" ucap Adzan mengancam sambil menunjukkan alat tespek tadi."Bawa sini Kak!! Itu milik orang lain, bukan aku," ucap Ainul membela diri.Ainul berusaha berdiri dan mengambil bungkusan itu dari tangan Adzan."Sini Kak!!" ucap Ainul dengan suara keras."Gak akan!! Ini adalah bukti. Satu lagi, kakak tidak percaya kalau ini punya orang lain. Kakak akan cari siapa lelaki yang telah menghamili kamu? Marko kah?" tuduh Adzan dengan tepat sekali.Ainul menggelengkan kepalanya cepat. "Bu