“BANG! Punya saya belum Abang bikinin!”
Terik matahari mengungkung sebagian bumi. Memberikan penerangan paling eksis sepanjang masa yang tidak ada satupun benda yang dapat mengalahkan presensinya. Kendati panas menjalar seolah melecut tanpa ampun, entah bagaimana caranya tetapi kini mereka justru berbaur satu sama lain sembari bergurau. Usai dengan jengah menendang perut Alvin, perempuan berponi itu berlari ke ujung jalan dan kembali bersama dua gerobak ketoprak dan batagor-siomay setelah mereka mengira Jessica berencana kabur sebab jengkel.
Seringan daun puan ganas tersebut berkacak pinggang menatap sebal pada mereka. “Gue laper abis berantem. Kalian mau makan? Ambil aja, gue yang bayar semua.” lalu mengetuk gerobak pada setiap sisinya. “Masih banyak stok, nih. Nggak usah seraka
PERTAMAkali dalam sejarah, mereka mencetak momentum baru yaitu Jessica menemukan ketenangan serta damai kala bersama Alvin. Namun anehnya sang puan tidak begitu suka akan suasana kelam nan mencekik ini, jauh berbeda dari apa yang Jessica bayangkan dulu. Singkat cerita Alvin melompat keluar begitu taksi berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit Atesia. Jessica menyusul di belakang usai membayar, mengikuti setiap langkah kilat si tuan yang akhirnya berdiri kaku di depan ruang rawat inap.Seolah dunia laki-laki tukang rusuh tersebut telah usai, telah luluh lantak tanpa sisa, telah hancur lebur tanpa belas kasih. Alvin berlinang air mata tanpa suara. Berusaha melangkah maju akan tetapi tergugu berkali-kali bersama napas tercekat tiap kali berkedip menyorot lurus pada seorang gadis yang berbaring pucat di atas ranjang, dibantu alat oksigen dan selang infus
JESSICAserius saat berkata ia akan menolong Alvin mencarikan donor ginjal bagi adiknya. Ketika sudah berjanji, Jessica adalah tipikal gadis yang akan menepati apapun yang dia katakan. Tanggungjawab harga dirinya di nilai dari sana. Namun mengingat betul dia tidak bisa bekerja sendirian dalam mendapatkan organ penting manusia tersebut. Jessica terpaksa mengunjungi Universitas Bina Bangsa dalam memenuhi misi membantu Alvin. Masih berbalut seragam sekolah yang jelas akan mencolok di depan ratusan mahasiswa. Jessica mendongak memandang deretan huruf keterangan tempat di mana ia berada di sana.Sesungguhnya Jessica tidak mengerti benar mengapa ia ingin membantu Alvin yang notabenenya telah menganggu kedamaian hidupnya selama dua tahun kurang terakhirㅡbahkan mengantarkan laki-laki itu pulang dengan selamat sampai rumah guna mencapai ketenangan setelah keselamatan
SECERAH apapun langit biru menggantung seolah menantang, ditambah bentuk-bentuk cantik awan putih gemilang nan rupawan menjadi penghias. Tampaknya hal-hal indah yang semesta suguhkan secara percuma tidak cukup untuk membuat Jessica merasakan hal yang sama. Raut wajah masam, berlipat-lipat bersama tatapan tajam yang seakan mampu menghunus siapapun yang coba-coba mengganggu. Terlebih-lebih lagi penampilan baru sang gadis betulan menarik perhatian dan minat penghuni Bina Bangsa.Kemeja rapi lengkap dengan lambang-lambang khusus sekolah serta angkatannya. Almamater melekat pas pada tubuhnya tanpa lipatan di tangan. Dari tersemat manis pada kerah kemeja ditambah rambut diikat kuda yang mana menampilkan leher jenjang si gadis. Intinya hari ini Jessica tampil manis, cantik nan mempesona selayaknya seorang murid pada umumnya.Chelsie tidak bisa berkata apa-apa dengan mulut sedikit menganga, berduet bersama Jenna selagi Rosa terperangah setengah menghina.Jessica berubah drastis dalam semalam!
SELAKU guru mata pelajaran paling galak seantero Bina Bangsa. Baru pertama kali dalam sejarah sang guru telah melewati usai 50-an tersebut tersenyum cerahㅡserupa orang sombong yang baru saja memenangkan lotre berhadiah miliaran rupiah. Pak Damar merupakan guru kimia berwajah menyeramkan seolah ingin memakan anak-anak muridnya namun hari ini suasana hati sang guru tampak cerah sekali. Apalagi kalau bukan karena Jessica yang selama satu semester baru sekali mengikuti kelas kimia.Di grup chat guru-guru Pak Damar menyombong berkata, “Anaknya belajar giat di mata pelajaran saya, lho.”Rosa menyenggol lengan Jessica yang risih ditatap sedemikian rupa oleh guru bidang studi. “Nyet, gue yakin abis ini lo jadi anak kesayangan guru-guru melampaui Chelsie. Gue yakin sampai ke sanubari.”“Sumsum tulang belakang lo gue cabut, mati apa nggak napas aja lo?” balas Jessica berbisik tanpa menatap sang sahabat. Si gadis sibuk mencatat seharian ini untuk hasilnya diserahkan kepada Yang Mulia Raja Alano
RUNTUTAN peristiwa apa yang paling kalian benci?Jessica punya sekali banyak jawaban atas pertanyaan demikian. Seolah-olah setiap sudut memori di kepala telah dipenuhi oleh segala macam tetek bengek menyebalkan yang kalau diulang kapabel sekali melenyapkan afeksi wajah berbingkai manis tersebut. Tatkala ia asyik kejar-kejaran bersama Alvin yang tanpa malu mengucapkan serantai kalimat manis. Tahu-tahu tanpa diduga Albert sudah berada di ujung lorong. Baru saja memasuki area sekolah yang selama setahun terakhir tidak pernah pria itu jejaki.Heran, tentu saja. Bercampur bingung malahan menemukan sang ayah yang super sibuk datang berkunjung tanpa ada acara besar di Bina Bangsa.Dan tahu kalimat apa yang pria tersebut luncurkan?"Sica, bisa temani Papa makan siang?"Alvin berkedip di belakang punggung si manis yang tak kunjung menunjukkan reaksi. Jessica menunduk kecil, memproses apa-apa yang baru saja terjadi dan berbalik kaku. Ia menyentuh lengan atas lelaki kelinci tersebut seraya melem
SECERCAH harapan yang sang puan manis coba rajut lewat hirupan oksigen jauh lebih bebas dibandingkan orang lain akan menjadi obat saat jemari menggenggam setiap tangkai bunga matahari. Barangkali Sang Mentari pancarkan di cakrawala agung nan memiliki kehangatan sudi berbagai padanya yang masih terjebak di ujung lorong sunyi serta sesak. Maka diri itulah bersama puluhan tangkai pada kungkungan tangan, Jessica mengikat mereka dengan pita sewarna serupa untuk kesayangan hati.Senyuman manis gadis tersebut bersinar cantik menghiasi wajah ketika selesai membuat bucket bunga menuju waktu-waktu spesial begini. “Tante, ini beneran cantik nggak? Walau nggak serapi buatan Tante tapi ini bikinnya pakai hati, kok.”Maria tersadar dari lamunan dan segera mengulas lengkungan tipis kemudian mengirim satu anggukan. “Cantik, kok,” ujarnya dan berjalan mendekat. “Secantik yang bikinnya,” tambahnya sembari menjawil dagu sang puan. Maria semerta-merta menumpu tangan pada tepian meja selagi Jessica tersen
"MAS, empat bungkus ketoprak, ya. Dua pedes, duanya lagi sedeng. Kuahnya sama kerupuknya di banyakin, Mas. Nanti saya kasih lebih uangnya," pesan Alvin beberapa belas menit lalu tatkala motornya berhenti di depan gerobrak biru langit tepat pada persimpangan jalan menuju basecamp. Dalam rangka sedang ingin baik hati, pemuda kelinci itu berinisiatif mentraktir teman-teman seperjuangannya yang jujur saja, sama sekali tidak memberikan faedah di kehidupannya. Namun jangan salah sangka, Alvin tetap menganggap mereka temanㅡketika kondisi terdesak saja.Melirik ponsel, kini hari berdetak pada pukul 15:45 WIB, di mana sebentar lagi mentari akan turun dari singgasananya. Akan tetapi terik serta panas yang mengungkung sebagian belahan bumi ini rasa-rasanya sangat menyengat. Alvin menyesal memakai leather jacket sewarna arang kalau tahu panas akan sangat-sangat menyengat kulit.Omong-omong mengenai sore dan cuaca panas, Alvin menelengkan sedikit kepala. Menyorot lurus pada ruang obrolan dengan ga
TOLONG!Tolong ingatkan Alvin bahwa ia harus menjadi orang yang setidaknya berbudi pekerti luhur dan tidak pamrih atas segala bantuan nan sudah ia salurkan secara suka rela. Sebab rasa-rasanya menghadapi Jessica dalam mode super jahil benar-benar di luar batas kemampuannya. Argh! Jantungnya serasa ingin meledak lantaran sebal gadia serupa boneka tersebut terus-menerus menggodanya, melayangkan rayuan, tak ayal kini juga berperilaku bagai orang sinting. Kepalanya pusing tujuh keliling dan tampaknya Jessica enggan memahami hal itu.Iris tajam sang pemuda memandang sebal perempuan bermata bulat yang sekarang sedang terkekeh-kekeh geli. Merayakan kemenangan telak dalam menjahili seorang Alvin yang selama ini selalu gagal mengalahkan tindak-tanduk abnormal lawan. Oleh karena itu sah-sah saja apabila Jessica ingin tertawa lepas dengan perasaan membuncah. Memang, afeksi sewaktu menjadi pemenang itu adalah hal luar biasa dalam kehidupan. Jessica akui itu dengan sangat.Jam pun lambat laun berd
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan