18 September 2018.
Musim panas tahun itu terasa ingin melelehkan seisi bumi tanpa terkecuali. Terik mentari berdiri tegak, berani nan menantang di atas kepala seakan berusaha keras untuk menunjukkan eksistensi selagi memanggang apa-apa yang disinarinya. Manusia-manusia enggan keluar dari tempat persembunyian bila tidak begitu mendesak, barangkali juga ogah bergerak yang berarti jika nantinya mengundang kegerahan tanpa batas bersama butiran peluh. Err! Tidak dulu, deh.
Setiap kali panas menyengat demikian Alvin akan selalu ingat sebuah adegan yang ringkas di dalam laci kenangan. Pukul delapan pagi tepat dan Alvin terlambat pergi ke sekolah maka dari itu satu-satunya cara agar lolos dari OSIS adalah memanjat dinding pembatas di sisi barată…ˇsebab jarang yang berpatroli ke sana lantaran angker, katanya. Namun usai
FAKTANYAdari sekian banyak wahana yang disuguhkan area karnaval kota Alvin memang sangat menyukai wahana yang memacu adrenalin. Sepertirollercoasteratau KapalVan Der Wijckyang mana saat memulai selalu dalam ritme pelan sebelum perlahan-lahan memacu kencang membuat penumpangnya berpikir mereka akan lepas dari kursi dan mati mengenaskan di tanah. Iya, sebegitu sukanya dengan sensasi seperti nyawa ditarik setengah dari badan. Alvin memang teramat suka hal demikian sehingga memancing kemarahan Jessica yang serupa sirene kematian sudah menjadi hobi.Hanya saja untuk yang kali ini sedikit berbeda. Alvin tidak lagi memancing emosi merah Jessica untuk bersenang-senang semata akan tetapi karena ingin jauh lebih dekat dengan gadis pemarah itu.Lebih dekat dari seseorang y
BAGAIKANsebilah belati yang ditancapkan tepat pada ulu hati. Jessica merasakan relung jiwanya luluh lantak berbalut perih. Namun seolah kalimat-kalimat itu belum cukup untuk membuat kepalanya berisik, Alvin lagi-lagi melontarkan rangkaian kata baru sebelum berlalu. “Urusan lo mau terima apa enggak, Jes. Gue nggak peduli karena alasan lo terlalunonsensebagi gue. Gue bakalan tetap ngejar-ngejar lo meski lo benci. Gue bakalan bersikap lebih bajingan dan berengsek di mata lo supaya lo berhenti nganggep hati lo mati. Karena hati lo nggak pernah mati, Jessica. Nggak pernah. Hati lo cuma terjeda sekarang dan tugas gue buat cari tombollanjut.”Berkat kata demi kata nan sarkas itu Jessica berhasil dibuat goyah. Tonggak dalam raga serupa ranting yang rapuh dan hanya menunggu waktu untuk patah lalu jatuh. Banyak pertanyaa
BAGINYAmenggantikan posisi seseorang yang hadir bagaikan obat penawar adalah kemustahilan yang diada-adakan. Orang-orang berkata mudah dan perkara sang tuan ingin atau tidaknya. Mereka mana mau dan sudi mengerti jalan hati yang tak pernah berhenti bergerak pada jalan kosong, sunyi, senyap bukan main disertai dingin dan tidak berujung. Bertemu orang baru memanglah mudah akan tetapi tidak semudah menerima mereka menjadi seseorang yang berarti persis sama selayaknya orang lama.Tidak.Jessica tidak mampu melakukannya.Bagaimana dengan Haical bila ia dengan mudahnya berganti arah? Bagaimana dengan laki-laki manis yang selalu ada untuknya? Jessica tidak bisa berhenti begini. Tidak. Meskipun Alvin menyerahkan nyawanya. Jessica takkan menyerahkan dirinya s
“KALAUkamu tetap seperti ini. Tolong kirim surat cerai pada sekretaris aku! Aku udah nggak sanggup lagi, Albert!” pekik Eleanor sebelum masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari sana. Mengurungkan niatnya untuk membeli pakaian lantaran harus melihat suaminya datang bersama selingkuhannya secara terang-terangan tanpa malu.Pertengkaran siang itu masih segar dalam ingatan pria tiga anak tersebut. Rencananya mengajak Maria berbelanja bukan untuk bertengkar hebat dengan Eleanor. Albert yakin benar bahwa butik itu sangat jarang dikunjungi istrinya sebab jauh dari posisi kantor serta rumah mereka oleh karena itu dia mengajak Maria ke sana. Kepalanya berdenyut hebat sekarang mengingat permintaan sang istri yang mana akan membuat Demian bisa saja menguburnya hidup-hidup.Niat untuk membawa pulang beber
APAdunia akan selalu selucu ini? Apa alam semesta akan terus-menerus meniupkan hujan badai disertai petir hanya untuk sebuah seleksi alam konyol itu? Jika demikian kenyataannya, apakah boleh Jessica memilih mengundurkan diri? Tolonglah! Dia tahu, sangat tahu bahwa penderitaannya bukanlah hal yang paling menyedihkan di dunia ini. Bukan merupakan cerita paling menyakitkan berbumbu kepedihan tiada tara yang mampu menyayat hati. Akan tetapi baginya, bagi seorang gadis yang ditinggalkan sendirian dalam kotak gelap gulita, takdir ini cukup membuat kewarasannya terguncang.Seolah menunggu waktu untuk sepenuhnya tenggelam dalam kubangan depresi. Lalu menunggu sekon demi sekon untuk mati.Sebab, sampai kapan ia harus melihat orang tuanya bertengkar begini? Harus menunggu sampai kapan?
02:35dini hari.Dană…ˇoh, sial! Di mana Jessica terbangun sekarang? Ia terjaga di atas sofa yang cukup tua dengan tubuh terbungkus selimut bermotif kotak-kotak; tidak tebal maupun tipis. Yang paling tidak masuk akal adalah mengapa bisa ada Alvin di sini?! Lagi pula ini di mana, sih? Ya Tuhan! Kronologi kejadian beberapa jam lewat yang sibuk gadis itu bongkar dalam laci kenangan adalah ia kabur dari rumah selepas pertengkaran orang tuanya, kemudian tahu-tahu bertemu Haicală…ˇwait a minute!Jessica betulan berhalusinasi atau saking frustasinya tadi?!Ya Tuhan! Ia melihat Haical dengan kedua mata kepalanya, tersenyum hangat, memeluknya erat dan berkata kelewat lembut, "Semua bakalan baik-baik aja, Sica."Astaga! Jessica serius pangk
“SICA, lo begadang, ya?”Rosa yang baru saja datang dari kantin dengan segelas es kopi latte duduk di samping sang sahabat yang selesai bertanding basket dan tentunya menangㅡJessica boleh diadu kalau masalah olahraga ataupun otot, takkan kalah tanding. Gadis chipmunk tersebut menyodorkan segelas es jeruk pada lawan bicaranya dan satu pack medium tisu. “Lingkaran mata lo samar-samar keliatan sama gue.”“Itu tandanya lo seringkali ngeliat kesalahan orang dibandingkan seratus kebaikan yang mereka buat,” balasnya entah kenapa sok bijak sembari menenggak minuman segar tersebut.Rosa mendecak dan menyilangkan kaki di tangga penghubung dengan lapangan utama Bina Bangsa. “Gue lagi mode peduli sama lo ya, bangsat. Hargain, kek!”“Berapa?”“Hah?”“Katanya hargain, berapa? Gue bayar lunas, nih!”Dengan penuh kasih sayang Rosa melepas sepatunya dan memukul pundak Jessica bertubi-tubi sementara gadis berponi itu tidak beranjak kabur, cuma menerima dengan sumpah serapah yang dilayangkan gratis untu
“ZAN?”Alvin kini rebahan dengan nyaman di atas sofa ruang OSIS sementara Arzan tengah dipusingkan oleh beberapa dokumen-dokumen organisasi Bina Bangsa yang belum rampung dibaca semua. Laki-laki berlesung pipi itu menyahut, “Hmm?”“Tadi gue ngeliat Jessica ngebentak Rosa di lapangan, lho,” beritahunya santai seraya menatap langit-langit ruangan. “Kayaknya mereka berantem, deh.”Arzan sontak memfokuskan diri pada pemuda sinting itu dengan sarat khawatir di wajah. “Terus? Dia main tangan sama Rosa?”Lawan bicaranya justru terkekeh-kekeh menanggapi kekhawatiran sang sepupu. Alvin menangkap bundaran oranye yang ia lambungkan tinggi dan menyahut
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan