Farid justru merasa tidak nyaman dengan kata-kata putrinya.
"Ayah banyak salah sama kamu. Meskipun sekarang kita baik-baik, masih ada rasa bersalah kadang muncul." Semua kisah pahit sedikit meyeruak di pikiran Farid. Kesusahan panjang yang mereka lewati, karena apa yang Farid lakukan di masa lalu mereka.
"Ayah, aku belajar jadi kuat karena apa yang aku alami. Dan ayah punya bagian di sana. Iya, benar, lewat banyak saat menyedihkan dan mengecewakan tapi dengan mengerti Ayah selalu sayang aku, aku sangat bersyukur," ucap Lintang.
"Lintang ... Ayah tidak salah memberi nama ini untukmu. Kamu menerangi hati ayah juga."
Lintang memeluk ayahnya, menyandarkan kepala di dada Farid.
"Kapan kamu mau kasih ayah cucu? Aku sudah terba
Jika penasaran dengan Dokter Thomas dan Agnes, yuk baca kisahnya di novelku Antara Arnesya dan Agnesia. Bentuk cetak lo. Kontak saja ke penulis, di IG dan FB Ayunina Sharlyn. Semangat selalu ...
Lintang, Bimo, dan Syifa, saling bersalaman memberi ucapan selamat untuk keberhasilan mereka akhirnya menuntaskan studi. Perjuangan yang panjang akhirnya sampai di ujungnya. Senyum lebar dan tawa riang menghiasi perbincangan mereka."Segera sana naik pelaminan. Aku siap buatin kue pernikahan buat kalian. Yang spesial," gurau Lintang, tapi itu harapannya memang. Dia ingin melihat Syifa dan Bimo segera menikah."Iya, udah di-planning. Ya, kan, Syifa?" Bimo memeluk bahu Syifa."Ya, Lin, kamu yang dapat undangan pertama. Kamu kantong Doraemonku." Sesekali Syifa masih memanggil Lintang begitu.Lintang tersenyum lebar mendengar itu. Hari yang istimewa, yang tak mungkin dilupakan. Satu babak baru menanti, menapak masa depan yang sudah direncanakan dan makin dekat di depan mata.
"Alin, sudah pagi. Ayo bangun." David berbisik di telinga Lintang. Lintang membuka matanya. David ada di depannya, sudah mandi, harum, dengan senyum tampannya memandang Lintang. Lintang duduk seketika. Dia melihat jam dingin di kamarnya. "Ya ampun ... ini jam berapa, Kak? Hah? Hampir jam tujuh pagi?" "Kamu tidur lelap sekali. Aku ga tega mau bangunin. Sebentar lagi aku berangkat, jadi aku harus pamitan sama istri cantikku ini." David mengecup puncak kepala Lintang. "Kak Dave sudah sarapan?" tanya Lintang lagi. "Belum. Nanti di rumah sakit saja, ga apa-apa," jawab David. "Tunggu, aku buatkan sarapan. Roti lapis saja. Sepuluh menit siap." Lintang cepat turun, pergi ke kamar mandi, lalu segera ke dapur.
"Nanti kalau aku ... ketemu Tyas ... aku bisa cerita ... aku punya anak laki-laki ... yang luar biasa ... suaminya ... kamu, Farid ..." "Romo ..." kata itu meluncur dari bibir Farid. "Ya ..." Andiarga tersenyum. "Aku sudah tenang ... bisa ketemu Tyas ... dan ibumu ... kalau Tyas tanya ... aku bisa bilang ... anakmu ayu ... Bojomu gagah ..." lanjut Andiarga. "Romo ..." ulang Farid. "Heehhh ..." Tiba-tiba Andiarga merasa dadanya sesak. Dia menarik nafas dengan tersengal-sengal. "Romo ..." Farid agak kaget melihat Andiarga jadi sulit bernafas. "Panggil dokter, Ayah," ucap Lintang yang ikut panik.
Rumah besar dan mewah itu berduka. Keindahan yang biasa ditampilkan tak lagi dinikmati oleh mereka yang lalu lalang di sana. Semua sedang fokus dengan kedukaan karena kepergian Andiarga Angkasajaya.Andiarga menghembuskan nafas terakhir tanpa pesan apa-apa pada putra-putri dan cucu-cucunya. Menurut Surya, Andiarga hanya memandang satu-satu anak, mantu, dan cucu yang berkumpul di ruangannya sebelum akhirnya dia menutup mata selamanya.Farid, Lintang, Wulan, dan David hadir di rumah duka. Tapi mereka memilih duduk di bangku deretan belakang. Farid sengaja mengajak begitu, karena tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Selama ini orang pasti mengenal siapa saja keluarga Angkasajaya. Jika mereka muncul dalam deretan keluarga besar itu pasti akan memunculkan banyak pertanyaan pada para tamu.Hingga acara pemak
Ridwan terenyum tipis. Dia sudah bisa menebak seperti apa reaksi anak-anak Andiarga saat tahu bagian yang baru saja dia paparkan pada mereka. "Kamu tidak percaya silakan, baca sendiri." Ridwan menunjukkan surat itu. "Mas Farid, pikirkan lagi." Sekarang Mega ikut bicara. Sekarang, Bayu, dan Langit menatap ayah dan dua anaknya itu. Buah simalakama. Farid memandang lurus ke depan. Dia tak mengira Andiarga masih bermain seperti ini bahkan saat dia sudah ada di liang lahat. Jika dia terima, dia akan jadi milyader mendadak. Namun hidupnya akan terus bersinggungan dengan orang-orang gila harta ini. Jika dia tolak, dia pun akan dibenci mereka karena membuang kekayaan keluarga untuk orang lain. Lintang memandang Farid. Wulan juga melihat ayahnya. Yang lain yang ada di ruangan
Kembali ke rumah, kembali tenang. Begitu nyaman di rumah sendiri. Sederhana, tidak banyak barang mewah, tapi selalu ada senyum ceria. Pagi ini Lintang bangun pagi sekali. Belum setengah empat dia sudah terjaga dan tidak bisa tidur. Dilihatnya David begitu lelap. Lintang merapatkan tubuh pada David, berharap dengan sentuhannya David akan terbangun. Nyatanya bergerak pun tidak. "Iih ... masa ga terasa,sih ..." ucap Lintang. Lagi dia menempel lebih dekat, sampai menenggelamkan kepalanya di dada David. "Hmm ... tidur, Sayang." David menggumam. Dia melingkarkan lengannya pada pinggang Lintang. "Kak ..." ucap Lintang. Sedikit kesal karena David ga juga bangun. Lintang mencubit pipi David.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini