Deru mobil terdengar sesaat setelah memasuki portal utama. Zeeta melongokan kepala di jendela. Tepat pukul 4 sore Rezvan sudah tiba di rumah dengan wajah terlihat semringah. Zeeta pun buru-buru menghampiri. "Tuan sudah pulang?" tanyanya. "Kau tahu, aku begitu sangat merindukanmu, Zeeta." Tanpa basa-basi, Rezvan menyergap tubuh Zeeta, lalu membenamkannya dalam dekapan. Zeeta pun bercengang mendapati perubahan dalam diri Rezvan yang begitu signifikan. Lantas, ia pun membalas dengan merekatkan pelukan. "Tu–tuan!" Entah apa yang dirasakan wanita itu saat ini. Masih belum juga memercayai apa yang terjadi. Hanya rasa syukur tiada tara yang mampu ia panjatkan. "Kenapa tidak dari dulu saja aku bisa memelukmu seperti in!?" lirih Rezvan. Sontak, mendengarnya, wajah Zeeta tampak memerah. Sekali lagi ia bagai terserang Paralisis. "Tuan, Anda man
Zeeta mencengkeram kuat kaus yang Rezvan kenakan. Begitu tak memercayai apa yang baru saja didengar. Merasakan perubahan dalam sikap Zeeta, Rezvan pun menundukkan kepala. Lalu mengusap lembut rambut panjang wanita dalam dekapannya. "Semua wanita yang kudekati adalah wanita tidak benar, Zeeta. Wanita yang memang sudah rusak." Zeeta hanya bergeming menimpali. "Pantang bagiku mendekati seorang perawan. Walaupun bejat, aku bukan perusak. Aku hanya melakukannya sekadar bersenang-senang. Tanpa adanya tekanan dari kedua belah pihak hingga suatu saat menyisakan luka." "Maaf, walaupun begitu, perbuatan Anda tetap salah, Tuan!" ucap Zeeta kemudian. "Aku harus jujur kali ini padamu." "Jujur?" "Kedatanganmu ke sini sebenarnya sudah diatur." "Ma–maksud, Tuan?" "Aku sudah mengetahui pergerakan komplotan Ethan sejak lama. Ia melakukan penculikan pada beberapa gadis, lalu menjualnya ke bebera
"Hei, ada apa dengan Bos Rezvan? Tidak biasanya dia bersikap aneh seperti ini?" Desas-desus di perusahaan tentang perubahan sikap Rezvan yang terlihat signifikan semakin meluas. Sikap konyol sering dilakukan pria itu tanpa menghiraukan tatapan aneh dari sekitarnya. "Entahlah, mungkin dia kesurupan Malaikat," celetuk salah satu bawahan Rezvan. "Hemh! Baiklah kalian semua, besok malam, aku akan mengundang kalian untuk makan malam bersama seusai pulang kantor. Aku juga ingin memperkenalkan asisten baruku pada kalian." Rezvan bersuara lantang seraya membenamkan tangan ke dalam saku celana. Senyum lebar dan binar kebahagiaan tampak membias di wajah tampannya. Seolah para karyawan bermandikan taburan kelopak bunga dari alam surga yang bertebaran di segala sudut ruangan menikmati momen langka di hadapan. "Yeeaahhh!" Seluruh karyawan b
Acara makan malam cukup meriah pun di adakan di sebuah resto ternama di tengah kota. Usai memperkenalkan diri, berpasang-pasang mata tertuju takjub pada Zeeta. Seolah hendak memuji kecantikan wanita berkulit putih bak pualam itu. Banyak di antara mereka saling bertanya akan status asisten baru wanita yang dibawa Rezvan itu. Namun, sebagian hati yang belum paham merasa retak usai mendengar kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri dari bos mereka sendiri. Rezvan memang diketahui sudah menikah, namun banyak yang belum begitu paham bagaimana wajah istrinya. Karena selama ini Rezvan hanya menyembunyikan keberadaan Zeeta. Zeeta pun mengawali bekerja di perusahaan Rezvan sehari setelah perkenalan itu. Kini para karyawan setempat baru menyadari apa penyebab perubahan dari dalam diri Rezvan. Sikap mesra sering kali ditampakkannya tanpa segan pada Zeeta saat mereka sedang bertugas. Bahkan, ada saja sikap konyol pria
Sedari awal Rezvan memahami kesalahpahaman Zeeta. Itu bermula usai ia membaca ulang chat dan VN antara Zeeta dan Erga beberapa waktu lalu. Namun, berbagai alasan membuatnya semakin tergerak menutupi kenyataan dari wanita yang tengah menjadi istrinya itu. [Menikah?! Maksudmu? Bukan aku yang menikah, tapi Emran, kakak sulungku,] balas VN Erga beberapa saat lalu. Namun sayang, karena Rezvan terlebih dulu menyita ponsel pemberian Erga tersebut, Zeeta tak sempat mendengar semua penjelasan itu. Masa bodoh bagi Rezvan. Sekeras apa pun Erga berusaha menarik perhatian Zeeta, nyatanya Zeeta saat ini sudah sah menjadi istrinya. Sebagai seorang suami, ia merasa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran dengan mempertahankan apa yang memang sudah menjadi miliknya. Tak ada yang salah. 'Apa maksudmu memberi
[Maksudmu?][Bodoh! Aku ingin menikahinya supaya bisa bebas memiliki tubuhnya walau hanya semalam!][Kupikir dengan berkomitmen menikah, kau sudah taubat, Boss!][Menaklukkan wanita adalah dengan harta, tapi wanita seperti dia, memang lain daripada yang lain. Satu-satunya cara agar aku bisa memilikinya adalah hanya dengan cara menyentuh hatinya. Lalu, membuat dia merasa terikat padaku. Namun yang paling utama, membuat dirinya merasa halal saat berada di dekatku. Dan ... kau tahu sendiri. Arrghhh! Aku sudah tidak sabar.][Bajingan kau!] Terdengar Henry tergelak. Disusul kemudian gelak tawa Rezvan.[Setelah memiliki Zeeta, aku juga akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar setelah ini.][Greenland?][Yesss! Sesuai dengan janji Kakek, aku akan mendapatkan Greenl
Sementara di ruang keluarga, percakapan antara keluarga inti pun masih saja bersitegang."Rezvan ... " Pak Dennis bersuara. "Apa pun keputusamu, papa akan selalu mendukungmu. Lakukan menurutmu yang terbaik dan bisa membuat perasaanmu tenang, Nak.""Pasti, Pa. Papa jangan khawatir akan hal itu. Aku akan menjadikan kesalahan di masa lalumu sebagai pelajaran," timpal Rezvan terdengar halus. Namun menohok.Pertemuan yang mereka lakukan berlanjut hingga lewat tengah malam.***Athikah_Bauzier***Mual pada perut Zeeta semakin tak tertahankan. Seluruh makanan yang dikonsumsinya seharian ini berdesakan keluar begitu saja."Zeeta, ada apa denganmu?" Rezvan menyentuh kedua bahu Zeeta.Namun, Zeeta berlalu begitu saja tanpa menatap sedikit pun pada pria di hadapannya."Kau baik-baik saja?"&nbs
"Menghilang? Maksudmu Zeeta meninggalkan Villa?" Erga ingin memastikan."Entahlah .... "Erga merogoh saku, lalu menghubungi seseorang. "Pak Omen, apa ada seorang wanita yang keluar melalui portal utama pagi ini ...? " Tampak Erga menghububgi satpam penjaga portal utama villa pribadi. "Hemh, ya, baiklah! Tolong pantau selalu keluar masuknya pergerakan, Pak. Terima kasih." Ia segera memutuskan sambungan."Kata satpam penjaga portal, memang ada wanita berdiri di depan gerbang, meminta izin keluar, tapi ia paham kalau itu istrimu, jadi dia tidak mau mengambil risiko dengan membuka portal utama. Aku sudah tahu hal ini pasti akan terjadi, jadi semua satpam sudah aku warning sesaat setelah sidang keluarga dilakukan semalam. Hanya ingin memastikan tidak terjadi hal seperti ini.""Lalu?""Mungkin aku tahu dia di mana." Erga bangkit, d
"Hemh! Kau yakin dengan yang kau katakan?" Rebecca menyipitkan pandangan. Ribuan kerikil tajam seolah berdesakan memenuhi kerongkongan Zeeta, sehingga begitu sulit baginya untuk menelan. Ia saling menautkan jari jemari, lalu meremasnya kuat. Berusaha untuk tetap tersenyum dalam getir. "Ya, Bu!" Rebecca tersenyum seraya menyesap cappucino miliknya yang mulai terasa dingin. "Aku perhatikan, ada yang tampak berbeda dari tubuhmu sejak terakhir kali kita bertemu." Ia memindai tubuh Zeeta dari ujung kepala, lalu sedikit menunduk hendak memerhatikan bagian bawah tubuh Zeeta yang terhalang oleh meja. Namun, seketika Rebecca membulatkan mata sempurna. "Katakan padaku, apa kau hamil?" tanyanya lagi, lalu meletakkan cangkir di meja. Walaupun mengenakan pakaian tertutup dan longgar, Rebecca dapat melihat perut Zeeta yang tampak membulat saat dalam posisi duduk. Tatapan Zeeta pecah ke seantero sudut ruangan. "Jangan hiraukan saya, Bu. Saya hanya berharap,
"Anu ... Tuan! Bibi sudah janji pada Non Zeeta agar tidak membocorkan masalah ini." Bi Netty pun akhirnya mengaku. "Jadi, Zeeta di rumah Bi Netty?" Tatap Erga penuh selidik. "I–iya, Tuan." Bi Netty tampak gugup. "Hemh! Sudah kuduga. Aku akan ke sana sekarang." "Maafkan bibi. Sebaiknya jangan dulu, Tuan. Non Zeeta ingin menenangkan diri katanya," cegah Bi Netty seraya menundukkan pandangan. "Tidak apa-apa, Bi. Aku cuma ingin menjelaskan padanya kalau hanya aku yang berwewenang membuat aturan di villa ini, bukan yang lain, apalagi Mama." Erga menatap Cindy yang tengah sibuk memasukkan amplop cokelat ke dalam tasnya. "Maaf, Tuan. Anggap bibi tidak menceritakan ini pada Tuan, ya. Pura-pura saja Tuan tidak tahu kalau sudah bibi kasih tahu." Bi Netty terlihat cemas dan meremas kedua tangan di depan dada. "Bagaimana keadaan dia, Bi?" "Sejujurnya, bibi sangat khawatir dengan keadaan Non Zeeta. Dia susah makan, Tuan. Semua
"Wa–nita itu mengurungkan niat?! Itu berarti, wanita itu sadar sepenuhnya atas apa yang dilakukannya?" Zeeta ingin memastikan ucapan Ethan lagi. "Ya, tidak semuanya wanita yang kami tawarkan adalah hasil penculikan. Bahkan, sebagian dari mereka terang-terangan ingin menjual diri dengan sadar. Wanita itu mendesak ingin menjadi milik Rezvan, tapi Rezvan tidak sadar bahwa pilihannya tertukar. Sengaja aku memilihkan wanita sedikit terlihat liar untuk Rezvan. Kau tahu sendiri Rezvan berbeda dari Erga, bukan?" Dada Zeeta semakin terasa sesak tak tertahankan usai mendengar penjelasan Ethan. Belum juga masalah dengan Rezvan terselesaikan, kini terungkap lagi masalah yang semakin membuatnya semakin tergoncang. Erga yang selama ini ia percaya nyatanya .... "Erga marah besar padaku sehari setelah peristiwa malam di mana kau nyaris saja menjadi mainan kawan-kawan Rezvan. Tapi, ia berusaha terlihat tenang di hadapanmu dan juga Rezvan. Kau pikir apa alasan Erga selalu data
Bi Netty pernah mengatakan pada Zeeta bahwa Erga memiliki ruang pribadi di lantai atas yang tidak ada seorang pun diizinkan masuk ke dalamnya. Ruangan itu berisikan koleksi karya lukisan Erga. Beberapa waktu lalu Erga memang menunjukkan ruangan lain pada dirinya, bahkan mereka berdua beberapa kali menghabiskan waktu di tempat itu untuk melukis dinding. Namun, itu bukan ruangan yang Bi Netty maksud. Zeeta berdiri tepat di depan sebuah ruangan yang bisa jadi itu adalah ruang pribadi milik Erga. Namun, sayangnya ia mendapati ruangan itu terkunci. Ia pun mencari cara agar Bi Netty bisa menyerahkan kunci ruangan itu padanya. "Bi, aku membutuhkan sesuatu, tadi Tuan Erga menyuruhku untuk mengambil sesuatu di ruang pribadinya di atas," ucap Zeeta membuat alasan. "Benarkah, Non!?" Kedua mata Bi Netty berputar seolah merasa terheran. Selain dirinya yang dipercaya untuk membersihkan ruangan itu, tidak ada seorang pun ya
"Wilma ... Wilma! Siapa dia? Wajahnya tampak tak asing. Tapi di mana aku pernah bertemu dengannya?" Berulang kali Rezvan mencoba mengingat. Banyak wanita yang ditemui sehingga membuatnya lupa salah satu di antarnya. "Arrggghhh!" erangnya kemudian.Namun, tak berselang lama, pria itu mengingat sesuatu. "Wanita itu ... apa mungkin dia ... tapi bagaimana mungkin?" gumamnya."Tolong, periksa berkas jual beli lahan Green Bougenvil 5 tahun lalu," perintahnya kemudian pada salah satu staf.Setelah menunggu cukup lama, berkas yang diminta pun diantar ke ruang Rezvan. Lalu, pria itu pun menelisik secara seksama apa yang tertera pada setiap lembarnya. Sontak, ia mendongak seolah mulai mengingat sesuatu. Rentetan adegan beberapa tahun silam berkelebat dalam ingatan Rezvan. Namun, ia masih tak yakin akan terkaannya. Bisa saja itu hanya suatu kebetulan yang tak ada kaitannya sama sekali.Terdengar pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang karyawan masuk ke dalam ruanga
**Athikah_Bauzier*** "Non, istirahat saja, ya! Biar bibi saja yang selesaikan cuci piringnya. Non, kan, lagi hamil muda. Jadi harus banyak istirahat. Bibi juga takut kena marah sama Tuan Erga." Bi Netty meraih apa pun yang hendak Zeeta lakukan. "Bi, saya tidak enak kalau cuma diam saja. Sudah, bibi jangan bilang-bilang sama Tuan Erga kalau saya melakukan semua ini. Jadi, bibi tenang saja, ya!" elak Zeeta. "Tidak perlu, Non. Begini saja, lebih baik Non Zeeta lanjut melukis saja, ya. Biar cepat selesai. Open gallery sudah tinggal beberapa hari lagi, Non. Jadi, ini kesempatan buat Non Zeeta," saran Bi Netty. "Hemh! Baiklah kalau begitu, Bi. Pokoknya kalau Bibi butuh bantuan, panggil saya saja, ya." Zeeta pun mengikuti saran Bi Netty walaupun sebenarnya ia merasa tak nyaman jika tidak melakukan apa pun. Sudahlah menumpang, tapi mau enak-enakan. Itulah yang sering kali membuat Zeeta merasa tidak nyaman. ***Athikah_Bauzier*** "Zeeta!"
"Aku sudah berusaha jujur padamu. Seharusnya aku tidak mengatakan ini mengingatmu sudah menjadi milik Rezvan. Tapi, melihatmu merasa terluka atas perlakuan Rezvan, entah mengapa keinginan itu kembali tumbuh." Zeeta merasa tak menyangka bahwa Erga bisa berpikir sejauh ini. Namun, hati Zeeta tak dapat memungkiri bahwa ia pun sesungguhnya masih memiliki rasa yang sama terhadap pria itu. Akan tetapi, ia harus menyadari posisinya kali ini. Dirinya sudah menjadi milik Rezvan, bahkan saat ini tengah mengandung benih dari pria itu. Jadi, bagaimana mungkin ia melangkahi takdir yang sudah tertulis? "Tuan, saya berterimakasih karena Anda sudah peduli pada hidup saya. Ta–tapi, bisakah kita tidak perlu membahas hal yang sudah berlalu?" pinta Zeeta kemudian dengan tatapan meremang. "Zeeta ... jawab pertanyaanku setidaknya sekali saja. Supaya aku yakin, langkah apa yang harus atau tidak harus aku lakukan setelah ini," Erga terdengar sedikit menekan walau ucapannya terdengar
Zeeta mengamati beberapa lukisan indah yang terpampang pada dinding sebuah padepokan yang berada tepat di belakang Villa. Padepokan itu memiliki ciri khas arsitektur klasik ala pedesaan yang didesign dengan kayu dan bambu. Ditambah berlokasi tepat di tengah bukit hijau, begitu sangat menenangkan pikiran. "Di sini kau rupanya?" Sebuah suara mengejutkan Zeeta yang tengah berkonsentrai menyimak tanda tangan di sudut kanan bawah lukisan. Lantas ia pun menoleh menatap sang pemilik suara. "Tuan Erga! Anda sudah pulang?" "Hemh!" Erga mengangguk seraya mengulas senyum tipis. "Kau suka lukisan?" "Ah, iya, Tuan. Lukisan ini sangat cantik sekali. Begitu realistis. Apakah pelukisnya beraliran Naturalisme dan Realisme, Tuan?" "Hei, rupanya kau banyak tahu tentang aliran lukisan rupanya, ya?" "Sedikit saja, Tuan." Kembali Zeeta mengamati lukisan di hadapannya. "Lukisan di sini bukan karya satu orang saja. Aliran mereka pun berbeda-beda." Erg
**Athikah_Bauzier*** "Hilang?! Bagaimana bisa, Pak? Apa ada orang lain yang masuk ke mari?" Rezvan menatap layar CCTV. Ia berniat untuk mengambil rekaman sejak sebulan lalu tepat di malam percumbuannya dengan wanita yang menyebut dirinya sebagai Wilma. Namun, ternyata rekaman sejak sebulan lalu itu raib. "Saya juga tidak mengerti, Tuan. Saya hanya bisa menemukan rekaman seminggu terakhir." "Apa-apaan ini?! Mengapa sistim keamanan bisa buruk seperti ini, hah!?" hardik Rezvan seraya berkacak pinggang. Amarah dalam dirinya membuncah dan meletup bagai lahar. "Percuma kalian semu kugaji!" "Maafkan saya, Tuan. Saya siap menerima sanksi." Pak Dody menundukkan kepala, "Ta–tapi, jangan pecat saya, Tuan! Anak istri saya makan apa?" Amarah masih menggelegak dalam hati Rezvan. Namun, ia mencoba mengatur napas untuk menetralisir emosi yang tak tertahan. "Arrghhh! Sudahlah!" Ia pun mengibaskan tangan. Rezvan menyadari sesuatu. Ia menatap ruangan, be