“Aku tidak percaya kau nekat, Saga. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu? Kita hanya teman baik.”
“Aku ingin lebih dari sekadar teman baik.”
Angelina menggigit bibir, lantas berpaling membuang muka—menghindari tatapan Saga yang terasa menusuknya—ke arah mobil-mobil lain yang terparkir di sekitar mereka. Dia benci harus melalui perdebatan yang panjang. Wanita itu masih berjuang memulihkan lukanya dan menutup rapat-rapat hatinya untuk siapa pun.
“Aku tidak ingin orang lain atau siapa saja masuk ke dalam hidupku lagi, Saga.”
“Berikan aku satu kesempatan,” bujuk Saga yang masih gigih meluluhkan perasaan Angelina yang terlanjur membeku bersama waktu.
“Aku hamil, Roland.”Berita itu sontak membuat kepala Roland Lewis—bawahan Adam—menoleh pada Kate yang baru saja datang ke kamar hotel sewaan mereka. Dia syok. Perbuatan yang hanya sebatas untuk senang-senang itu membuahkan hasil sekarang.Roland sama sekali belum siap untuk menyandang gelar ‘orang tua’, apalagi menjadi ayah juga bukan cita-cita atau mimpi yang pernah terlintas di benaknya. Dia benci bocah-bocah rewel yang suka menyemburkan biskuit dari mulut mereka atau pada kewajiban bangun tengah malam hanya demi menukar popok yang basah.Kate melenggang masuk dan mengempaskan pantatnya di atas sofa tanpa sandaran di hadapan Roland yang masih membeku. Dia berdecak jengkel setelah menonton reaksi pria itu, lantas merogoh sesuatu dari dal
“Apa yang kau inginkan?” tanya Adam sesaat setelah mencabut kesunyian yang tumbuh mengakar di antara mereka berdua.Kate menghela napas panjang sebelum membalas, “Aku tidak suka bertele-tele. Jadi, aku akan langsung memberitahumu intinya.”Adam masih bergeming dan menunggu Kate kembali menyuarakan semuanya atau mengatur siasat, lebih tepatnya. Dia lagi-lagi memandang dengan tatapan hampa ke arah para penari tiang yang tengah menggeliat sensual di atas panggung. Bertanya-tanya mengenai kabar Angelina yang entah di mana rimbanya.“Aku hamil, Adam. Janin dalam rahimku adalah milikmu.”Berita itu spontan membuat sistem kesadaran Adam bangun sepenuhnya. Dia berpaling memandang Kate den
“Apa kau suka masakanku?” tanya Saga sesaat setelah dia ikut bergabung bersama Angelina di meja yang sama.Angelina yang masih mengunyah suapan terakhirnya pun langsung mengangguk dengan sorot mata antusias pada Saga. Selera makannya memang kelewat besar sejak dua hari terakhir—tiga atau empat porsi salad sanggup dia habiskan tanpa sisa—membuatnya terlatih untuk menandaskan semua makanan dalam waktu singkat.“Sungguh, kau berbakat. Kau juga cocok menjadi seorang koki,” komentar Angelina lagi di sela-sela kunyahannya.“Benarkah? Aku hanya akan menjadi koki pribadimu,” sahut Saga sambil tersenyum menggoda.“Aku penasaran. Bagaimana dengan resep lain? Apa kau juga m
“Ide bodohmu gagal, Roland!” pekik Kate yang langsung menerobos masuk ke dalam kamar mereka.“Berengsek! Kau membuatku terkejut,” sahut Roland yang kemudian mengunci tatapan pada ekspresi wajah Kate.“Kau membuatku malu!”“Apa maksudmu?”Kate menyipitkan matanya yang sembap karena sisa tangis yang masih bertahan di sana, lantas menggertakkan gigi dan kembali membentak, “Adam mendampratku habis-habisan di depan umum! Gagasan yang kau anggap brilian itu justru menyeretku ke dalam petaka!”“Mengapa kau menyalahkanku?”“Jika
“Kate? Apa itu benar?” sahut Adam yang sedang menerima panggilan—di kursi putarnya—dengan raut wajah pias.Percakapan itu pun terhenti setelahnya sebab Adam langsung memutuskan sambungan dan bangkit dari posisi duduknya yang nyaman. Dia menyambar kunci mobil dan jas miliknya—menyampirkan benda itu di salah satu lengan, lantas meminta Samuel ikut bersamanya. Pria yang baru saja selesai mengecek jadwal bosnya itu seketika menjadi kelabakan.“Apa Anda ingin saya mengatur ulang pertemuan kita dengan Nyonya Delores di hari lain, Tuan Ford?”Adam sontak menjeda langkahnya dan menoleh pada Samuel, kemudian meminta sang asisten untuk segera mengekorinya. Tanpa berani bertanya lagi, pria itu pun menuruti perintah Adam. Mereka beranjak m
“Mom! Mom! Lihatlah, Mom! Aku dapat nilai seratus,” seru seorang bocah dengan sepasang gigi seri atasnya yang baru saja tanggal kemarin sore.Angelina seketika menoleh pada Arthur Wilson—putranya—yang sedang berlari penuh semangat menuju ke arahnya. Benda yang dia pegang adalah selembar kertas—yang mengombak dikibarkan oleh angin—hasil latihan dari salah satu pelajarannya di sekolah. Senyum lebar wanita itu pun spontan terbit sebagai reaksi.“Lihatlah, Mom!” pinta suara cadel Arthur
Pertanyaan dari Arthur itu spontan menciptakan sejenis cambuk yang terasa melecut habis dada Angelina. Dia hanya mampu mengulas senyum—samar dan sarat oleh kepedihan tiada berujung—yang menggantung separuh di sudut bibirnya. Tatapan murungnya masih bertahan hingga sang putra kini tertidur pulas di kamarnya sendiri.“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Saga yang menyela lamunan Angelina di dekat jendela jungkit—tingkap dengan engsel model ayun—tanpa tirai itu.“Ti-tidak ada.”“Aku tahu kau merasa sedih tentang ucapan Arthur.”“Sedikit.”“Sedikit saja? Benarkah? Mengapa yang katamu
Kebersamaan panas mereka membuat Angelina menjadi terbiasa didominasi oleh Saga. Dia menatap lurus ke depan—gemetar sekaligus malu—untuk memuaskan dirinya sendiri. Jemari wanita itu merayap turun ke pangkal paha kirinya dengan gerakan lamban, sementara deru napasnya memburu seperti arus yang siap menyeret mereka tergulung ke dalam pusaran gairah.“Sa-Saga,” racau Angelina yang kepalanya langsung menjengit sesaat setelah kecupan singkat itu hadir di ceruk lehernya.“Lakukanlah, Angelina. Sentuh dirimu sekarang atau apa kau ingin aku yang melakukannya untukmu?” bisik Saga dengan sorot mata yang dijejali hasrat.Itu tawaran yang menggiurkan, pikir Angelina. Dia akan dengan senang hati menerimanya dan membiarkan semua akal sehatnya mati bersam
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan