“Kau lagi?” sungut Angelina yang terkejut dengan kehadiran Adam di depan pintu rumahnya siang itu.
“Apa maksudmu aku lagi?” balas Adam yang menukikkan satu alisnya ke atas.
Angelina melipat kedua tangannya di dada dan memalingkan wajahnya ke samping, “Sungguh, kau orang yang tidak tahu malu. Bukankah kau benci padaku? Bukankah aku wanita gagal? Kau juga yang mengusirku tempo hari.”
“Temani aku makan siang di luar,” pinta Adam tanpa memedulikan ucapan Angelina sebelumnya.
“Bermimpilah, Tuan Ford.”
“Temani aku makan siang di luar sekarang,” ulang Adam dengan nada ketus.
&nbs
Suara entakkan pintu yang terbuka dengan kasar terdengar menyeruak di antara suasana hening yang membungkus Adam. Dia menoleh ke asal bunyi dan mendapati Kate yang sedang disulut emosi berjalan menuju ke arahnya. Wanita itu terlihat marah—kedua alisnya berkumpul di tengah-tengah dan bibirnya mengerucut seperti buah plum kering—siap meledak kapan saja.“Apa yang kau lakukan, Adam? Mengapa kau membekukan kartu kreditku?” hardik Kate yang memprotes sambil menunjuk-nunjuk wajah Adam.Kening Adam spontan berkerut bingung. Dia mengalihkan pandangannya kembali dan menenggak minuman keras yang dipegangnya sejak tadi, lantas tersenyum lebar pada Kate. Pria itu tengah berada di bawah pengaruh alkohol—mabuk berat—dalam beberapa hari belakangan.&ldqu
KRING!Bunyi pesan masuk itu berdering satu kali—pendek dengan getaran yang juga singkat—di atas ranjang Angelina. Dia terbangun sebab suara yang baru saja masuk tadi langsung membuatnya tersentak dari lelap panjangnya. Wanita itu mengucek-ngucek mata, lantas mengecek layar telepon selulernya.Angelina memandang nomor asing itu dengan tatapan heran. Dia menekan tombol sentuh yang diprogram khusus untuk terbuka secara otomatis ke dalam bagian aplikasi. Kerutan di keningnya bertambah lebih banyak sekarang.[Pagi yang mendung. Sebentar lagi iklim akan berganti menjadi musim dingin, bukan?]“Siapa yang membahas cuaca di pukul lima pagi?” sungut Angelina yang merasa kesal karena waktu tidurnya terganggu.
Adam tertegun di depan pintu kediaman Angelina sekarang. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Lampu-lampunya mati bersama jejak kekosongan yang kian lama kian tinggi memanjati atmosfer di sekelilingnya.“Angelina?” panggil Adam yang kembali mengetuk untuk kelima kalinya, lantas menekan tombol bel dengan kasar.Adam yang merasa kesal sebab Angelina masih belum menyahut, apalagi membukakan pintu untuknya pun menendang kosen hingga aksi itu mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan kedua telinganya sendiri. Dia seketika mengumpat pada kenop yang kondisinya sudah rusak tersebut.“Sial! Mengapa masih belum terbuka juga? Angelina? Angelina?” pekik Adam yang berkacak pinggang sambil menunggu wanita yang ingin dia temui keluar mengomelinya.
“Jadi, apa kau suka apartemenku?” tanya Saga setelah mereka baru saja tiba di kediaman miliknya.Angelina masuk dan mulai melihat-lihat situasi di sekelilingnya dengan tatapan takjub. Dia pun mengangguk, lantas duduk di atas sofa bergaya country yang diletakkan di dekat jendela untuk mengistirahatkan diri. Wanita itu melakukan aksi peregangan karena punggungnya terasa penat.“Apa kau lelah? Kau boleh tidur di kamarku.”“Kamarmu? Apa kau tidak punya kamar lain?”“Ada, tetapi masih belum dibersihkan. Aku akan menyewa jasa pembersih nanti sore. Kau boleh menempatinya untuk sementara.”
“Apa kau masih merasa mual?” tanya Saga lewat panggilan yang terhubung ke Angelina malam itu.“Hanya dua atau tiga kali, tetapi aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.”“Aku akan pulang dua jam lagi. Kondisi di klinik memang cukup sibuk tadi dan ada operasi kecil untuk seekor anjing yang menjadi korban tabrak lari. Jadi, aku baru punya waktu untuk meneleponmu.”“Apa anjingnya selamat?” balas Angelina yang terkejut setelah mendengar kabar itu.“Ya. Aku akan memastikan dia tetap stabil dalam beberapa hari ke depan.”“Kau sangat sibuk, hm?”
“Angelina?” panggil Saga yang baru saja kembali dan menyusun sepatunya ke dalam rak di dekat pintu.“Angelina? Apa kau di kamar?” tanyanya lagi setelah tak kunjung mendengar jawaban.Saga kemudian beranjak melangkah ke kamar tamu yang ditempati oleh Angelina sekarang. Dia ingin mengecek dan memastikan kondisi wanita itu selepas seharian penuh berkutat dengan pekerjaannya—membuat dirinya otomatis terabai sendirian—dalam gejala morning sickness yang dia alami.Sorot mata Saga menangkap bayangan Angelina yang sedang mendengkur halus di bawah gumpalan selimut—meringkuk seperti huruf ketiga dari alfabet Latin—dengan kelopak mata sembap. Dia
“A-apa? Apa yang kau katakan?”“Biarkan aku yang menjadi Ayah dari bayi yang ada di dalam perutmu, Angelina. Aku akan bertanggung jawab pada kalian,” tekan Saga sekali lagi.“Itu mustahil!” sergah Angelina dengan intonasi yang lantang.“Mustahil? Bukankah kau—”“Tidak, Saga. Itu tidak akan pernah terjadi karena dia masih punya Ayah.”“Apa?” sahut Saga yang spontan bangkit dan berdiri ke hadapan Angelina.“Ya. Dia punya Ayah,” balas Angelina yang merasa kepalanya mendadak pening.
Dua wanita—dengan rambut pirang dan bermata biru—yang persis seperti permintaan Adam itu datang sebelum pukul sepuluh. Mereka melenggang masuk dengan langkah yang sensual—meliukkan pinggulnya seperti tubuh penari, lantas naik ke lantai atas. Sang pemesan sudah menunggu mereka di sana.Adam yang sedang duduk—bertelanjang dada—di pinggir balkon sambil memandangi langit malam itu pun menyadari kehadiran orang lain di depan pintu kamarnya yang terbuka lebar. Dia langsung menarik sebatang rokok yang menyala dari bibirnya dan mematikan api. Pria itu berbalik pada dua sosok yang berdiri dengan pakaian minim di hadapannya.“Adam Ford?” sapa salah satunya yang berkuku runcing sambil menyunggingkan senyum penuh arti.“Ya,” sahut Ad
“Cepatlah, Dad. Kita akan terlambat,” gerutu Arthur yang tengah memakai kaos kakinya dengan terburu-buru.“Kau memintaku untuk bergerak cepat, tetapi kau sendiri belum selesai bersiap-siap sejak dua puluh menit yang lalu.”“Mom akan membunuh kita. Hari ini merupakan hari penting bagi Paman Saga. Dia tidak ingin melewatkan satu momen pun,” balas Arthur yang kini memasang sepatu pantofelnya.“Dia tidak akan membunuhku, Nak. Dia sangat mencintaiku—oh, astaga! Di mana dasiku?”“Bukankah Mom meletakkannya di atas ranjang?”“Tidak ada di sana.”“Entah, Dad. Kau harus bertanya padanya lagi.”“Dia sudah menyiapkan semuanya tadi. Jika aku kembali menanyakan tentang itu, maka dia akan membunuhku.”“Kau bilang, Mom sangat mencintaimu,” seloroh bocah itu dengan nada yang dibuat-buat.“Ya, tetapi untuk yang satu itu, aku dapat memastikan dia akan melakukannya. Ibumu cende
“Saga? Apa kau sudah mengirim undangan untuk teman-temanmu? Semuanya?” tanya Ruby sambil menyesap kopinya yang setengah dingin.“Uh-huh.”“Bagaimana dengan Adam dan Angelina?”“Tentu saja. Mereka juga sudah kukirimi minggu kemarin,” sahut Saga yang masih enggan melepaskan pandangannya dari layar laptop.“Aku harus mengecek ulang tentang daftar orang-orang yang belum kita kirimi. Aku tidak ingin membuat kesalahan dengan melewatkan satu-dua orang yang terlupakan untuk hari penting kita,” keluh Ruby yang kemudian memijit ruang di antara kedua alisnya.“Tenanglah, kau tidak perlu merasa setegang itu.”“Tidak. Aku tidak merasa tegang,” kilah wanita itu sambil mengedikkan bahunya.“Kau menyeruput kopimu berkali-kali. Kau juga menyentuh keningmu tanpa henti. Caramu duduk pun mencerminkan isi hatimu.”“Apa kau memperhatikanku?”“Ya, Ruby. Mengapa kau pikir aku tidak
“Apa kau yakin itu garis dua?”“Tentu saja. Aku sudah mencobanya empat kali dan hasilnya tetap positif,” sahut Angelina yang netranya berkaca-kaca sekarang.Adam seketika menyambar alat uji kehamilan tersebut dari genggaman Angelina dan memandanginya lekat-lekat. Pria itu kemudian menjatuhkan benda yang semula dia pegang—kedua tangannya terulur menarik pinggang ramping sang istri. Kepalanya pun turun—membuat posisi sejajar dengan perut agar dapat memberi kecupan di sana.“Bayiku sedang tumbuh di dalam,” bisik Adam dengan nada memuja.“Dia akan membuat kita jauh lebih lengkap lagi.”Adam sontak mengalihkan tatapan dan beranjak memeluk tubuh Angelina dengan perasaan haru yang menjejali dadanya. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Tenggelam dalam ledakan euforia yang menghujani pikiran masing-masing.Berita tentang kehadiran calon anggota keluarga baru dalam hidup mereka
“Apa kau yakin kau tidak akan ikut bersama kami?”Saga serentak menoleh pada James Ambrose dan Seth O’Connor—rekannya, kemudian mengangguk dengan mantap. Dia kembali mengalihkan pandangan ke layar komputer yang masih menyala di depannya. Berjuang untuk memfokuskan pikirannya yang sedang kacau.“Kami akan mengenalkanmu pada wanita-wanita cantik di sana,” bujuk James sambil menyandarkan kedua sikunya ke atas meja kerja Saga.“Jawabannya tetap tidak.”“Aku kenal satu yang sesuai dengan tipemu.”“Tidak, James.”“Dia pirang, dia juga bermata biru. Ada banyak yang punya ciri-ciri fisik serupa, tetapi aku tahu Barbara sangat pas untukmu.”“Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya tanpa anestesi.”“Ada apa denganmu, Bung? Kau berubah menjadi Saga yang pemarah sekarang,” timpal Seth yang menanggapi lirikan tajam Saga pada mer
Lima pekan berlalu dalam gelombang tenang yang membuat Arthur bahagia untuk keluarga lengkapnya. Pun dengan Adam dan Angelina yang sedang mempersiapkan dokumen kepindahan bagi pendidikan Arthur serta acara pernikahan kedua mereka. Sesuatu yang sakral itu akan berlangsung esok.Angelina siap untuk menjadi pengantin—berdiri mengikat janji pada Adam dalam balutan gaun megar yang memesona—dengan melepaskan semua masa lalunya. Berjalan sebagai sosok yang baru. Angelina Wilson Ford yang telah mendapatkan cintanya lagi.Bersama Adam, Angelina merasa utuh. Bersama pria itu, dia merasa sempurna. Adam seperti kepingan puzzle yang sudah lama hilang, lantas ditemukan kembali olehnya lewat perjalanan panjang.Esok akan menjadi hari yang paling istimewa untuk mereka. Masa yang akan membuat Angelina enggan membiarkan waktu berganti kelewat cepat. Dia ingin mengabadikan segenap momen itu dalam pikirannya.Merekam seluruh prosesinya dengan bentuk memori luar b
“Aku akan kembali kemari esok, Mom.” “Ya, Sayang. Pulanglah bersama Paman Sam dan istirahat. Mom tidak ingin kau kelelahan, kemudian jatuh sakit.” Arthur spontan mengangguk pada ibunya, lantas meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Detik berikutnya, bocah itu menguap lebar hingga sepasang iris abu-abunya berair. Angelina yang menyaksikan tingkah sang putra pun tersenyum dan menanggapi, “Hari yang panjang, hm?” “Sangat amat panjang, tetapi aku mendapatkan hadiah terbaikku juga. Jadi, kupikir itu sepadan.” “Hadiah terbaik?” Arthur pun menoleh pada sosok dominan yang sedang melamun memandang ke luar jendela. Angelina yang mengikuti arah pandangan Arthur seketika paham dengan maksudnya. Adam menjadi kado terindah bagi mereka. Aneh? Angelina juga merasa demikian. Namun, takdir bekerja seperti sihir—ajaib dan tanpa batas. Keadaan bertukar hanya dalam waktu sekejap. Kemarin, dia bersikeras untuk mengenyahkan seluruh luka lamanya. Kini, dia ju
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Adam pada Angelina yang baru saja sadar setelah wanita itu dipindahkan dari ruang transisi ke ruang perawatan untuk pemulihan.“Aku akan selalu ada bersamamu. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun,” lanjutnya lagi.Angelina menyunggingkan senyumnya, lantas menganggukkan kepala tanpa menyahut. Sepasang matanya beralih ke arah lain—mencari sosok Arthur—di sana. Namun, yang dia temukan hanya lah dinding dengan dominasi cat putih dan dua buah nakas kecil di sekitar jendela.“Di mana putraku?” bisik Angelina dengan suara parau.“Dia sedang bicara bersama seseorang di luar.”“Seseorang?”“Saga,” sahut Adam dengan nada enggan.“Apa Saga baik-baik saja?”Kedua alis Adam spontan bertaut pada ekspresi khawatir di wajah Angelina dan membalas, “Pertanyaan itu seharusnya untukmu. Bukan dia.”&ld
“Apa Mom akan baik-baik saja?” tanya Arthur sambil memandangi pintu bangsal ICU yang baru saja ditutup.Adam seketika melayangkan tatapan muram pada Arthur. Dia juga berharap Angelina akan baik-baik saja seperti yang mereka inginkan. Namun, satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanya menunggu para tim medis selesai bekerja dan membiarkan sedikit keajaiban datang.“Angelina wanita yang kuat. Satu luka tembak tidak akan membuatnya menyerah.”Arthur spontan menoleh dan balas menatap pada Adam. Dua pasang iris dengan warna persis itu saling beradu dalam rasa cemas yang menggantung kental di benak mereka masing-masing. Adam kemudian memalingkan wajahnya sambil mendengus canggung.“Jadi, kau adalah Ayahku?”“Kau boleh memanggilku Dad atau sebutan apa saja yang kau suka.”“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa Ayah Saga sangat marah dan ingin menembakmu?” selidik Arthur yang penasaran
“Caramu salah. Itu tidak akan menghentikan pendarahannya. Minggirlah, biar aku yang melakukannya,” ucap Saga setelah dia tersadar dari syok yang sempat menggulung dirinya.“Diam di sana atau aku akan melemparmu ke dalam penjara sekarang juga!”“Tidak ada waktu untuk bertengkar. Nyawa Angelina dalam bahaya.”“Kaulah yang melukainya!” teriak Adam dengan sorot mata penuh dendam.“Ber-berhentilah berkelahi, kumohon. A-aku tidak apa-apa. Ha-hanya se-sedikit sesak,” ungkap Angelina selepas menyaksikan ketegangan yang lagi-lagi menggantung di antara mereka.“Posisikan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dia harus tetap terjaga sampai tim medis datang. Ajaklah dia bicara tentang apa saja,” pinta Saga sambil meraba tekanan detak nadi di salah satu pergelangan tangan Angelina.Adam menurut—memosisikan tubuh Angelina sesuai dengan instruksi, lantas mengecup lembut kening Angelina yan