Tetanggaku Luar BiasaBab 19"Mbak Ajeng, kita bareng yuk, ke acara syukurannya Bu RT," ajak Siska sambil berdiri di ambang pintu.Aku yang sedang membereskan barang dagangan mengiyakan ajakan Siska. "Tapi, saya mandi dulu.""Oke. Tungguin, ya, Mbak. Jangan ditinggal, loh.""Iya, ntar, saya tungguin di teras."Siska pun berlalu sambil membawa kedua anaknya. Aku juga segera bersiap. Sore ini, Bu RT mengundang para tetangga untuk menghadiri syukuran wisuda anak keduanya. Katanya ada pengajian juga. ***Siska muncul sambil menuntun Oliv. Sementara Fia dan Alif, mengikuti di belakangnya."Mbak, maaf, kalo nggak keberatan, Oliv sama Mbak Ajeng, ya. Biar Fia sama aku. Dia maksa minta ikut.""Ya udah, ayo." Tanpa menunggu lama, aku menggendong Oliv. Bocah itu tampak kegirangan. Dia mengusap-usap pipiku dengan tangannya yang montok.Kami pun segera berangkat, karena tadi kulihat beberapa tetangga sudah berangkat. Kulirik Siska yang memakai gamis berwarna hitam dengan hiasan bordir di beberap
Tetanggaku Luar BiasaBab 20Leni tertawa, "terserah kamu aja, Sis!" Aku tersenyum tipis. Aku pikir Leni akan terus mendebat Siska soal perhiasan, ternyata tidak. Dia berpamitan karena sudah sampai di rumahnya."Mbak, suami Mbak Leni itu, kerja di mana sih?" "Di bank milik pemerintah. Kenapa?""Nggak apa-apa. Mm, suaminya kerja di bank, kok, mau-maunya bantuin jualan baju punya Mbak Ajeng."Aku menghela napas kasar. "Leni itu, anak sulung. Ayahnya udah meninggal sejak Leni SMP. Jadi, sebelum menikah, dia tulang punggung keluarga. Suaminya juga sama. Jadi, mereka sama-sama membiayai adik yang masih kuliah. Aku malah salut sama Leni. Walaupun punya suami berpenghasilan lumayan, tapi nggak gengsi jualan baju. Jarang loh, ada orang kayak dia."Siska tidak menjawab perkataanku. Lagipula kami sudah sampai rumah. Siska langsung pamit pulang. Dan aku langsung masuk ke rumah.***Sudah beberapa hari, tukang sayur tidak berjualan. Istrinya melahirkan, dan keluarganya dari kampung datang. Jadi
Tetanggaku Luar BiasaBab 21"Saya nggak nelpon, Mbak."Aku menatap Mas Reyhan dan Arif bergantian. Kalau bukan Arif yang menghubungi Siska, terus siapa? Kenapa Siska buru-buru pergi setelah menerima telepon? Aku jadi bertanya-tanya sendiri."Mungkin, Siska mampir ke mana dulu, Rif. Nggak usah khawatir," ujar Mas Reyhan.Aku mengangguk, setuju dengan pendapat Mas Reyhan. Semoga, Siska hanya mampir ke suatu tempat untuk membeli sesuatu. "Ya udah, kita tunggu aja. Paling Siska mampir beli diapers atau apalah.""Iya, Mbak. Kalo gitu, kami permisi pulang. Mau nunggu Siska di rumah aja." Arif membawa anak-anaknya pulang. Suami dan anak-anak kuajak masuk, untuk menikmati mie kocok yang dibeli tadi.***Hari ini, ibu mertuaku datang. Katanya rindu dengan cucu-cucunya. Tentu saja aku merasa senang dengan kehadirannya. Karena, memang sudah lumayan lama, kami tidak pulang ke kampung Mas Reyhan. Terakhir kami pulang, saat Idul Adha. Sewaktu anak-anak libur sekolah, sebenarnya kami juga berencan
Tetanggaku Luar BiasaBab 22Saat kami sampai di rumah, tampak Arif sedang mengasuh kedua anaknya di teras. Hampir saja Alisha keceplosan mengatakan pada Arif, bahwa kami melihat Siska."Kenapa nggak boleh bilang sama Arif kalo kalian ketemu Siska?" tanya Mas Reyhan."Mas mau, mereka berantem?" "Kok, berantem sih?""Nih, kalo Mas, ada di posisi Arif, marah nggak?""Kenapa harus marah? Toh, selama ini, juga kamu sering gitu, kan? Pergi belanja ama Leni, dan aku di rumah sama anak-anak.""Ini beda, Mas. Gini, gimana, kalo Mas tahu, ternyata aku perginya ama cowok? Ha-ha-hi-hi, sementara, kamu di rumah kerepotan ngurus anak-anak. Terus, yang datang nagih utang, hilir mudik?""Kamu sebenernya mau ngomong apa, sih? Muter-muter nggak jelas."Kuambil ponsel dari dalam tas, lalu membuka galeri, dan menyerahkannya pada Mas Reyhan. Kening suamiku berkerut saat mengamati foto dan video yang kuambil."Kamu nggak ada kerjaan amat ngambil foto orang."Reaksi Mas Reyhan membuatku sedikit dongkol. D
Tetanggaku Luar BiasaBab 23Ancamanku berhasil. Hari ini, sikap Siska sedikit berubah. Dia tidak lagi bicara seenaknya tentang aku. Entah esok dan seterusnya. Mudah-mudahan dia benar-benar berubah. Lebih bagus lagi, kalau dia juga melunasi hutang-hutangnya. "Mbak Siska, alhamdulillah, akhirnya ada di rumah juga." Kami semua menoleh ke arah sumber suara. Tampak Bu Dibyo tengah berjalan menghampiri kami yang sedang duduk santai, seusai membereskan bekas makan nasi liwet."Bu Dibyo, mari, sini, gabung," ajakku. Wanita berkerudung abu-abu itu mendekat, lalu menyalami kami satu persatu. "Mbak Siska, ke mana aja? Tiap dicari ke rumah, nggak ada terus."Siska terlihat gugup. "Emm, ada, kok, Bu. Mungkin lagi tidur, makanya nggak kedengeran.""Ah, masa? Masa saya ke sini pagi, nggak ada. Siang nggak ada juga. Sore, nggak ada juga. Masa, tidur sepanjang hari? Padahal, pas saya ke sini kemarin, anak-anak Mbak ada, loh."Aku melirik ke arah Siska yang terlihat salah tingkah."Maaf, Bu. Emang,
Tetanggaku Luar BiasaBab 24Ruang keluarga terasa semakin panas, padahal kipas angin menyala sejak tadi. Untuk beberapa saat, kami berlima, tak ada yang bicara. Hanya isakan Siska yang terdengar di sini. "Gini, Arif, Siska. Soal hutang pada Ajeng, kalo kalian belum bisa membayar sekarang, tidak apa-apa. Bisa dicicil, kalo sudah ada uang. Toh, Ajeng juga belum memerlukan uang itu," ujar Mas Reyhan memecah keheningan.Aku menatap tajam ke arah Mas Reyhan. Enak saja ngomong begitu tanpa meminta persetujuanku. Duh, itu uang empat juta, kalau dipakai nambahin stok barang, kan, lumayan. Lagian, Siska menurutku termasuk boros. Untuk ekonomi seperti kami, lima juta sebulan itu banyak. Kalau satu hari Siska menghabiskan seratus ribu untuk lauk pauk dan jajan anak-anak, satu bulan cuma tiga juta. Listrik, air, beras, minyak, diapers, sabun dan lain-lain, kurang lebih satu juta. Siska masih punya sisa kurang lebih satu juta, bisa ditabung. Duh, kenapa aku jadi menghitung uang orang. Ah, sudahl
Tetanggaku Luar Biasa"Ada apa, Alif?" tanyaku setelah anak lelaki Siska itu tenang.Alif menggeleng cepat. "Aku sama adik-adik lagi nonton tivi. Ayah baru pulang, langsung nyari mama, ngerebut hape mama, terus dibanting."Alif menyeka air matanya. "Terus, mama marah. Ayah ngebanting piring, dan nyuruh Alif bawa adik-adik ke sini." Aku dan Ibu saling pandang. Mungkin, Ibu juga sama bingungnya seperti aku. Akhirnya kusuruh Alif bergabung dengan Alisha dan Andra yang sedang menonton serial kartun favorit mereka. Begitu juga Oliv dan Fia yang sudah tidak lagi menangis. Terdengar suara salam dari pintu depan."Biar saya aja, Bu."Ibu mengangguk, lalu bergabung dengan anak-anak. Aku bergegas membuka pintu. Ternyata Mas Reyhan yang datang."Kamu, ngirim foto-foto sama video itu ke Arif? Aku, kan, udah bilang, jangan! Itu bukan urusan kita. Ngeyel kamu, ini. Sekarang, kamu puas? Mereka berdua bertengkar?" tanya Mas Reyhan bertubi-tubi. Dia langsung duduk di kursi ruang tamu. Tas kerjanya d
Kami sampai di rumah Ibu jam sepuluh pagi. Beberapa saudara Mas Reyhan yang rumahnya berdekatan, menyambut kami. Nasi liwet lengkap dengan lauk pauk khas, sudah mereka siapkan. Tak menunggu lama, kami pun larut dalam suasana ceria sambil menikmati makanan khas Sunda itu. Bahagia rasanya berkumpul dengan sanak saudara dalam suasana gembira. Setidaknya, untuk sesaat, aku lupa dengan masalah tentang Siska yang seolah tak berujung. Mang Ali juga ikut bergabung dengan kami. Sampai saat ini, pria yang selalu ramah pada siapa saja itu, belum tahu masalah yang menimpa anaknya. Tak bisa kubayangkan, pasti Mang Ali akan sangat bersedih seandainya mengetahui kelakuan Siska. Usai makan, kami bercengkrama, sambil mengobrol ringan. Aku dan Ibu membagikan oleh-oleh pada mereka. Keluarga yang perempuan, aku memberi mereka masing-masing satu buah daster batik. Walaupun bukan barang mahal, tapi mereka terlihat gembira dan mengucapkan terimakasih. Mereka juga tak henti-hentinya mendoakan agar keluarga
Tetanggaku Luar BiasaEND Enam bulan kemudian. “Mbak, ini kerupuknya digoreng nggak ngembang, jadi saya balikin, ya.” Aku dan Santi saling pandang. Masih bingung dengan maksud Bu Lisa, tetangga baru kami. “Baru diambil dikit, kok. Baru sekali ngegoreng. Nih,” Bu Lisa meletakkan bungkusan kerupuk mentah di meja yang berisi dagangan lain. “Maaf, Bu.maksudnya gimana?” tanyaku. “Mbak Ajeng, tadi saya beli kerupuk mentah, tapi pas saya goreng, nggak ngembang, jadi saya kembaliin aja ke sini, saya minta uang kerupuk saya dikembaliin, gitu.” “Loh, Bu. Ya, nggak bisa ....” Aku belum selesai membantah omongan Bu Lisa, tiba-tiba Santi menyentuh lenganku sambil menggeleng pelan, seolah memberi kode agar aku diam. “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ini uang kerupuknya saya kembaliin,” sahut Santi ambil menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Bu Lisa. Bu Lisa menerima uang itu, lalu, tanpa mengucapkan terima kasih dia pergi dari warung milik Santi. “San, kok, kamu
Tetanggaku Luar BiasaPOV Ajeng Aku menatap tajam ke arah Siska yang terlihat salah tingkah karena tuduhan palsunya padaku dan Arif. “Selama ini, aku selalu belain kamu di depan Ajeng dan Arif karena aku udah anggap kamu seperti adik sendiri. Tapi rupanya, aku sudah salah karena membela orang yang tak pantas dibela,” ujar Mas Reyhan sambil menatap tajam Siska. Ada kekecewaan dari nada suara suamiku itu. Siska mengangkat wajahnya dan menatap kami semua. “Ya udah, aku minta maaf.” Enak saja dia minta maaf begitu saja. Apa dia nggak mikir efek tuduhannya padaku dan Arif? Bagaimana kalau tadi warga termakan omongan dia dan langsung menghakimi kami berdua? “Memaafkan itu mudah, Sis. Tapi, kayaknya, kami semua nggak akan mudah ngelupain kejadian ini,” sahut Arif ketus. Siska tak menyahut kalimat Arif. “Ya udah, Rif. Kami permisi pulang dulu. Mungkin, kamu perlu bicara sama Siska. Kita pulang yuk, Bu,” ajak Mas Reyhan padaku. Aku menuruti ajakan Mas Reyhan, dan me
ini bab terakhir pov siska, selanjutnya pov ajeng. terima kasih untuk semua pembaca setia. jTetanggaku Luar BiasaPOV Siska (terakhir) Hari-hari kulewati dengan perasaan tak menentu. Jika dulu, aku sangat bahagia setiap kali Satya datang berkunjung, sekarang tidak lagi. Rasa was-was dan takut kini lebih mendominasi setiap kali berada di dekat Satya. Memang, Sekarang, Satya juga berubah menjadi kasar. Tak jarang dia membentak dan mengancam akan membuangku ke jalanan jika tak menuruti semua perintahnya. Aku juga masih tidak diizinkan ke luar dari apartemen dengan alasan apapun. Ponselku yang rusak pun sudah dibuang entah ke mana oleh Satya. Aku seperti tahanan, hanya saja tempatku lebih nyaman. Hingga suatu hari, Satya datang membawa seorang perempuan cantik bernama Stella. Pada Stella, Satya mengatakan kalau aku hanyalah seorang asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan merawat apartemen ini. Sungguh sakit hatiku mendengar semua itu. Ternyata Satya tak sebaik yang kuki
Yang tidak suka POV Siska silakan skip ya. 😊Tetanggaku Luar BiasaPOV Siska “Kalo Bapak nggak percaya, silakan hubungi Satya sekarang. Bilang Siska nunggu dia di sini,” usulku sekali lagi. Pak satpam itu masih menatapku penuh selidik, sampai akhirnya sebuah mobil memasuki gerbang kantor ini. Kami serentak menoleh ke arah sedan warna hitam yang itu. “Nah, Bu Siska, itu Pak Satya datang,” ujar satpam itu padaku. Aku tersenyum, kemudian bergegas menghampiri mobil yang menurut satpam itu adalah mobil Satya. Benar saja. Satya ke luar dari mobil dengan logo kuda jingkrak itu. “Satya!”Satya menoleh, dia tampak terkejut.”Siska?”Aku tersenyum lebar, lalu menghampiri Satya yang terlihat menawan dalam balutan kemeja warna biru langit.“Iya, Sat, ini aku. Sengaja nyari kamu ke sini.”Satpam yang tadi menanyaiku pun menghampiri Satya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mencegahku masuk ke halaman kantornya.“Nggak apa-apa, Pak. Siska ini emang temen saya, kok,” “Oh, ya
Buat pembaca setia yang tidak suka POV Siska, silakan skip aja, ya. Tetanggaku Luar Biasa Bertetangga dengan Mbak Ajeng sebenarnya menyenangkan. Dia sering membantu menjaga anak-anak saat aku repot mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga tidak mempermasalahkan saat aku lupa tidak memberi uang jajan pada Fia dan Oliv. Pantas saja, banyak yang menyukai ibu dua anak itu. Ternyata, Mbak Ajeng sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Sekarang dia berjualan daster dan mukena serta baju-baju batik. Mbak Ajeng berjualan secara online dan offline. Bahkan, beberapa tetangga ikut memasarkan dagangan Mbak Ajeng. Enak banget hidup Mbak Ajeng, semua terlihat mudah. Awalnya semua baik-baik saja. Akan tetapi, lama-lama aku muak dengan semua kebaikan Mbak Ajeng. Semua orang bersikap baik padanya. Mereka tidak tahu bahwa Mbak Ajeng itu, dominan sekali dalam rumah tangganya. Sementara A Reyhan terlihat hanya menuruti saja apa yang jadi keputusan Mbak Ajeng. Menurutku, ini tidak adil. A Reyhan yang kerja ke
Tetanggaku Luar Biasa POV SiskaAkhirnya Bang Rudi bersedia meresmikan hubungan kami. Walaupun nikah siri, tak apalah. Daripada tanpa status yang jelas, ya, kan? Dan sekarang, aku bisa merasakan kehidupan seperti kehidupan Mbak Ajeng dan A Reyhan. Tinggal di kota dan pulang pergi memakai mobil pribadi. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuat semua anggota keluarga menyukaiku. Termasuk Bi Wati. Dia tetap memuji Mbak Ajeng di depanku. Menyebalkan memang. Bapak juga awalnya tidak menyetujui aku menikah dengan Bang Rudi. Akan tetapi, aku terus meyakinkannya sampai kemudian Bapak bersedia menikahkan kami. Walaupun hanya pernikahan sederhana, tak apa-apa. Awalnya, hubunganku dengan Bang Rudi baik-baik saja. Hampir setahun kami menjalani rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya Bu Ratu mengetahui semuanya. Entah dari siapa istri tua Bang Rudi itu tahu hubungan suaminya denganku. Dia datang ke apartemen, lalu melabrak dan memakiku. Aku tak bisa mengelak, karena Bu Ratu
Tetanggaku Luar BiasaPermintaan dan tawaran Pak Rudi terus terngiang di telinga. Aku memang sengaja tidak langsung menjawabnya dan berpura-pura meminta waktu untuk memikirkan semuanya. Padahal, aku memang tergiur dengan tawaran itu. Kapan lagi, ada orang yang dengan suka rela membiayai perceraianku, ya, kan? Dan, aku juga berpikir, bahwa inilah saatnya, aku menunjukkan pada keluarga di kampung bahwa aku pun bisa menjadi orang kaya. "Sis, kamu ngelamun terus, ada apa?" tegur Mia saat kami berjalan menuju kamar seusai bekerja.Aku dan Mia menempati kamar yang sama, di belakang restoran. Pak Rudi memang memberikan fasilitas mess untuk karyawan, terutama yang perempuan. "Tuh, kan, ngelamun lagi. Ada apa sih?" tanya Mia sambil membuka kunci kamar kami. Kemudian, kami berdua masuk. "Mm, nggak apa-apa Mia," jawabku sambil tiduran di atas kasur lipat yang cukup untuk empat orang. Kata Mia, dulu, kamar ini ditempati empat orang sebelum dua orang yang lain dipindahkan ke restoran yang baru.
Tetanggaku Luar Biasa"Saya akan membiayai perceraian kamu, asal…."Pak Rudi tidak melanjutkan kalimatnya. "Asal apa, Pak?" Pak Rudi tersenyum. Tangan halusnya mengusap kedua pipiku. Perlahan wajah Pak Rudi mendekat membuat hati berdebar tak karuan. Hembusan napasnya menyapa lembut wajahku. Tanpa sadar, mata pun terpejam untuk menghindari tatapan Pak Rudi. "Asal, kamu selalu ada buat saya," bisiknya di telingaku, membuat bulu kuduk meremang. Sebelum ini, aku memang sering menghabiskan waktu dengan beberapa cowok. Dari yang biasa saja sampai yang luar biasa dan melewati batas yang seharusnya kujaga. Tapi, rasanya biasa saja dan tidak mendebarkan seperti ini. Sungguh, bersama Pak Rudi, membuatku tak berdaya. "Sis, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Rudi, cepat aku membuka mata, tampak pria berkumis tipis itu menjauhkan wajahnya sambil tersenyum jahil."Sa-saya baik-baik saja," jawabku sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Duh, malunya. Aku pikir tadi Pak Rudi akan melakukan sesuatu
Tetanggaku Luar BiasaKeputusanku sudah bulat. Aku bosan terkungkung di dalam rumah yang menurutku melelahkan. Keadaan ekonomi yang tetap sulit, keluarga mertua yang selalu mengabaikanku bahkan saat butuh bantuan. Suami juga susah disuruh pulang. Hah! Menyedihkan sekali hidupku. Dengan alasan menyusul A Sandi ke Jakarta, aku meninggalkan Alif bersama mertuaku di Sumedang. Aku bilang ke mereka, ada lowongan pekerjaan sebagai penjaga toko di dekat tempat kerja A Sandi. Mereka percaya begitu saja, bahkan memberikan tambahan ongkos.Apa kubilang? Orang tua A Sandi itu sebenarnya mata duitan, mereka ingin punya menantu yang memiliki penghasilan sendiri. Namun, mereka memutar balikkan fakta, seolah akulah yang boros dan mata duitan. Lihatlah, mereka memasang wajah sumringah saat aku berpamitan. Mereka memintaku bekerja dengan tekun agar bisa mengumpulkan uang untuk renovasi rumah seperti keinginanku. Menyebalkan bukan? Bahkan Bapakku saja tidak pernah menyuruhku bekerja mencari uang. ***