Beberapa kendaraan melintas. Bisingnya terdengar keras dari dalam mobil yang ditumpangi oleh Delano. Suara orang yang berlalu lalang, dan juga klakson mobil ketika berada di lampu merah begitu riuh terdengar.
Namun, tidak juga mampu membuat Delano tersadar dari pingsannya. Sudah satu jam berlalu semenjak perjalanan pulang dari galeri Jeff Hilton. Ia masih sama. Tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan sedikitpun.
Oscar begitu cemas, begitu juga yang lainnya. Mendadak suasana menjadi hening ketika seorang dokter pribadi Oscar memeriksa keadaan Delano.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Emely, ia begitu mencemaskan Delano.
"Ia hanya trauma dengan sesuatu, hibur saja setelah bangun. Agar dia mamp
Jeff bangun lebih awal dari biasanya. Ia segera mengenakan jas mahalnya. Ini memang rutinitas sehari-hari yang tak biasa. Ia bahkan tergesa-gesa mencari Oscar. Tanpa Oscar Jeff hilang keseimbangan. Sebab Oscar adalah pengikut setia yang selalu menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh Jeff Hilton."Oscar!" teriaknya, Jeff terus berjalan dengan langkah cepat menyusuri setiap sudut ruangan.Setiap kamar tamu ia buka. Kosong. Tidak ditemukan satu pun penghuni di dalamnya. Jeff juga tidak berhenti berteriak memanggil dengan suara lantang."Oscar! Oscar … Oscar!" teriak Jeff sambil terus berjalan. Ia bahkan mengabaikan seluruh maid yang bekerja padanya.Namun, O
Delano terbangun di sepertiga malam. Perlahan jemarinya menyingkap gorden dan menatap ke arah luar jendela. Malam tak beranjak dari pekat. Lenguhan-lenguhan hewan malam masih terdengar. Meski ada juga keheningan dalam sudut ruangan. Deru jantung Delano berdegup terdengar menggema. Mengisi senyapnya malam. Hari ini adalah waktu yang lama dinantikan. Pertemuan anak dan bapak yang lama berpisah. Bahkan sejak terlahir belum pernah sekalipun Delano bertemu dengan ayah kandungnya. Delano bersemangat membersihkan diri. Berpakaian rapi, kemudian hendak pergi meninggalkan kediaman Oscar. Ia berlari kecil menuruni anak tangga. Langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika Hendri dan Bob menghadangnya tepat di dasar tangga. "Mau ke mana?" tanya
Suara riuh sekali saat itu, suara gedebuh sahut menyahut bergantian. Tiba-tiba gerombolan bodyguard pilihan Jeff Hilton baku tembak dengan Bob dan Hendri. Untung saja mereka berdua terbiasa hidup keras di jalanan. Bang… Bang…. Suara tembakan terus menerus tanpa jeda. Daren melangkah cepat menggandeng lengan Jeff membuatnya setengah berlari, langkahnya pun menjadi tersengal lalu mendesaknya hingga tubuhnya terdesak ke sudut tembok. "Siapa kamu? Kenapa kamu begitu mirip dengan Delano?" tanya Jeff, dengan manik mata yang terus bergerak-gerak. "Aku Daren! Benar katamu, Delano memang sudah mati!" serunya sambil menyeringai menakutkan. Namun, bukan Jeff jika merasa ketakutan dengan lawan yang hanya seperti seorang Daren. Justru sebaliknya, Jeff membalas tatapannya dengan tatapan sinis. Netranya terus menjelajah me
Delano kesal, tetapi tidak mampu meluapkan emosi karena tubuhnya sedang dikuasai oleh jiwa Daren. Bak orang kesurupan, Daren melakukan segala sesuatu semaunya.Darah di pinggangnya terus mengucur tanpa henti. Kemeja putih yang ia kenakan kini dipenuhi bercak darah berwarna merah disertai bau anyir. Ia membalutnya dengan jas mewah yang sengaja ia robek di bagian lengan sebagai penutup luka.Giginya saling beradu hingga menimbulkan suara menahan rasa sakit. Meski begitu ia tetap membalut luka tersebut sambil sedikit berteriak."Aaaaargh ...."Luka itu membuatnya semakin menggila ingin meluapkan emosi yang selama ini dibendungnya terlebih ia kesakitan karena Jeff. Membuatnya beringas menyerang pria paruh baya tersebut dengan liar.
Oscar dan Delano tercekat menatap Daren dengan jantung berdebar. Saat itu, Daren bersiap meniup kalung yang menggantung di lehernya diiringi seringai di wajahnya.Sedangkan Jeff memasang wajah memelas berharap Daren memaafkan segala kesalahannya di masa lalu. Tentang ibu Delano, tentang perbuatannya pada Miranda, dan juga para seniman yang ia paksa untuk merelakan maha karya mereka.Priiiit …!Benar. Peluit dengan nada panjang telah Daren tiup. Delano, beserta Oscar yang berada di tempat tersebut terbelalak. Bibir Delano bahkan terbuka lebar, matanya juga ikut mendelik melihat para gerombolan dalmantian berhamburan mendekat.Hening. Hanya suara riuh sepatu kaki anjing dalmantian berlarian mendekat. Seisi
Hari berganti hari, Oscar datang menjemput Delano yang berangsur membaik. Perban luka di pinggangnya yang di jahit pun sudah mulai dilepas.Pagi itu, Oscar datang bersama kedua teman Delano untuk menjemputnya. Setelah kematian Jeff, harta kekayaan jatuh ke tangan Delano sebagai pewaris tunggal."Delano, bagaimana keadaanmu?" tanya Oscar. Masih dengan ekspresi wajah yang sama seperti sebelumnya. Selalu dingin dan irit kata, kecuali ada kepentingan mendesak yang memerlukan penjelasan."Aku sudah membaik. Apa hari ini aku bisa pulang?" tanya Delano memastikan, ia penasaran dengan kedatangan Oscar yang sebelumnya jarang menjenguk.Daren pun sejak Delano dirawat di Rumah Sakit tidak pernah melihat lagi batang hidungnya. Hal itu juga sangat mengganggu pikirannya."Ya, kamu akan tinggal d
Keesokan harinya.Delano tidak terlalu mempedulikan Calista sebagai pembalasan atas semua perlakuan buruk yang dulu ia lakukan. Bahkan meski gadis itu terkesan tersiksa tidur di sofa bludru panjang berwarna merah maroon yang terletak di sudut ruangan.**Matahari telah menampakkan silaunya, tergelincir tetapi sinarnya menghangatkan seluruh makhluk yang ada di bumi. Sementara itu suhu udara sudah tidak terlalu panas. Debu bergulung-gulung tertiup angin. Pusaran angin membawa debu pada sebuah gang sempit di kediaman Oscar.Delano baru saja pergi ke butik Emely. Penampilannya terlihat santai dengan t-shirt dan juga celana jeans panjang. Sedangkan kakinya mengenakan alas sepatu kulit berwarna brown. Meski luka bekas ditikam Jeff
Beberapa hari kemudian, Delano mengerling saat membaca surat kabar kemudian menonton acara televisi. Tersiar kabar bahwa ia pelukis idola baru di sandang oleh Daren.Delano memaku memikirkan hal itu. Bagaimana bisa Daren muncul di tempat yang berbeda secara nyata? Sedangkan saat bersama dengan dirinya, ia justru tak terlihat oleh siapapun.Apa yang membuatnya berbeda? Hal itu selalu menjadi pertanyaan besar di benak Delano. Setiap waktu ia selalu memikirkan bagaimana? Kapan? Momen pertama kali bertemu dengan Daren. Mungkinkah mereka bersaudara? Kenapa Daren begitu misterius? Delano hampir frustasi memikirkan banyak hal tentangnya.Delano masih tercenung sambil memijit keningnya yang bahkan tidak sedikit pun merasa sakit. Membuat
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya
Karena merasa terganggu dengan bisikan-bisikan gaib. Akhirnya, Delano memutuskan menggunakan penutup mata. Ia mencari-cari seutas tali menyerupai pita lebar berwarna hitam. Segera. Dengan cekatan, tangannya memegangnya dan mengikat memutar di kepalanya hingga pelupuk matanya benar-benar tertutup.'Kali ini kau bahkan tak bisa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak ingin melihat bagaimana pun wujud aslimu. Dasar, iblis sialan!' Batin Delano terus merutuk.Dengan mata terpejam, jemarinya genggam kuas yang sudah ia oleskan ke palet dengan warna yang sudah ia hapal tata letaknya di palet sebelumnya. Setelahnya, ia goreskan di kanvas yang sebelumnya melukis gambar Daren setengah jadi.Anehnya. Delano mahir melukis meski dengan mata tertutup sekalipun. Ia bahkan tidak kesulitan memilih warna di palet, dan gambar yang dihasilkan pun sangat rapi. Ya. Lukisan tersebut benar-benar menggambar wajah tampan Daren yang sedang duduk di sebuah kursi dengan bantalan empuk berwarna hitam.Seolah sedan
Suasana sepi disertai angin berembus kencang dan juga gemericik hujan yang tak kunjung pergi membuat Delano semakin resah. Ia seakan patah semangat. Dan memilih duduk menunggu di sudut ruangan. "Om Ben, apakah waktu yang dibutuhkan untuk meracik ramuanmu itu sangat lama?" tanya Delano sambil menampakkan wajah sendunya. "Tergantung," balas Ben menatap sekelias sepersekian menit kemudian tatapannya kembali ke arah kendi keramik yang di genggamnya. "Jelasin yang rinci dong! Nanggung banget, yang di culik sebenarnya anak siapa sih?" geram Delano saat menyadari respons Ben yang seolah biasa saja. “Anak Om Ben sama Lisa, sudah pernah dibahas! Saya ngomong tergantung, sebab belum tahu apakah bahan yang mau saya racik itu sudah lengkap atau tidak," jelas Ben seolah mencoba menekan agar Delano diam. Benar. Delano tercengang mendengarnya. Kemudian ia memilih diam memandang sekilas tentang David. Dan pikirannya kembali, seperti kaset yang diputar. Ia mengingat David pernah datang berulang k
Malam semakin pekat, di bawah guyuran hujan deras disertai badai, seorang gadis terkulai tak berdaya dalam keadaan terperangkap di dalam mobilnya.Tak ada seorang pun yang melintas. Angin semakin kencang, semua berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya ia sadarkan diri juga. Lehernya masih terasa perih. Tak banyak yang dapat ia lakukan, kecuali menunggu seraya meraba lehernya yang berlubang dan basah akan cairan kental berbau anyir dengan warna merah pekat.Waktu terasa lama jika menunggu. Dengan napas yang terasa berat, Anna berusaha bangkit dari kursi kemudinya. Sakit. Kepalanya bahkan terasa pusing.Badai terasa hampir reda. Hal yang paling ia takutkan saat ini hanya satu. Kematian. Ia tidak ingin mati sia-sia setelah menempuh perjalanan yang mengorbankan dirinya. Ia sangat berharap untuk bisa bertemu dengan Delano atau bahkan Ben Daniel sebelum maut menghampirinya."Delano," rintihnya. Suaranya nyaris tak terdengar akibat menahan sakit dengan dua luka berlubang di leher yang terus m