Vino terus meringis menahan sakit. Apa kakinya benar-benar patah? Ah, paling cuma terkilir. Entah kenapa melihatnya kesakitan, aku malah ingin tertawa. Namun, rasa kasihan lebih dominan. Kembali kulirik ia dari kaca tengah.
“Cepat, Kal. Kasihan ini si Excel.”
“Iya, Pa. Ini juga udah ngebut,” jawabku dengan sedikit gelisah.
Mobil terus melaju menuju rumah sakit terdekat. Tidak berapa lama, kami sampai di pelataran parkir. Langsung kuputar kemudi menuju depan pintu IGD. Begitu mobil berhenti, Papa langsung membuka pintu dan memanggil seorang nurse yang tengah berjaga.
Dengan sigap, perawat laki-laki dibantu rekannya segera membantu Vino menuju ruang penanganan. Aku dan Mama ikut turun. Namun, seperti biasa kami dilarang masuk saat pasien tengah ditangani.
Papa mulai gusar dan melirikku penuh pertanyaan. Tanpa berlama-lama aku pun menjelaskan runtut seperti apa kejadiannya.
“Siapa suruh pegang-pegang, aku ‘kan refleks, Pa. Beneran enggak sengaja. Kalaupun aku tahu itu Kak Vino, aku juga ogah tangan ini dipegang-pegang dia,” sungutku dalam penjelasan.
Mama dan Papa saling pandang. Hingga akhirnya Papa bertanya, “Sebenarnya kalian ini dulu ada apa? Kenal di kampus atau di mana? Pernah ada hubungan?”
Aku menunduk, mengatur napas sebaik mungkin. Orang tuaku tidak pernah tahu bahwa semasa SMA aku pernah punya pacar. Ya, pacar pertama, dan ... Vino-lah orangnya. Kami selisih dua tingkat. Hubungan backstreet terpaksa aku lakukan, sebab Papa melarang keras putrinya berpacaran.
Kak Vino salah satu idola di sekolah. Bangga, dong, punya pacar keren. Selain anak orang kaya, tampan, dan pintar, lelaki itu ketua OSIS.
Hubungan kami bermula saat awal masa orientasi sekolah dimulai. Kukira, aku hanya disuruh menyatakan cinta sebagai hukuman kepada sang ketua organisasi intra sekolah itu. Namun, rasa ini ditanggapi serius olehnya.
“Aku bakalan terima cinta kamu, dengan satu syarat,” ucapnya kala itu.
“A-apa itu, Kak?” tanyaku gugup.
“Hubungan ini harus terus lanjut sampai serius. Mau?”
Antara kaget, juga tersipu. Sorak dan tepuk tangan terdengar bergemuruh di lapangan basket. Sambil menyelam minum air. Bebas dari hukuman, dapat pacar keren pula. Ihiirrr!
Hampir delapan bulan menjalin hubungan, ternyata Kak Vino juga baru saja merasakan yang namanya pacaran. Dia bilang anti menyatakan rasa terlebih dahulu. Rasa tertarik padaku sudah ada sejak pandangan pertama, dan ternyata momen ‘penembakan’ itu adalah siasatnya untuk mencuri hatiku.
“Hah! Jadi waktu itu aku dijebak?”
“Iya,” jawabnya sambil nyengir kuda. “Tapi, jebakanku enggak main-main, Kal. Aku serius sama hubungan ini.”
Waktu itu aku hanya memajukan bibir. Belum dan tidak sepenuhnya percaya dengan ucapannya. Namun, Kak Vino memang menjaga diri ini. Ia tak pernah menyentuhku lebih dari sekadar pegangan tangan. Hingga suatu insiden yang belum bisa terlupakan sampai detik ini menjadi awal terpisahnya rasa di antara kami.
“Nungguin Kak Vino, ya, Kal?” tanya salah satu teman saat melihatku berdiri di depan gerbang sekolah.
“Eh, iya, Ra,” jawabku sambil tersenyum.
“Udah lama?”
Kutengok penunjuk waktu di pergelangan tangan. Ternyata sudah lebih dari sepuluh menit aku duduk dan menunggunya untuk pulang bersama seperti biasa. Rara hanya tersenyum tipis.
“Masuk, gih! Takut cowok lo tergoda pesona Kak Nindi. Paham maksudku, kan? Paham, dong. Masa gak paham?” Rara berlalu setelah memberikan sebuah info.
Sejenak aku tercekat. Kak Nindi salah satu cewek populer dengan kecantikan maksimal. Ketua dari tim cheerleaders SMA kami itu juga hobi gonta-ganti pacar. Salah satu perempuan yang terlihat sinis saat melihatku adalah dia. Usut punya usut, ia tidak terima targetnya berpacaran dengan adik kelas. Ya, Kak Vino adalah targetnya.
Aku berlari mencari keberadaan lelakiku. Memastikan bahwa dia tidak sedang bersama Kak Nindi. Walau hanya sebatas cinta monyet anak SMA, tetapi ini pertama kali aku pacaran. Belum siap jika harus patah hati terlalu dini.
Mereka berdua satu kelas, sama-sama anak IPA. Aku hafal jadwal pelajaran kelas Kak Vino di jam terakhir hari Kamis; Sains. Dan hari ini mereka ada praktikum. Kemungkinan besar mereka berdua masih di laboratorium.
Kakiku terus melangkah menyusuri lorong menuju lab. Dari jauh, pintu kupu tarung itu masih tampak terbuka sebelah. Berarti di dalam memang masih ada orang. Suasana sudah mulai sepi. Aku memelankan langkah saat mendengar seseorang seperti tengah berbincang.
“Aku yakin, anak ingusan itu belum kamu apa-apain.” Suara perempuan sedang berbicara. Ya, itu suara Kak Nindi.
“Minggir! Kalila udah nungguin aku.”
“Santai aja kali, Vin. Dia pasti nurut suruh nungguin di depan gerbang. Pinter juga, sih, kamu pacaran sama anak cupu macam dia. Gampang dibohongi. Kita main bentar aja di sini. Aku mau ajarin kamu kissing. Belum pernah, kan? Duh, gemes. Sini aku ajarin!”
Suara itu tampak manja dan sengaja dibuat-buat lebih merdu. Degup jantungku semakin berpacu cepat. Kurasakan mata juga mulai panas.
Aku melanjutkan langkah. Ingin tahu mereka berbuat apa. Kak Nindi tampak berjinjit. Tangan kirinya menarik dasi Kak Vino hingga lelaki itu diam tanpa perlawanan. Aku hampir menangis saat bibir wanita itu hendak menyentuh bibir pacarku. Lelaki tampan itu tampak menolak dengan mengalihkan wajah ke arah pintu. Bibirnya selamat, tetapi sebelah pipinya berhasil disentuh bibir tipis milik Kak Nindi. Di saat itulah ia melihatku.
“Kalila?” ucapnya.
Vino tampak sangat kaget, sementara aku masih terpaku. Sempat terlihat ekspresi menertawakan dari wajah perempuan itu yang sengaja ia tunjukkan untukku.
Sejak saat itulah semua berakhir. Tanpa ada kata putus, aku mengambil keputusan untuk tidak mau lagi berbicara dengannya. Memutus kontak dengan memblokir nomor WA serta semua akun sosial medianya. Kak Vino selalu mencoba mencari cara untuk berbicara denganku. Namun, aku selalu acuh. Ya, sepatah itu rasanya.
Tidak berapa lama dia lulus SMA. Sempat kuliah di universitas terkemuka di kota Gudeg ini, tetapi tidak lama. Entah apa alasannya ia memilih kota Semarang untuk melanjutkan study-nya. Kabar terakhir yang mampir di telinga, ia ikut keluarganya pindah dan menetap di sana. Entah harus sedih atau senang, setidaknya aku bisa fokus belajar tanpa bayang-bayang mantan. Mungkin mulut bisa berkata ‘lebih tenang’. Namun, jujur ... di dalam sana masih ada secuil rasa sayang.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mau berpacaran. Menutup hati untuk lebih fokus memperbaiki diri dan bersungguh-sungguh meraih prestasi. Luna pernah bilang, “Putus cinta itu enggak sakit, Kal. Yang sakit itu sudah putus, tapi masih cinta.” Benarkah begitu? Kalau dirasa-rasakan memang iya, sih.
“Kalila? Ono opo, Nduk?” Pertanyaan dari Papa memutus lamunanku akan masa lalu.
“Vino kakak kelas Kalila waktu SMA, Pa, Ma. Kita pernah dekat.”
“Pacaran?” sela Mama.
Aku kembali menunduk, kemudian mengangguk. Terdengar helaan napas berat dari Papa. Mungkinkah beliau kecewa dengan Kalila remaja?
“Ada yang bernama Bapak Nazeem?” Seorang perawat keluar dari ruang IGD.
Papa berdiri. “Saya, Sus.”
“Pasien atas nama Excel Vino ingin Anda masuk ke dalam. Silakan, Pak.”
Papa mengangguk dan segera masuk. Aku semakin khawatir mengingat Vino yang jatuh berguling-guling dari atas tangga hingga ke lantai dasar. Sumpah demi apa pun, ini murni ketidaksengajaan. Semarah-marahnya aku sama dia dulu, enggak akan berbuat sesuatu yang akan membahayakan nyawanya.
________
“Ma, Mama percaya, kan, sama cerita Kalila?” tanyaku menatap Mama. “Lila beneran enggak sengaja bikin Kak Vino jatuh dari tangga.”Mama hanya mengangguk dan membelai punggung ini. Seperti biasa, belaian wanita nomor satu itu selalu sukses menyalurkan sebuah kekuatan dan ketenangan akan kegelisahan yang datang berkelindan. “Atau kalau Mama sama Papa ragu, kita bisa cek CCTV hotel.”Aku terus berbicara walau lawan bicara hanya tersenyum, mengangguk, dan memberikan sentuhan lembut agar sang putri tenang. Sedangkan aku? Bagaimana bisa tenang jika secara tidak langsung semua penyebab insiden bermula dari ketidaksengajaan yang aku lakukan?Namun, kata ‘takut’ tidak pernah ada dalam kamus hidupku jika memang kebenaran berada dalam genggaman. Apalagi ada CCTV hotel yang bisa dijadikan bukti jika ada unsur ketidaksengajaan dalam peristiwa tersebut.Closed Circuit Television di hotel Papa dilengkapi dengan baterai sebagai sumber tenaga cadangan atau backup. Sehingga alat yang bisa dikategorika
Ya, setiap ucapan adalah doa yang terlantunkan. Aku tidak pernah menyangka, bahwa seminggu setelah ucapan di hari Jumat waktu itu benar-benar membawaku pada situasi aneh ini. Aneh. Ya, sangat aneh sekali.Pesona mantan yang belum sepenuhnya sirna, kini kembali lagi hadir di pelupuk mata. Memaksaku untuk kembali mencari kunci hati dan membukanya, hanya untuk sekadar memastikan, apakah mantan masih tetap bertahan?“Di antara kita enggak ada kata putus, kan, Kal?” Ucapan Mas Vino menarikku dari lamunan. “Keputusan menjauh murni maumu, bukan mauku.”Aku bergeming. Mencoba berdamai dengan diri sendiri.Memang, tidak ada kata putus di antara aku dan Kak Vino. Keputusan untuk menjauh adalah keinginanku sendiri. Dibilang mantan juga bukan, dibilang masih pacaran juga enggak, dan sekarang ... semesta seolah-olah ingin kembali mempersatukan.Persiapan serba mendadak sudah selesai. Bakda salat Magrib; penghulu, wali, dan saksi sudah memenuhi ruang VVIP Lily ini. Mama, Luna, dan Ratu akan menjadi
Tidak ada kamar pengantin, yang ada hanya kamar rawat inap. Walaupun dilengkapi dengan fasilitas smart TV, bed penunggu, sofa, kulkas, mini bar, dan beberapa pelengkap lainnya, tetap saja ini rumah sakit. Kita di sini sebab ada yang sedang sakit dan butuh perawatan.Kini kami hanya berdua. Ayah dan ibu mertua menginap di rumah Papa. Sementara yang lain tentu saja pulang. Selain tidak diperbolehkan banyak penunggu, tentu saja ini juga keinginan pasien.“Pengantin baru, kok, dijagain,” katanya.Yang lain mesem-mesem, aku hanya terdiam pura-pura sibuk. Ya, sibuk menetralkan irama jantung, karena kurasakan pipi sedikit panas. Mungkin juga sudah bersemu merah karena Mama malah menaik turunkan kedua alisnya seperti menggoda. Sementara dua sahabatku juga ikut-ikutan. Halah mbuh, Cah!“Selamat ya, Kal. Enggak nyangka, lho, buket bunga yang langsung aku kasih ke kamu harapannya bekerja dengan cepat,” ucap Ratu, sebelum berlalu digamit sang suami.“Tahu gitu bunganya kamu kasih ke aku aja, Tu,”
Aku terdiam. Merasakan getaran hebat yang sulit diartikan. Jika dinding yang mengelilingi kami saat ini terbuat dari kaca, mungkin aku bisa melihat seperti apa merahnya wajah ini. Rasa-rasanya, aku telah kembali tertawan oleh pesonanya, persis seperti tujuh tahun yang lalu. Tanpa mengucap sepatah kata pun, segera aku berlalu menuju jendela dan menutup gorden.Benar kata Mas Vino, kerlap-kerlip bintang seolah-olah mengintai malu di balik gumpalan awan tipis di malam ini. Apakah mereka benar-benar cemburu? Ah, kenapa aku jadi terjebak kalimat puitisnya. Bibirku melengkung, kembali merasai hangat yang mendesir.Aku kembali hendak menuju bad penunggu di sebelah suamiku yang masih terduduk menyandar pada bantal.“Sini, Sayang!” pintanya. Menepuk kasurnya sendiri.Aku menggeleng pelan. “Di sini aja, Mas. Enggak muat di situ.”“Muat, kok.” Ia menggeser sedikit tubuhnya.Aku langsung sigap. “Bisa, Mas?”“Bisa. Habis nyium pipi kamu aja aku udah ada sedikit kekuatan. Gimana kalau lebih?” godan
Aku menggeliat saat mendengar bunyi alarm dari sebuah ponsel. Ternyata benda pintar yang dimiliki hampir seluruh umat manusia di era milinial itu ada di bed sebelah.“Loh? Aku, kok ....” Aku bergumam lirih.Mulai sadar sepenuhnya saat melihat satu tanganku digenggam oleh Mas Vino dan diletakkan di atas dadanya. Dia masih tertidur. Posisi kepalanya di samping pinggul, sementara saat ini aku terjaga dalam keadaan terduduk. Jadi, dari semalam aku tidur berdua dengan Mas Vino dalam posisi menyandar? Di tempat tidur pasien yang sempit ini? Astaga ... ketiduran apa terhipnotis?Perlahan kulepas genggaman tangan kami. Aku turun dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Namun, sesuatu yang basah tampak terasa di bagian sensitif. Saat ingin kuraba bagian belakang, mata ini menangkap bercak merah di seprai putih kasur pasien.Loh? Aku mens? Astaga ....Waktu Subuh sudah tiba. Perlahan kubangunkan Mas Vino agar segera menunaikan salat Subuh. Ia menggeliat dengan pelan-pel
Sebelum mereka berasumsi yang tidak-tidak, segera aku menjelaskan kenapa sudah mandi pagi-pagi begini. Berikut penjelasan seprai dengan bercak darah menstruasi yang aku cuci sendiri. Benar saja, dua wanita yang sudah tampak akrab itu mengira bahwa ritual malam pertama sudah terjadi.“Owalah, kirain Mama kalian udah iya-iya,” bisiknya saat menata sarapan pagi yang dibawanya dari rumah.“Mama yakin kami udah begituan dalam keadaan Mas Vino seperti itu? Ada-ada saja,” jawabku.Mama malah terkikik. “Iya juga, sih. Malah bahaya kalau dipaksa begituan sebelum benar-benar sembuh.”“Nah, itu Mama paham.”Menu sup ayam, perkedel kentang, kerupuk, beberapa olahan ikan laut berikut sambal sengaja beliau masak untuk sarapan kami. Ya, Mama selalu mengajarkan Kalila kecil hingga dewasa ini untuk mencintai makanan rumahan yang dimasak dengan bumbu cinta.“Banyak banget olahan ikannya, Ma?”“Suamimu harus banyak makan ikan laut. Bagus buat tulangnya.”Aku hanya mengangguk sambil melihat sup ayam brok
Sudah lima hari ruangan dengan segala fasilitas mewah ini kutempati bersama suami. Bukan hotel, tetapi ruang rawat inap. Walau kelas VVIP, tetap saja rumah sakit. Tidak ada acara sakral seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Dibantu asisten dokter juga perawat, aku pun ikut membantu dan mendampingi pemulihan Mas Vino dengan berjalan dan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk memastikan perkembangannya.Alhamdulillah, setidaknya korban ketidaksengajaanku itu sudah membaik. Aku tersenyum saat ia kembali dari teras samping usai menikmati sinar mentari pagi dari lantai dua ini.“Kal, kita harus adakan pesta untuk pernikahan kita ini.”“Hmm, boleh. Tapi, apa enggak sebaiknya nunggu Mas Vino benar-benar sembuh?”“Kalau itu pasti, Sayang,” jawabnya. “Rencananya di Semarang juga akan diadakan pesta nantinya. Kerabat Ibu banyak yang di sana.”Aku hanya mengangguk dengan mengulas senyum.“Kalau untuk honeymoon, kamu maunya ke mana?Keningku berkerut. “Harus, ya, Mas?”“Iya, dong!”“Kita h
Aroma wangi yang sangat lembut menyambut hangat begitu pintu kamar kudorong ke dalam. Ruang favoritku telah didekorasi sangat cantik. Kelambu tipis transparan diikat ke empat tiang yang mengelilingi kasur berukuran jumbo. Sentuhan bunga segar yang dirangkai cantik pada area kelambu juga terlihat sangat pas, sesuai kesukaanku.“Uwaaah ....” Aku membuka mulut. Takjub dengan dekorasi kamar sendiri.Kelopak mawar yang ditabur di lantai begitu teduh memanjakan mata, ditambah lilin cantik dalam wadah kristal yang sengaja dibentuk serupa jalan hingga menuju ke ranjang. Gorden putih yang terpajang full menutupi jendela kamar juga menambah kesan elegan, hangat, nan romantis.Aku tersenyum. Kedatangan kami penuh penyambutan yang hangat. Pasti Mama minta bantuan Yumna–salah satu tim dekorasi hotel–untuk mendesain semua ini.“Ini kamar kamu, Kal?”Aku mengangguk. “Kamar kita, Mas. Yuk, masuk!” ajakku.Pandangan lelaki yang lengannya masih kugamit itu terlihat berkeliling. Mengitari tiap keindaha
Aku masih bergeming, menatap wanita bergamis biru dongker senada dengan hijab lebarnya itu. Vika tampak tenang dalam gendongannya, sebab sesekali Nindi akan mengajaknya bercanda. "Kamu cantik banget, Sayang. Mirip mamamu, tapi hidung dan matamu mewarisi milik papamu." Vika hanya menatap orang yang tengah menggendongnya, tetapi sesekali mengoceh seolah-olah tengah menimpali obrolan Nindi. "Wah ... kamu pintar. Udah bisa merespons kalau diajak bicara," pujinya dengan terus menatap wajah lucu putriku. Namun, tidak berapa lama Vika merengek. Setelah dilihat, ternyata dia pup. "Biar Mama saja yang ganti popoknya, Kal. Kamu di sini saja temani tamu kita." Aku hanya mengangguk. Setelah kepergian Mama, tiba-tiba Nindi mendekat dan bersimpuh di dekat kakiku. "Eh, Mbak ngapain?" Aku mengganti panggilan yang semula Kakak menjadi Mbak. Tangannya terulur dan menggenggam kedua tanganku. "Makasih, Kal. Makasih karena kamu dan Vino sudah memaafkan Aldrin." "Iya, Mbak, iya. Tapi ... jangan beg
Aku ikut menitikkan air mata melihat Mas Alan tergugu dalam dekapan Papa. Pria matang yang kini telah resmi menghalalkan sang kekasih itu masih erat memeluk satu-satunya wali atas dirinya itu. Cinta pertamaku masih terus menepuk-nepuk bahu sang keponakan."Sudah, ini hari bahagiamu, bukan? Jangan jadi lelaki cengeng," ucap Papa menggoda Mas Alan."Alan enggak akan ngelupain semua kebaikan Om dan Tante.""Kami orang tuamu, Nak. Sudah sepantasnya kami merawat dan menjagamu dengan sebaik-baiknya.""Bahkan ibu dan ayah–""Sudah ...," potong Papa. "Jangan kamu sebut-sebut lagi kesalahan mereka dulu. Om sudah mengikhlaskan semuanya. Mereka sudah tenang di sisi-Nya."Aku pun belum lama mendengar cerita sesungguhnya dari Papa siapa orang tua Mas Alan. Ibu Mas Alan masih terbilang saudara walau urutannya terbilang jauh. Saat itu keuangan keluarga Mas Alan melemah. Sang ayah yang suka main judi setelah usahanya gulung tikar selalu mendesak istrinya untuk meminjam uang pada Papa. Melati–ibu Ma
Vika Zara Kamilah. Kemenangan putri yang sempurna. Nama Vika sendiri diambil dari gabungan namaku dan suami. Vi-Ka, Vino dan Kalila."Nggak mau tahu, pokoknya kita harus besanan, Kal," ucap Ratu bersemangat saat menimang putriku. "Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget ...," lanjutnya sembari mencium gemas pipi Vika."Gantian, dong, Tu. Gue juga mau gendong si Vika," sela Luna."Entar. Kalila, kan, masih marah sama lu."Luna menggaruk-garuk tengkuknya dengan nyengir kepadaku."Bisa-bisanya lu ngira calon besan gue itu setan."Aku mengangguk seraya memajukan bibir walau dalam hati tergelak melihat Luna yang kembali kikuk. Ya, aku memang sempat dinyatakan meninggal walau tidak kurang dari satu jam. Mungkin bisa disebut mati suri.Mas Vino bilang, setelah aku dinyatakan pingsan usai Vika keluar dari rahim, perlahan kuku jemariku mulai menghitam. Setelah diperiksa, dokter pun menyatakan denyut jantungku sudah berhenti dan fungsi otak juga tidak ada tanda-tanda aktivitas lagi."Perasaan
Semalaman Mas Vino menemaniku dengan terus terjaga. Aku sudah menyuruhnya tidur walau sebentar, tetapi dia menolak. Usai salat Subuh, dokter kembali mengecek jalan lahirku, dan beliau bilang sebentar lagi.“Alhamdulillah, sudah hampir mendekati, Bu. Dan ini termasuk cepat untuk persalinan pertama,” ucap dokter dengan tag name Susiana itu. “Sebaiknya ibu makan dulu atau minimal minum susu. Saya akan kembali satu jam lagi.”Sedari tadi, ayat-ayat Al-Quran terus Mas Vino bacakan dekat perutku. Satu hal yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya. Menantu Papa itu sudah menghafal Surat Ar-Rahman. Semalam saat aku setengah tertidur, ia melafalkannya dengan kedua tangan memegangi perut istrinya ini.Fabiayyi ala irobbikuma tukadz-dziban ... maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?Dititipi suami tampan, saleh, berkecukupan materi, dan baik hati. Ya, hanya dititipi. Bukannya di dunia ini tidak ada seorang pun yang ditakdirkan untuk memiliki? Sebab, sejatinya semua hanya sedang
Aku terus mengaduh. Sakit yang dirasa kian melilit. Mas Vino masuk dan berteriak memanggil Mama Papa. Aku hendak berdiri, tetapi Luna dan Mbak Eliz menahan.“Mau ke mana, Kal?” tanya Mbak Eliz.“Jalan-jalan aja sekitar sini, Mbak. Kalau sakitnya cuma karena kontraksi palsu, pasti berangsur-angsur hilang jika dibuat jalan-jalan," jelasku yang sambil berdiri dan mulai berjalan-jalan di area taman.Mbak Eliz dengan sigap mengikutiku, pun dengan Luna. Satu tanganku berkacak di pinggang bagian belakang, sementara satunya lagi mengelus perut. Tidak lupa bibir terus kubasahi dengan kalimat-kalimat zikir dan selawat. Tidak berapa lama beberapa derap langkah terdengar datang dari dalam rumah."Nak! Kalila!"Aku menoleh dengan kaki terus melangkah pelan. Mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiri."Udah kerasa?" tanya wanitaku yang menempelkan tangannya di lengan putrinya ini."Enggak tahu, Ma. Mulesnya sebentar datang, sebentar hilang. Tapi lama-lama makin kerasa." Aku meringis merasai sakit yang
Dalam keremangan, langkahku terus maju menuju taman samping di dekat kolam renang. Pintu kupu tarung berbahan kaca itu kudorong perlahan. Di sana tampak seorang pria tampan sedang mengenakan kemeja panjang warna maroon, salah satu warna favoritku.Kedua tangannya yang disimpan ke belakang terlihat menyimpan sesuatu. Seperti sebuah buket, mungkin buket bunga. Walau masih heran ini acara apa, tak ayal senyumku pun mengembang saat pria itu melangkah menuju arahku."Selamat ulang tahun, Ratuku," ucapnya dengan tatanan rambut yang sangat rapi. Entah kapan Mas Vino mengganti baju dan menyisir rambutnya.Ah, aku bahkan lupa jika hari ini memang tanggal dan bulan di mana dua puluh enam tahun lalu aku melihat dunia. Ternyata Mas Vino mengingatnya.Sebuah buket bunga Lily ia persembahkan untukku. Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Sayang."Mas Vino mengangguk dan maju untuk mencium keningku. Sepersekian detik aku hanya bergeming, hingga kemudian rasa bahagia bercampur haru
Setelah bercerita panjang lebar dengan Damian tentang siapa Om Heru berikut Aldrin, pria itu mengangguk-angguk sebentar, kemudian terlihat seperti berpikir."Jadi ... si Nindi ini sedang mengandung bayi dari Aldrin, anak angkat Om Heru, begitu?""Entahlah. Kami belum begitu yakin. Itu benar bayi Aldrin seperti pengakuan Nindi atau malah anak Om Heru. Kami tidak tahu, Pak Ian."Damian meminta kami memanggilnya dengan nama Ian. Sapaan akrabnya."Kami ingin memastikan jika benar janin dalam kandungannya adalah anaknya Aldrin. Semoga setelah tahu kebenarannya, kami bisa mengambil keputusan bijak bagaimana nantinya."Mau tidak mau aku pun bercerita tentang kejahatan Aldrin yang dilakukan pada Mas Vino di awal-awal pernikahan kami. Pria dengan tatanan rambut rapi dan klimis itu berpikir sejenak. Lalu, air mukanya sedikit berubah dan langsung mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya.Aku dan suami hanya diam memerhatikan saat pria single di hadapan kami itu menempelkan ponsel di teli
"Maaf, Pak Vino, Bu Kalila, acara bersantap jadi sedikit terjeda," ujar Damian dengan nada seperti tak enak.Pria itu kembali duduk dan bergabung dengan kami."Tidak apa-apa, Pak. Emm ... Maaf sebelumnya, tadi saya dan istri sempat dengar sedikit. Kalau boleh tahu siapa yang meninggal, ya, Pak?"Akhirnya Mas Vino mewakili rasa penasaranku walau tadi kami tak berdiskusi dulu harus bertanya apa tidak. Hanya ingin memastikan saja, bahwa wanita hamil yang dimaksud bukan ... Nindi."Oh, itu. Salah satu penghuni rumah peduli yang dibangun Mama saya, Pak.”Mas Vino melirikku sebentar.“Semacam panti, Pak?”“Iya. Tapi, yang ini khusus menampung para wanita yang hamil di luar nikah. Ada yang sebab diperkosa atau ditinggal kekasihnya begitu saja.”Aku menatap Mas Vino dengan tatapan memohon, agar ia menggali lebih dalam tentang info wanita meninggal itu.“Mari, Pak, Bu. Kita lanjut makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya.”Akhirnya kami mengangguk dan melanjutkan acara makan siang. Sesekali
“Denger dulu, Yang. Bukan mimpi yang enak-enak, kok. Justru mimpinya bikin aku kepikiran yang enggak-enggak.”Tak ayal kedua alisku hampir menyatu mendengar penuturannya. “Maksudnya?”“Nindi datang dengan pakaian serba putih dan wajah pucat,” jelasnya. “Wajahnya kuyu dan kantung matanya cekung, bahkan area matanya terlihat menghitam. Apa dia sedang kesulitan, ya, Yang?"Aku terdiam. Walau bukan ahli menafsirkan mimpi, tetapi kabar terakhir yang mengatakan bahwa wanita itu sedang hamil sedikit membuatku khawatir juga. Terlebih, setelahnya aku memang memblokir kontaknya agar tak mengganggu kewarasan diri ini.Apa benar bayi yang dikandungnya benar-benar darah daging Aldrin? Apa ia juga benar-benar ingin mempertahankan bayi itu, sebab sudah jatuh hati pada putra angkat sugar daddy-nya?Kalau memang benar, berarti kemungkinan besar saat ini dia sedang mati-matian berjuang untuk membantu Aldrin keluar dari penjara. Aku jadi ikut membayangkan jika berada di posisi kakak kelas masa SMA itu.